LANGKAH BARU

3 1 0
                                    

Hari-hari setelah percakapan malam di taman itu berlalu dengan ritme yang lebih tenang, meskipun terkadang masih ada rasa canggung di antara Keyra dan Iras. Namun, keduanya merasa ada perubahan-perubahan yang meskipun kecil, terasa begitu berarti. Keyra terus berdiri di samping Iras, meskipun Iras kadang-kadang merasa seperti ia sedang menahan sesuatu yang besar di dalam dirinya. Di sisi lain, Iras merasa semakin terbuka, meski langkahnya lambat dan penuh keraguan.

Suatu pagi yang cerah, mereka berjalan bersama menuju sekolah, jalan yang sama yang biasa mereka lewati. Namun kali ini, ada keheningan yang berbeda. Iras berjalan sedikit lebih dekat dengan Keyra, tanpa ada upaya untuk menjaga jarak seperti biasanya. Sesekali, mereka bertukar senyum kecil, tapi tidak ada percakapan yang benar-benar mengalir. Namun, Key bisa merasakan bahwa perasaan Iras kali ini sedikit berbeda.

Setibanya di sekolah, mereka berpisah di depan gerbang. Iras melangkah cepat menuju kelasnya, sementara Keyra berdiri sejenak di sana, memandang punggung Iras yang mulai menjauh. Ada rasa rindu yang aneh muncul dalam dirinya, rindu akan percakapan yang lebih mendalam, rindu akan pengertian yang lebih besar di antara mereka.

Sepanjang hari, Keyra tidak bisa menghilangkan perasaan itu. Ketika istirahat tiba, ia duduk sendiri di bangku taman, menatap langit yang cerah. Matanya terasa sedikit lelah, seolah perasaan yang mengendap di dalam hatinya membutuhkan tempat untuk keluar. Keyra tahu, meskipun Iras sudah mulai membuka diri, ia belum benar-benar siap untuk menanggalkan semua rasa takutnya. Keyra merasa, jika ia terlalu terburu-buru, hubungan ini bisa saja kembali mundur.

Namun, ketika bel berbunyi, Keyra mendapati Iras sudah berada di depannya, berdiri dengan senyum yang tulus, sesuatu yang jarang ia lihat sebelumnya. Senyum itu seperti sinar matahari yang menyusup melalui celah-celah awan, memberikan rasa hangat yang nyaman.

"Key," Iras memanggil dengan suara lembut. "Mau ikut gue makan siang?"

Keyra menatapnya, agak terkejut. Iras tidak pernah mengajaknya makan siang sebelum ini. Biasanya, Iras lebih suka sendiri atau bersama teman-teman lainnya, tapi hari ini ia terlihat lebih terbuka. Mungkin, ini adalah tanda bahwa mereka sedang bergerak maju.

"Sure," jawab Key dengan senyum, berusaha tidak terlihat terlalu senang, meskipun hatinya mulai berdebar.

Mereka berjalan menuju kantin bersama. Selama makan siang, Iras mulai bercerita lebih banyak tentang hal-hal kecil dalam hidupnya.Tentang film yang baru ia tonton, tentang buku yang sedang dibaca, bahkan tentang kejadian lucu yang terjadi di kelas. Tiba-tiba saja, suasana yang semula tegang berubah menjadi lebih ringan. Keyra mendengarkan dengan penuh perhatian, merasakan betapa setiap kata yang keluar dari mulut Iras semakin mendekatkan mereka.

Setelah makan, mereka duduk di bangku taman, menikmati udara segar yang mengalir pelan. Iras tidak langsung berbicara, tetapi kali ini Key merasa ada sesuatu yang berbeda, keheningan yang tidak lagi canggung. Keheningan yang memberi ruang bagi mereka untuk meresapi kebersamaan yang perlahan-lahan terbentuk.

"Apa lo pernah merasa kayak... nggak punya tempat yang benar-benar bisa lo sebut rumah?" tanya Iras, suaranya tiba-tiba terdengar lebih dalam.

Keyra menoleh, melihat ke dalam mata Iras yang tampak lebih serius dari sebelumnya. "Maksud lo?"

Iras menghela napas panjang. "Kayak... setiap kali gue punya tempat atau orang yang gue anggap rumah, selalu ada aja yang berubah. Kadang gue mikir, apa gue bakal bisa merasa di rumah, bener-bener di rumah, dengan orang lain selain diri gue sendiri."

Key mengangguk pelan, merasakan betapa dalamnya kata-kata itu. "Gue ngerti. Tapi rumah itu bukan selalu tempat, Ras. Rumah bisa jadi siapa aja yang kita percayai, yang kita rasa nyaman bersama mereka."

Iras menatap Keyra dengan mata yang lebih tajam. "Tapi kalau rumah itu akhirnya pergi, gimana?"

Keyra tersenyum lembut. "Rumah bisa tetap ada di dalam diri kita, Ras. Kalau kita tahu siapa yang kita percayai, siapa yang kita pilih untuk ada di samping kita, nggak ada yang bisa ngambil rumah itu. Kita bisa bangun rumah kita sendiri, dimanapun itu."

Iras terdiam, memikirkan kata-kata Keyra. Meskipun suaranya tenang, ada ketegangan yang masih bisa dirasakan di dalam hati Iras. Keyra tahu, perasaan itu tidak akan hilang dalam semalam. Tetapi dia merasa bahwa setiap percakapan kecil seperti ini adalah pijakan menuju kepercayaan yang lebih besar.

Ketika bel pulang berbunyi, mereka berdua berjalan keluar dari sekolah bersama, masing-masing terbungkus dalam pikiran mereka sendiri. Namun, kali ini, langkah mereka terasa lebih ringan. Iras, yang biasanya berjalan dengan ragu, kini melangkah lebih pasti. Mungkin itu adalah efek dari percakapan tadi, atau mungkin juga, Keyra yang telah memberi ruang bagi Iras untuk merasa sedikit lebih aman.

Di bawah langit senja yang berwarna oranye, Keyra dan Iras merasa kedekatan mereka sudah berada pada titik yang berbeda. Meskipun masa lalu masih menghantui, ada secercah harapan untuk masa depan yang lebih cerah. Mereka tidak tahu apa yang akan terjadi nanti, tetapi untuk pertama kalinya, keduanya merasa siap untuk menjalaninya bersama.

Langkah mereka berdua menyatu, menuju ke arah yang sama, dengan sedikit lebih banyak keberanian, dan sedikit lebih banyak harapan.

MENGURAI RASATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang