Seruan kencang dari Ardi membuat Binar kaget dan langsung melempar pisau yang sedang dipegangnya ke lantai. Dengan panik, Ardi langsung menarik Binar ke arah wastafel dan membersihkan luka pada pergelangan tangannya. Sedangkan Binar tampak diam, dengan pandangan linglung.
"Mas ada apa?"
Ira dan Surya menghampiri mereka dengan raut panik. Teriakan Ardi tadi membangunkan keduanya sehingga mereka langsung berlari ke arah dapur.
"Binar.. tadi.." mendadak Ardi tak tahu harus menjawab apa. Ia pun memutuskan mengambil lap bersih di sana dan menekan lap itu pada luka Binar untuk menghentikan pendarahannya.
"Binar.. kenapa sayang?" Tanya Ira menghampirinya. Ia mengelus lengan Binar.
Sambil menekan luka Binar, Ardi menatap istrinya yang berdiri kaku.
"Tadi.. aku mau minum, terus ada pisau di meja. Aku.. aku nggak tahu kenapa bisa kena, tadi aku nggak sengaja. Cuman kena sedikit kok, aku nggak apa-apa. Aku.. aku nggak bakal gitu lagi."
Penjelasan Binar tampak terbata-bata dan tak jelas. Ira, Surya dan Ardi saling bertatapan.
"Bu, tolong pegang dulu. Aku mau siapin mobil, Binar harus ke UGD, darahnya makin banyak."
Ira lalu mendekat dan menggantikan Ardi memegangi lengan Binar yang dibalut kain. Ia menatap Binar yang juga menatapnya dengan pandangan kalut. Binar tampak linglung.
"Aku.. nggak tahu. Biasanya nggak gini. Ini nggak apa-apa." Ujar Binar lagi.
"Tunggu, ya, tahan sakitnya." Balas Ira pelan. Tiba-tiba dadanya terasa sesak. Ia ingin menangis, meskipun tak tahu apa yang terjadi pada Binar.
"Ayo." Ardi kembali ke dapur dengan membawa jaket dan kerudung Binar. Ia segera membantu memakaikannya, dan menuntun Binar untuk masuk mobil.
"Nanti telpon Ibu, ya." Ujar Ira yang dijawab dengan anggukan Ardi.
Sepanjang perjalanan menuju rumah sakit, Ardi menahan diri untuk tak meluapkan emosinya. Rasa panik, khawatir dan marah bercampur aduk. Dadanya terasa tercekat kala melihat Binar yang duduk di sebelahnya sambil memandangi lukanya.
"Aku nggak apa-apa, kok." Gumam Binar pelan.
"Tapi tetap aja harus diobatin." Balas Ardi.
Setelah lima belas menit perjalanan, mereka pun sampai di UGD rumah sakit dekat rumah mereka. Tanpa sadar Ardi langsung menghembuskan napasnya lega saat Binar sudah ditangani. Ia pun memilih menjauh dari Binar. Ia butuh untuk menenangkan dirinya sendiri karena pikiran buruk sejak tadi terus menghantuinya. Bagaimana jika tadi ia tak bangun dan menyusul Binar ke dapur? Istrinya itu akan baik-baik saja, kan?
"Pak." Panggil seorang dokter laki-laki yang tadi menangani Binar.
Ardi berdiri dan menghampirinya. "Bagaimana dok?"
"Lukanya alhamdulillah aman, Pak."
"Alhamdulillah."
"Tapi sepertinya istri Bapak butuh bantuan psikolog. Dia udah pernah ngelakuin ini sebelumnya?"
Ardi termenung sejenak. "Nggak.. saya nggak tahu, dok." Jawabnya pelan.
"Untuk malam ini lebih baik dirawat di sini dulu, nanti kalau besok sudah mendingan dan istri Bapak lebih tenang boleh pulang."
Ardi mengangguk. Ia lalu mengurus administrasi terlebih dahulu sambil menunggu Binar pindah ke kamar inap. Setelah semuanya selesai, ia pun duduk di kursi samping ranjang Binar. Memandangi perempuan itu yang sejak tadi sudah tertidur.
"Mas.." panggil Binar dengan suara serak.
"Eh, kok kebangun. Kenapa?"
"Mau minum."
"Tunggu." Ardi pun mengambil botol minum yang sempat ia beli saat mengurus administrasi tadi. Ia lalu membantu Binar untuk minum.
"Mas nggak tidur?"
"Bentar lagi juga shubuh." Ardi melirik jam yang menunjukkan setengah empat pagi. Tadi mereka ke rumah sakit memang jam dua pagi.
"Harusnya Mas istirahat, nanti pagi kan kerja."
"Aku mau ijin dulu."
"Kenapa? Aku nggak apa-apa, kok. Nanti pagi juga udah boleh pulang, kan."
Ardi tersenyum kecil. Binar mungkin sudah tidak apa-apa, tapi Ardi tak berani meninggalkan istrinya itu sendiri.
"Nggak apa-apa, aku memang mau ijin."
"Maaf, merepotkan Mas." Binar menatapnya tak enak.
"Nggak. Sama sekali nggak repot, kok. Kamu.. jangan buat aku khawatir lagi, ya."
"Iya.. maaf, ya, Mas."
"Kalau ada sesuatu yang menganggu kamu, kamu bisa cerita." Ujar Ardi pelan. "Kalau kamu belum yakin untuk cerita ke aku, aku akan bantu kamu untuk cari bantuan profesional."
"Mas, aku nggak-"
"Aku nggak mau kamu gitu lagi, Binar." Potong Ardi. "Kalau ada apa-apa bilang ya.. aku mungkin nggak bisa bantu kamu banyak, tapi setidaknya aku bakal dengerin cerita kamu. Aku juga nggak bakal kemana-mana."
Ardi mengambil tangan kanan Binar yang tak luka dan menggenggamnya. Ia menatap istrinya lekat. Sungguh, ia takut sekali terjadi apa-apa pada Binar.
"Aku.." Binar balas menggenggam tangan Ardi. "Aku juga nggak tahu aku kenapa. Aku cuman.. capek aja, Mas."
Mata Binar tiba-tiba berkaca-kaca. Ia menatap Ardi sendu. "Aku capek. Semua hal bikin aku pusing. Aku nggak tahu harus gimana.."
Mendadak Ardi ingin ikut menangis kala melihat Binar yang sekarang terisak. Ia pun bangkit dan memeluk perempuan itu.
"Tadi aku nggak punya niat apa-apa, aku nggak tahu kenapa tiba-tiba megang pisau itu. Aku nggak sadar. Maaf, udah bikin Mas khawatir."
Ardi melepaskan pelukannya. Ia mengusap pipi Binar yang basah. "Iya, nggak apa-apa, tapi jangan gitu lagi."
Ardi menengadahkan kepalanya, berusaha menghalau air mata yang ingin keluar. Ia membiarkan Binar yang masih terus terisak. Ia hanya diam, tak tahu harus mengucapkan apa-apa.
"Waktu aku sadar kalau aku cuman anak angkat yang nggak ada hubungan darah sama Papa Mama, aku sempat ingin ketemu orang tua kandungku." Ujar Binar pelan, berusaha untuk menceritakan semua hal yang ia rasakan pada Ardi.
"Aku pikir mereka pasti bakal bahagia kalau kita bertemu, tapi waktu aku mulai remaja, aku udah mulai sadar kalau mungkin.. mereka nggak mau ketemu aku." Binar mengusap pipinya dan menunduk menatap tangan kirinya yang diperban.
"Kemarin waktu aku ketemu Bu Tari, aku mulai berpikir lagi, mungkin dia pingin ketemu aku dan mulai semuanya dari awal. Aku akan mencoba memaafkan, tapi.."
Binar mendongkak dan menatap Ardi yang masih menatapnya lekat, menunggunya untuk kembali bercerita.
"Selama ini hidup Bu Tari baik-baik saja. Dia punya suami baik yang berkecukupan, dua anak yang dia sayangi, mereka nggak kekurangan apapun. Bu Tari juga nggak berusaha untuk nyari aku, padahal selama ini dia tinggal di Bandung. Tapi waktu dia sakit.. dia butuh aku." Binar terkekeh sejenak, sambil menekan dadanya yang tiba-tiba terasa sesak.
"Dia butuh ginjal, Mas." Binar terkekeh lagi, tapi matanya kembali menangis. "Dia minta aku buat donorin ginjal aku buat dia. Dia memang nggak maksa. Katanya aku boleh menolak, tapi.. aku tetap ngerasa kecewa."
"Aku cuman sedih aja. Aku sedih karena Mama Papa, Bu Tari dan ayah kandung aku mereka nggak benar-benar sayang aku. Mereka nggak mau aku ada. Hidup mereka baik-baik saja tanpa aku. Aku cuman ngerasa nggak berharga bagi mereka."
Ardi diam. Tenggorokannya terasa tercekat. Apa yang Binar katanya terasa menyesakkan. Ia tak tahu harus bagaimana menanggapi sisi depresif Binar saat ini. Maka, yang ia lakukan hanya kembali membawa perempuan itu ke pelukannya.
"Aku nggak mau ketemu mereka lagi, Mas. Aku nggak mau."
***
Selamat yg tebakannya benar wkwkwk

KAMU SEDANG MEMBACA
Sepertinya Cinta | Seri Marital✅️
RomanceArdi itu terlalu cuek dan malas untuk berurusan dengan orang lain, tapi mengapa Binar, si gadis menyebalkan itu selalu berhasil menarik simpatinya? Mengapa ia selalu kalah oleh Binar?