6. Kekasih

5 4 0
                                    

Hari minggu pagi. Rasanya segar sekali saat aku bangun. Pukul lima tepat. Langit masih hitam. Aku bangun untuk melaksanakan solat terlebih dahulu. Setelah selesai, turun kebawah untuk membantu Ibu menyiapkan makanan pagi. Selalu seperti ini rutinitas di minggu pagiku. Terkadang, aku pergi untuk berolahraga bersama pak Bobi dan mba Tati. Tidak jauh, hanya sampai depan komplek saja.

Untuk hari ini aku absen dalam kegiatan lari kami. Aku tidak sabar ingin pergi bersama Rafif, makanya aku ingin menyimpan energiku agar tidak habis sampai sore nanti. Pak Bobi dan mba Tati sepertinya sudah menghilang. Dua sejoli yang tidak terpisah itu pasti sedang bersenang-senang.

"Masakkan Ibu air, De."

Aku menuruti perkataan Ibu. Merupakan salah satu peraturan dapur. Jika aku ingin membantu, kalimat perintah harus segera aku laksanakan dengan cepat. Karena Ibu adalah penguasanya.

"Masak banyak, bu. Ada acara?"

"Buat mas Sam." Ibu menoleh dengan tangannya sambil mengayun diatas wajan dan kompor yang menyala. "Kamu lupa?"

Aku mengangguk pelan. Hari ini adalah hari kepergian Sam untuk melakukan terapi di kota Bogor. Ibu bilang Sam akan dibawa ke sebuah rumah sakit kejiwaan. Marzoeki Mahdi. Rumah Sakit jiwa terbesar di negara ini.

"Kamu ikut ya nanti."

Aku sedikit terkejut. Menoleh Ibu dengan spontan. Aku kan sudah bilang kemarin kalau aku tidak mau, kenapa Ibu masih saja menyuruhku? Aku ingin pergi dengan Rafif, dan tidak ada yang bisa membatalkan itu.

"Aku ada kerja kelompok."

"Izin dulu, Ibu Karin pasti seneng kalo kamu ikut."

"Gak bisa bu." Aku menghentikan kegiatan memotong sayur. Sudah aku bilang, tidak ada yang bisa membatalkan janji aku dengan Rafif.

"De ...."

"Aku ada kerja kelompok sama Rima. Dirumah Rima kok bu."

"..."

Ibu tidak membalas lagi. Pokoknya aku tidak mau. Bagaimana pun dan apapun alasan yang harus aku ucap untuk membohongi Ibu, aku tidak peduli.

"Jam berapa berangkat?"

"Sebelas."

"Yaudah."

Akhirnya.

Maafkan aku bu. Dengan terpaksa aku harus terus berbohong kepada Ibu. Untuk kali ini saja. Biarkan aku menghabiskan waktu dengan Rafif, membuat kenangan indah sebelum semuanya dimulai nanti.

•><><><•

Rafif sudah menunggu dipinggir jalan perempatan dekat tempat tinggalku. Saat ini baru pukul setengah sepuluh. Kami memang janjian jam sebelas, namun Rafif mengatakan sudah tiba disana. Dengan terburu aku langsung bergegas. Untung saja malam tadi aku sudah menggosok pakaian yang akan aku kenakan.

"Lama ya." Ucapku ketika sampai. Rafif menoleh.

"Udah biasa. Namanya cewe."

Ia tersenyum. Manis, manis sekali.

"Kenapa dateng jam segini? Janjinya kan jam sebelas."

"Gak sabar pengen ketemu."

Aku menaiki motor hitam besar Rafif sambil mencubit pinggangnya. Dasar. Bisa-bisanya ia menggombal disiang bolong begini.

Rafif menarik gas motor dengan perlahan. Hembusan angin siang yang tanpa keberadaan sinar matahari meniup kulitku dengan lembut. Akhir-akhir ini langit memang sering mendung. Padahal bukan musim penghujan.

"An, ke rumah yuk."

"Yaudah aku turun."

Rafif tertawa. Kenapa suka sekali bercanda sih Fif? Aku kan jadi makin sayang.

Payung TeduhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang