6 Oktober 2024
Bagaimana seseorang bisa tetap melangkahkan kakinya meski saat ini kakinya tengah terluka hanya karena tidak ingin tertinggal rombongan?
Banyak hal dipertanyakan olehnya, kenapa seseorang bisa tertawa selepas itu meski baru saja mendapatkan kabar bahwa salah satu dari anggota keluarganya meninggal? Kenapa dia melakukan itu? Bukankah...itu semakin menyakitkan?
Entah A atau B, yang jelas, semua jawaban itu mengambang. Karena pada dasarnya, tak ada jawaban yang pasti, hanya ada pertanyaan dan pertanyaan, tak ada akhir.
Mungkin, akhir dari segala apa yang dikatakannya adalah diam.
<<<>>>
"Cewek lo, Jer?" Jeremi hanya tertawa, lain dengan Bintang yang berusaha untuk tidak terlihat menyebalkan. Dia menebarkan senyum, seolah memang tak apa. Ia pun ikut duduk dan tepat di samping Jeremi.
Entah apa yang ada dipikirannya, kenapa dia malah mau diajak jalan oleh lelaki yang dia ketahui memiliki pacar. Tapi semua itu dilakukannya sebab ada tantangan yang tak bisa dijelaskan, ia hanya ingin melakukannya.
"Bintang," ucapnya memperkenalkan diri dan bersalaman kepada satu-satu teman Jeremi. Ada sekitar 6 orang, entah siapa saja dia tidak peduli. Jeremi memutuskan untuk mengajaknya ke tempat tongkrongan skena-nya. Tak ada yang keren di sini, hanya ada bau alkohol menyeruak serta asap "hijau". Di samping itu juga, beberapa orang lainnya yang tak ikut bergabung terlihat sudah sangat teler.
Apakah seburuk ini tongkrongan pria itu?
"Bisa aja lo, Jer," ucap cowok di samping Jeremi. Tak lama mereka mengobrol, entah obrolan apa, Bintang tidak peduli. Dia hanya tertarik dengan kehidupan cowok di sampingnya ini yang bernama Jeremi. Seburuk itu kah perjalanan hidupnya sampai bergabung dengan orang-orang seperti ini?
Akan tetapi, dia tidak mengatakan bahwa dirinya tidak sama buruknya. Dia hanya mengeluarkan unek-unek di kepalanya saja.
"Lo gak takut gue ajak ke sini?" Tanya Jeremi tiba-tiba berbisik kepadanya membuat Bintang yang sedari tadi menyeruput kopinya langsung tersenyum.
"Ada setan kah?" Tanyanya sok polos. Jeremi tertawa.
"Lebih seram dari itu."
Bintang menghiraukan, lalu tak lama Jeremi berdiri, "geser dulu," ucapnya. Semua teman-temannya mengiyakan tanpa terlihat keberatan sama sekali seolah tak mengapa. Bintang di ajak, lalu ia mengikuti langkah Jeremi menuju rooftop ujung. Bisa dikatakan saat ini dia tengah berada di rooftop bangunan tua yang sudah lama terbengkalai.
Kenapa dia mau? Karena dia tidak takut pada apapun. Hanya ada satu yang dia takutkan, tapi dia tidak akan mengatakannya hari ini. Tempatnya terlihat menyeramkan dari luar, pasalnya memang bangunan kosong, tapi ternyata di dalamnya tempat pesta narkoba.
"Udah makan?" Bintang menggeleng.
"Lo mikir aja, gue baru balik kampus."
Tiba-tiba saja Jeremi menyodorkan sekotak makanan membuat Bintang mengernyitkan dahinya.
"Apaan?"
"Nasi."
Bintang menarik sudut bibirnya, "gak malu bawa bekal?"
"Ngapain malu. Orang gue bukan kuli." Jawaban klasik itu keluar dari mulut Jeremi. Bintang tertawa.
"Biasanya cowok malu. Keren."
"Yoi."
"Thanks," ujar Bintang tanpa pikir panjang mulai memakan makanan yang diberikan oleh Jeremi. Sejujurnya, ia sudah tak memiliki uang untuk kehidupannya sehari-hari. Uangnya sudah habis untuk foya-foya, dan membayar segala kebutuhannya.
"Udah lama ngekost?"
Pertanyaan Jeremi terlihat effortless.
"Yoi."
"Seru nggak?" seketika Bintang mengernyit bingung, aneh sekali cowok ini.
"Biasa aja. Lo tinggal di mana emang?"
"Di rumah."
Suasana seketika hening, Jeremi menatap langit seraya menyesap rokoknya. Lain dengan Bintang menghabiskan makanan yang diberikan cowok itu.
"Lo masak sendiri ini?"
"Nyokap. Dia yang selalu nyuruh gue bawa bekal karena tahu gue suka sampe malem di kampus."
"Kasihan nyokap lo ditinggal-tinggal terus sama anaknya," timpal Bintang, entahlah kenapa dia bicara seperti itu.
"Apa bedanya sama lo? Lo juga ninggalin nyokap lo saat ini."
Bintang tak membalas, selesai makan dia langsung membakar rokoknya. Dia menikmati setiap hisapan dan asap yang masuk ke dalam paru-parunya, merusak tubuh itu sungguh sangat menyenangkan.
"Lo keren gayanya," ucap Jeremi tiba-tiba.
"Biasa aja."
"Serius, jarang gue liat cewek yang di jaman sekarang pede terlihat berbeda."
Bintang tertawa, "yaa ngapain sama."
"Lo manis."
"Lo mabok ya?" Tanya Bintang karena entah kenapa Jeremi sangat aneh sekali, terlebih dengan tatapannya saat ini.
"Boleh nggak gue bilang, gue jatuh cinta saat pertama kali ngeliat lo di kampus?"
Ia terdiam, tak mengatakan apapun. Pasalnya, yang mengatakan cinta kepadanya bukan hanya satu orang. Tidak ada yang spesial di situ, setiap bertemu pria atau berkenalan, semuanya mudah mengatakan cinta. Akan tetapi, apakah cinta itu akan kembali mudah dikatakan ketika sudah mengetahui lebih dalam dirinya? Atau justru malah berbalik dan menghilang begitu saja?
Seperti mantannya.
"Boleh," jawabnya setelah cukup lama terdiam.
"Mau jadi pacar gue nggak?"
Asli, pemain nih Jeremi.
"Kalo gue gamau gimana?"
"Ya gapapa."
"Pasrah amad jadi orang." Jeremi tertawa kecil lalu terdiam, begitu juga dengan Bintang. Keduanya terdiam.
"Cewek lo mau ditaro di mana?"
Jeremi tersenyum, "hati gue luas, masih cukup buat lo."
Bukannya marah, Bintang malah tertantang. "Aneh juga lo, tapi itu buat gue tertarik."
"Jadi?"
Bintang menyipitkan matanya, "gue minta satu," ucapnya sambil memperagakan seolah dirinya merokok.
Jeremi tertawa, "deal."
***
Jangan lupa spam komen>>>>
Komen >>>
Komen >>>
SHARE JANGAN LUPA YA!
Happy reading🥵😍⚠️
KAMU SEDANG MEMBACA
When She Writes || sensitive content
Roman d'amourBagaimana jika sebuah akhir cerita berakhir dengan titik? Apakah cerita itu bisa disebut ending? Atau justru malah dibalik tanda titik, masih ada yang ingin disampaikan hingga akhirnya dibuatkan special chapter. Dia bahkan tidak mengetahui bagaimana...