Hari hari setelah pertemuan di Danau Seran terasa berbeda bagi Bulan. Meskipun ia selalu ceria dan penuh semangat, ada perasaan baru yang menghiasi harinya.
Kenangan akan Bumi terus mengisi pikirannya, dan senyum pria pendiam itu membuat hatinya bergetar. Ia tidak pernah merasakan sesuatu yang seistimewa ini sebelumnya. Bumi, dengan semua ketenangan dan perhatian yang dimilikinya, seakan menjadi bagian penting dalam hidupnya.
Pagi itu, Bulan memutuskan untuk pergi ke studio foto miliknya. Ia memiliki proyek baru yang ingin diselesaikannya: sebuah pameran foto tentang keindahan alam Kalimantan. Setiap gambar yang ia ambil adalah cerminan dari cinta dan apresiasinya terhadap keindahan di sekitarnya. Namun, saat ia mempersiapkan alat-alatnya, pikirannya terus melayang pada sosok Bumi.
Bulan teringat bagaimana Bumi mengagumi fotonya saat mereka bersama. Senyumnya, nada suaranya, semua itu membangkitkan semangat di dalam dirinya.
“Aku harus menunjukkan padanya seberapa jauh aku bisa pergi,” gumamnya pada diri sendiri. Dengan semangat yang baru, Bulan mulai bekerja dengan serius.
Selama beberapa hari kedepan, Bulan menjelajahi berbagai tempat di sekitar Kalimantan, mengambil gambar-gambar yang menggambarkan keindahan alam. Ia merasa terinspirasi dan lebih bersemangat dari biasanya. Saat berfotografi, Bulan tidak hanya menangkap keindahan luar, tetapi juga berusaha merekam momen-momen sederhana yang bisa diceritakan.
Ketika sedang mengambil gambar di tepi sungai, ia bertemu dengan seorang ibu-ibu yang sedang menjual kerajinan tangan.
Bulan menghampiri dan mengobrol dengan hangat. Ibu tersebut menceritakan kisah-kisah di balik kerajinan yang dibuatnya, dan Bulan merasa terhubung dengan cerita itu. Ia mengabadikan momen tersebut dalam sebuah foto yang menggambarkan kehangatan dan keramahtamahan masyarakat setempat.
“Terima kasih, Nak. Kamu punya mata yang tajam untuk melihat keindahan,” kata ibu itu, membuat Bulan tersenyum lebar.
Ucapan tersebut membangkitkan rasa percaya diri Bulan bahwa karya-karyanya memang memiliki makna.
Setelah seharian berkeliling, Bulan kembali ke studio dengan hati yang penuh. Ia merasa puas dengan hasil kerjanya dan berharap bisa menunjukkan semua foto itu kepada Bumi suatu saat nanti.
Di dalam hati, ia ingin agar Bumi bangga padanya. Bulan merasakan ada harapan yang tumbuh, bahwa suatu saat ia bisa membuka perasaannya kepada Bumi.
Malam itu, Bulan duduk di depan laptopnya, mengedit foto-foto yang telah diambil. Dia menyusun kata-kata untuk cerita di balik setiap gambar, mengekspresikan pengalamannya dengan tulus. Ketika sebuah foto bulan purnama muncul di layarnya, hatinya bergetar.
Ingatan akan pertemuan pertama mereka kembali membanjiri pikirannya. Bulan merasa ada sesuatu yang lebih dalam di antara mereka, meskipun belum terucap.
“Kenapa aku tidak bisa mengungkapkan semua ini?” tanyanya pada dirinya sendiri. Dia tahu Bumi adalah seseorang yang sangat berarti baginya, tetapi keraguan dan ketakutan membuatnya terdiam.
Tiba-tiba, ponselnya bergetar, dan ia melihat ada pesan masuk dari Bumi. Jantungnya berdegup cepat saat membuka pesan tersebut.
“Bulan, aku senang melihat foto-foto yang kamu ambil. Apa kamu sudah menyelesaikan pameran mu?”
Bulan merasa senang menerima pesan itu.
“Belum sepenuhnya, Bumi. Tapi aku sudah mengambil banyak foto indah! Kapan-kapan aku ingin menunjukkan semuanya padamu,” balasnya, berusaha terdengar antusias.
“Pasti! Aku tidak sabar untuk melihatnya,” jawab Bumi. Bulan merasa hatinya melambung. Pertukaran pesan sederhana itu memberi semangat baru baginya.
Setelah mengirim pesan, Bulan tidak bisa menahan diri untuk tidak tersenyum. Ia merasakan kehadiran Bumi seperti cahaya yang menerangi jalannya. Meskipun mereka belum saling mengungkapkan cinta, Bulan merasa ada koneksi yang lebih dari sekadar pertemanan.
Dalam benaknya, Bulan mulai merencanakan pameran foto tersebut. Ia ingin mengundang Bumi, tidak hanya untuk melihat hasil karyanya tetapi juga untuk menghabiskan waktu bersamanya. Dengan tekad yang kuat, Bulan memutuskan bahwa ia akan berusaha lebih keras lagi, baik dalam pekerjaannya maupun dalam mengungkapkan perasaannya.
🌕
Hari-hari berlalu, dan semakin dekat dengan pameran, Bulan terus berlatih berbicara tentang perasaannya. Ia ingin saat bertemu Bumi, ia bisa mengungkapkan semua yang tersimpan di dalam hatinya. Namun, rasa cemas selalu menghampirinya. “Bagaimana jika Bumi tidak merasakan hal yang sama?” pikirnya.
Ketika malam pameran tiba, Bulan berdiri di depan galeri, menyiapkan diri untuk menerima tamu. Jantungnya berdebar kencang saat melihat orang-orang mulai berdatangan. Ia berusaha tetap tenang, namun pikirannya terus melayang kepada Bumi.
“Aku harus kuat,” ucapnya pada diri sendiri. Bulan ingin semua orang tahu betapa berarti momen ini baginya. Ketika melihat Bumi memasuki ruangan, semua kecemasan seakan sirna. Senyumnya, tatapannya, membuat Bulan merasa nyaman.
“Bulan, ini luar biasa!” puji Bumi saat melihat hasil karya Bulan. “Aku sangat bangga padamu.” Mendengar kata-kata Bumi, Bulan merasa hatinya berbunga-bunga. Dia merasa semua usaha dan perjuangannya terbayar.
“Makasih, Bumi! Aku sangat berharap kamu suka,” jawab Bulan, berusaha menahan senyumnya agar tidak melebar terlalu lebar.
Malam itu, Bulan dan Bumi berbagi banyak tawa dan cerita, menjelajahi setiap foto, saling memberi pandangan dan apresiasi. Dalam suasana penuh kehangatan itu, Bulan merasakan dorongan untuk mengungkapkan isi hatinya. Namun, dia juga menyadari bahwa momen ini harus berlangsung tanpa beban.
Saat pameran berakhir dan tamu-tamu mulai pergi, Bulan dan Bumi berdiri di depan foto bulan purnama yang mereka ambil bersama di Danau Seran. Bulan merasa terhubung dengan momen itu, dan saat tatapan mereka bertemu, hatinya bergetar. Mungkin, kali ini adalah saatnya.
“Bumi, aku—” Bulan mulai, tetapi suaranya terhenti. Ragu kembali menyergap. Dia menelan ludah, berusaha mengumpulkan keberanian. Namun, saat itu juga, Bumi tersenyum dan berkata, “Aku senang kita bisa berbagi momen ini. Kita pasti akan mengulanginya lagi, kan?”
Kata-kata itu seolah menggantikan perasaannya yang ingin ia ucapkan. Bulan hanya bisa mengangguk, berusaha menahan air mata yang mengalir di sudut matanya. Di dalam hatinya, ia tahu bahwa perasaannya sangat dalam, tetapi untuk saat ini, dia lebih memilih untuk menikmati momen indah ini.
Dengan harapan bahwa suatu saat ia akan menemukan keberanian untuk mengungkapkan isi hatinya kepada Bumi, Bulan mengukir senyuman terakhir untuk malam itu. Keberadaan Bumi di sampingnya sudah cukup untuk membuatnya merasa lengkap.
🌕
KAMU SEDANG MEMBACA
Catatan Bulan
Подростковая литератураDi malam bulan purnama yang mempesona, penulis terkenal Maroka Bumi Laksamana bertemu dengan Bulan Nur Syifa, seorang fotografer ceria yang menghiasi hidupnya dengan keceriaan. Namun, saat kedekatan mereka semakin dalam, Bumi menghilang tanpa jejak...