Di bawah cahaya bulan

11 3 0
                                    

Maroka Bumi Laksamana duduk di tepi Danau Seran, matanya terpaku pada gelombang air yang berkilau oleh sinar bulan purnama.
Ia menarik napas dalam-dalam, merasakan udara malam yang segar dan harum, penuh dengan aroma tanah dan pepohonan. Sebagai seorang penulis, Bumi selalu mencari inspirasi di tempat-tempat tenang seperti ini, tetapi malam ini, pikirannya terasa kosong.

Bumi mengeluarkan buku catatannya dari tas ranselnya, pena di tangannya menunggu untuk menulis. Dia membuka halaman kosong, berharap kata-kata akan mengalir seperti air danau di hadapannya, namun semua yang ia lihat hanyalah bayangan dan keheningan.Dia merasa terasing, seolah dunia di sekelilingnya tidak lebih dari sebuah lukisan tanpa makna.

Satu tahun berlalu sejak buku terakhirnya diterbitkan, dan ketenaran yang didapatnya tak mampu mengisi kekosongan di hatinya. Karya-karya terbaiknya lahir dari pengalaman dan rasa, tetapi belakangan ini, inspirasi itu seakan sirna. Ia merasa seperti terperangkap dalam labirin tanpa jalan keluar.

Tiba-tiba, suara gesekan dedaunan menarik perhatiannya. Dia menoleh dan melihat seorang wanita berdiri di tepi danau, mengarahkan kameranya ke langit.

Bulan Nur Syifa.

Namanya terlintas dalam benaknya. Bumi mengenali sosoknya dari foto-foto yang sering dibagikan di media sosial, wajah cerianya memancarkan energi positif yang seolah mampu menyentuh semua orang di sekitarnya.

Bumi tersentak. Apa yang dilakukan Bulan di sini, sendirian di tengah malam? Dia terlihat begitu fokus, seolah dunia di sekelilingnya telah menghilang. Bumi merasa tergerak untuk mendekatinya, namun langkahnya terasa berat. Dia tak ingin mengganggu momen berharga wanita itu.

Bulan menundukkan kepala, mengatur posisi kameranya, dan mengabadikan pemandangan bulan yang sempurna. Bumi memutuskan untuk menunggu, ingin melihat bagaimana wanita itu berinteraksi dengan cahaya malam. Dia ingin mendengar tawanya, melihat senyumnya—sesuatu yang mungkin bisa membangkitkan semangat yang hilang dalam dirinya.

Ketika Bulan berhasil menangkap gambar yang diinginkannya, dia berpaling dan tersenyum, sinar bulan menciptakan aura magis di sekelilingnya. Bumi merasa jantungnya berdebar. Dalam sekejap, semua kekhawatiran dan kegalauannya seakan sirna. Dia terpesona oleh kehadiran Bulan yang ceria, dan tanpa sadar, senyum terlukis di wajahnya.

“Indah, bukan?” Bulan berkata sambil menunjuk ke arah bulan yang bersinar cerah.

“Ya, sangat indah,” jawab Bumi dengan tenang.

“Nama saya Bulan,” kata wanita itu dengan tulus, matanya bersinar ceria.

“Bulan… Nur Syifa?” Bumi mengulang namanya, mencoba mengingat jika dia pernah mendengar sesuatu yang lain.

“Ya, itu saya! Dan kamu… siapa?” Bulan bertanya dengan penasaran.

“Saya Bumi. Maroka Bumi Laksamana,” jawab Bumi, nada suaranya tetap tenang dan santai.

Bulan terkejut sejenak, lalu matanya membesar. “Kau… kau Maroka Bumi Laksamana? Penulis terkenal itu?”

Bumi mengangguk. “Iya, itu saya.”

“Wow! Aku sudah membaca semua bukumu! Mereka menginspirasi banyak orang, termasuk aku!” Bulan berkata penuh antusiasme, wajahnya bersinar.

Bumi mendengarkan dengan saksama, merasa terhormat dan senang bisa mendengar pujian dari seseorang yang ia kagumi. Dalam momen itu, semua kegalauannya terasa berkurang. Mereka berbagi cerita tentang impian dan harapan, dan tanpa disadari, kedekatan di antara mereka mulai tumbuh. Dalam momen sederhana itu, Bumi merasakan bahwa ada sesuatu yang lebih dari sekadar kebetulan di balik pertemuan mereka.

Saat malam semakin larut, Bumi tahu bahwa saatnya untuk kembali. Namun, sebelum pergi, dia memberanikan diri untuk bertanya, “Bulan, apakah kita bisa bertemu lagi?”

Senyum Bulan menjawab pertanyaannya, dan seakan menjadi penanda bahwa sesuatu yang indah baru saja dimulai. Namun, di balik rasa bahagia yang membara, Bumi merasakan bayangan gelap menghantuinya, menanti saat untuk mengungkapkan semua yang ia sembunyikan.

Ketika ia melangkah pergi dari danau itu, satu hal yang pasti: malam ini, dunia terasa sedikit lebih cerah.

🌕

Catatan dari Bumi:

“Bulan, kau mungkin tidak menyadari betapa pentingnya kehadiranmu dalam hidupku. Setiap detik bersamamu adalah anugerah. Namun, ada hal yang membuatku takut untuk melanjutkan. Aku berjanji akan menjaga jarak, tetapi hatiku melawan. Semoga kita bertemu lagi, di bawah cahaya bulan yang sama.”

🌕

Catatan BulanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang