07 Oktober 2024
Yang paling aku takutkan adalah...di mana aku tergeletak di dalam kamarku, tanpa persetujuanku. Di mana semuanya berjalan tanpa kemauanku. Semuanya telah terjadi atas dasar ketidaksengajaan cara berpikir dan perasaanku yang terus-menerus memintaku menghentikan dunia.
semuanya, aku takut. Aku takut membunuh diriku sendiri. Aku takut, aku takut tak berdaya meminta tolong dan tak ada yang menolong di sana.
pekikkan dalam diamku, semakin menyakitiku, disaat darah, atau nafasku tercekat. Aku takut menyakiti orang yang menyayangiku, dan membuat mereka kecewa atas keputusan yang bukan kemauanku. Dunia layaknya berputar seolah melupakan, aku ingin terus ada dibenak setiap yang menyakiti, serta tak mengingatku saat rapuh.
Tuhan, jika benar ada hal baik nantinya, beritahu aku. Meski aku sudah tak ada di sini.
>>><<<
Bintang membuka matanya yang sembab, dia menghela napasnya pelan. Ternyata semalaman dia menangis, entah karena apa. Dia merutuki dirinya sendiri, kejadian semalam seolah berputar di dalam otaknya, bagaimana tidak? Dia malah tertidur di kamar asing. Entah ini kamar siapa, yang jelas Bintang merutuki dirinya sendiri karena sama sekali tidak sadar atau bahkan tak membatasi dirinya sendiri.
"Udah bangun?" Seketika Bintang menoleh, itu Jeremiah dengan sebatang rokok di tangannya. Lelaki itu menatapnya. Dia terduduk di jendela dengan posisi miring, suasana pagi terasa cukup sejuk di tambah angin pagi yang masuk lewat jendela terasa di kulit Bintang. Bintang menatap dirinya sendiri seolah mengecek, seketika Jeremi bersuara lagi, "gue nggak ngapa-ngapain kok."
"Iya, gue cuma ngecek arwah."
Jeremi hanya tertawa, "berat ya?"
Seketika Bintang mengernyit, "maksud lo apa?"
"Semalem, lo panggil nama bokap sama nyokap lo berkali-kali."
Deg, ia merutuki dirinya sendiri. Bodohnya Bintang tak menguasai dirinya, berakhirlah kebodohan yang akan diperlihatkannya.
"Kangen, gue kan ngekost."
"Lo benci mereka."
Tak ada bantahan, Bintang hanya menatap Jeremi dengan tatapan dingin. Dia tak menyangka semalam akan mengatakan itu, kadar alkohol semalam terlalu banyak serta menghisap ganja membuatnya tak sadarkan diri.
"Mungkin cuma meracau, gue suka gitu."
"Nggak papa kali, gue juga benci keluarga gue." Bintang tak bersuara, membiarkan Jeremi melanjutkan kalimatnya.
"Terkadang orang terdekat adalah salah satu penyebab trauma paling besar."
Bintang berusaha untuk bangkit dan mengumpulkan barang-barangnya untuk segera pergi, "thanks nggak make gue."
"Ga akan kalo belum dapet persetujuan lo kok." Bintang tersenyum tipis.
"Anggap aja semalem gue ga ngomong apa apa ya." Setelah itu bintang langsung pergi. Dia berusaha menyadarkan dirinya, meskipun sudah sadar betul, sakit di kepalanya tak kunjung reda.
***
"Bi, lo kenapa sih?"
Bintang segera menyadarkan dirinya.
"Ah gapapa, puyeng aja," balasnya seraya tersenyum ke arah Bina.
"Kalo ada apa apa cerita ya."
"Kan gue mah selalu cerita! Lagipula, apa sih masalah berat gue? Paling karena nggak ngerokok."
"Ngakak ih, ya udah."
Dunia, sebagaimana pun harus tetap berjalan bukan? Bintang merasa keanehan itu muncul, di mana jika dia mengingat hal-hal yang tidak mau diingatnya. Ketika benar seseorang peduli, apakah dia harus mempertanyakannya?
Di kampus, Bintang seperti biasa mendengarkan dosen menjelaskan materi, bercanda dengan Bina, lalu kembali bertemu dengan Jeremi. Cowok itu, apakah dia mendengar semuanya?
Atau dia menyembunyikannya seolah tak mendengar apa-apa. Saat Bintang hendak menghampiri Jeremi untuk menanyakan banyak hal, seorang wanita cantik tiba-tiba datang lalu bermanja-manjaan dengan cowok itu. Sudah dipastikan itu kekasihnya.
Ah sial, Bintang melupakan betapa berengseknya Jeremi. Bintang seketika mengurungkan niatnya, dengan cepat dia kembali duduk dan membakar rokoknya untuk meredam perasaan anehnya.
Dia takut...diketahui.
Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 4 sore, Bintang yang biasanya sampai malam memutuskan untuk sampai jam sore saja, karena ternyata dia butuh istirahat dari kepalanya yang terasa berat. Sedang asik berjalan, seseorang mencegatnya.
"Tumben jam segini baru balik."
"Pusing," jawab Bintang.
"Mau ke rumah gue lagi ngga?" Seketika Bintang baru menyadari bahwa kemarin dia menginap di rumah lelaki itu, tapi entah kenapa rumah Jeremi terlihat sepi waktu itu, sampai Bintang tak teringat bahwa Jeremi masih tinggal di rumah orang tuanya.
"Yakali."
"Orang tua gue nyantai."
"Jadi kemaren lagi ada ortu lo?"
"Iyaa," jawabnya enteng, Bintang menghela napas lalu mendorong bahu Jeremi yang menghalangi jalannya.
"Gue mau istirahat."
"Lo marah?"
"Ya ngapain marah sama lo," ungkapnya.
"Gue nggak buat salah kan?"
"Yang buat salah itu...Tuhan, kenapa ciptain masalah untuk setiap manusia."
Seketika Bintang melarikan diri. Lain dengan Jeremi yang semakin tertarik lalu mengejar Bintang.
"Mau main?"
"Enggak."
"Ini buat lo," seketika Bintang terdiam saat Jeremi menyodorkan sekotak bekal cowok itu, sama persis tempat bekal yang waktu itu di rooftop gedung kosong.
"Terima kasih, Tuhan."
"Kenapa nggak terima kasih ke gue?" Tanya Jeremi bingung.
"Sebenernya ini dari Tuhan, tapi dikasihnya lewat lo. Gue cabut bye!"
Bintang berjalan meninggalkan Jeremi yang mengernyit bingung, pasalnya gadis yang ditemuinya kali ini begitu aneh. Omongannya meracau, dan tingkahnya berbeda dari yang lain. Sedari awal Jeremi bertemu dengan Bintang, ada ketertarikan tersendiri.
Tadi gadis itu menyalahkan Tuhan, lalu tak lama berterima kasih.
"Lo...sebenernya...apa?" gumam Jeremi.
***
JANGAN LUPA SPAM KOMEN >>>
LIKEE >>
Dan SHARE KE TEMEN TEMEN YA!!!
KAMU SEDANG MEMBACA
When She Writes || sensitive content
RomanceBagaimana jika sebuah akhir cerita berakhir dengan titik? Apakah cerita itu bisa disebut ending? Atau justru malah dibalik tanda titik, masih ada yang ingin disampaikan hingga akhirnya dibuatkan special chapter. Dia bahkan tidak mengetahui bagaimana...