Tulisan 01 ;

895 108 4
                                    

Semua yang ada di dalam cerita ini hanya fiksi belaka, mohon kebijakan dalam membaca (17+)

03 Oktober 2024

Kamu pikir, depresi itu segampang membalikkan telapak tangan?
Kamu pikir, depresi itu...alasan kemalasan?
Kamu pikir, depresi itu bisa berpikir?
Kamu pikri,

Iya...hi pikri, aku Bintang, hehe.

...

Bintang terbangun dari tidurnya, ia menyayangkan hal tersebut. Pikirnya bangunan kostnya akan menimpa dirinya dan berakhir mati. Namun dirinya masih hidup dan bernapas, ya buktinya sekarang dia bangun pagi.

Pagi ini, dia akan ke kampus untuk menjalani kehidupannya sehari-hari. Dengan malas, ia akan tetap berangkat kuliah. Rambutnya berwarna, yaa itu ciri khasnya, rambutnya berwarna merah maroon, potongannya wereworlf (wolfcut), ia selalu pakai anting berbentuk bintang silver seperti namanya.

Tak ada warna yang disukainya selain hitam. Dengan menggunakan headphone dia melangkahkan kakinya menuju kelas. Walaupun jaraknya tak menempuh waktu lama, akan tetapi Bintang menikmati setiap langkahnya menuju kampus. Akan tetapi sialnya dia tersandung, matanya melirik ke kanan kiri, dan orang-orang melihatnya. Kepercayaan diri Bintang langsung buyar seketika, bisa-bisanya lagi keren malah kesandung.

"Tai-tai!" umpatnya.

Lalu dia kembali melanjutkan langkahnya dan kali ini dipercepat.

Lain dengan seseorang menatap Bintang dengan tatapan kagum.

***

"Bi! Lo mah, kalo ngerokok abu-nya kemana-mana, liat dah." Dia Bina, selalu saja kerjanya marah-marah. Tapi disclaimer dia nggak bener-bener marah kok, emang kalau ngomong suka keras atau sensi.

"Yaelah, tar gue beresin."

"Hari ini, gue mau main sama Aldo ah." Bintang menghela napasnya.

"Yang bayarin lo?"

"Hm...ya ngga papa ngga sih?" Tanya Bina membuat Bintang menghela napasnya lagi-lagi.

"Ya gapapa sih, cuma kalo lo terus yang bayarin, jatohnya tuh cowok mokondo, Bin."

Bina tersenyum, "gue suka bayarin cowok, lagian juga gue gamau kali dibayarin sama cowok apalagi sampe nanti gue dibuat utang budi sama mereka. Makanya sebelum gue disebut matre, gue yang bakal terus keluarin duit buat dia."

Ya begitulah, sebenarnya ada alasan kenapa Bina sebegitunya takut dibilang matre. Hingga traumanya itu sampai dia seperti yang sekarang ini. Dia lebih memilih untuk mengeluarkan uang dari pada di cap matre sama cowok. Pasalnya mantannya dulu pernah menagih semua uang yang pernah dikeluarkan oleh lelaki itu. Bina ketar-ketir dan merasa sangat ketakutan, hingga akhirnya pacarnya saat ini justru malah hanya memanfaatkannya.

Bintang sudah memberitahukan kepada Bina untuk lebih baik tidak berpacaran terlebih dahulu karena Bina yang sekarang justru malah dimanfaatkan, lebih baik gadis itu menyembuhkan diri terlebih dahulu. Tapi kalau dibalas, pasti Bina akan mengatakan bahwa gadis itu tidak bisa kesepian makanya memaksakan diri untuk tetap berpasangan.

Mau bagaimana lagi?

"Hm, konseling lo, biar nggak bego," ucap Bintang lalu melangkahkan kakinya menuju kursi yang letaknya tak jauh dari tempatnya saat ini.

"Ihh, Bintang!!" Pekik Bina. Namun gadis itu tak mengejar sama sekali, dia hanya terdiam saja seraya memainkan ponselnya membiarkan Bintang duduk sendirian di sana.

Bintang menyesap rokoknya seraya menyaksikan orang-orang beraktivitas. Sungguh menyenangkan rasanya melihat orang-orang bahagia, dan juga menikmati kehidupannya. Bintang juga ingin merasakannya. Tapi apa boleh buat? Toh memang belum waktunya.

"Boleh pinjem korek nggak?" Seketika Bintang menoleh mendapati cowok yang hendak merokok.

Dengan senyum Bintang menyodorkan koreknya. Lelaki itu membakar ujung rokoknya hingga menyala, dan mengembalikan korek miliknya.

"Makasih banyak ya."

"Satu aja, nggak usah banyak-banyak," balas Bintang lalu menerima koreknya. Lain dengan cowok itu yang tertawa kecil mendengar balasan Bintang.

"Boleh duduk sini?"

"Boleh," jawabnya.

"Semester berapa?"

"5."

Cowok itu mengangguk, "jurusan?" Tanyanya lagi.

Bintang memilih untuk bohong, "Sastra Arab."

"Nggak ada kan."

Tawanya lepas, ah entah kenapa lucu sekali melihat ekspresi lelaki itu, "iyaa, cari yang nggak ada."

"Bagus," ucap lelaki itu, "lo cantik. Nama lo Bintang kan?" Seketika Bintang terdiam dengan tatapan aneh, bagaimana cowok itu bisa mengetahui namanya?

"Kok tahu?"

"Nebak aja dari anting lo." Seketika cowok itu yang tertawa.

"Bisa juga, kalo misal anting gue bulan gimana? Apakah nama gue juga akan bulan?"

Seketika cowok itu terdiam seperti berpikir sejenak untuk membalas pertanyaannya, tak lama ia menghela napasnya, "bakal tetep bintang sih. Cocok soalnya."

"Padahal gue mau dinamain gelap."

"Kok?"

Bintang tersenyum tipis, "soalnya gue suka gelap."

Seketika cowok itu menyodorkan tangannya, "Jeremiah..."

Bintang mengernyit, ini cowok ngajak kenalan?

"Oh hi jeremiah. Gue panggilnya...Jere? miah?"

"Sedipanggilnya aja, duluan ya."

Entahlah, Bintang tidak tahu harus mengatakan apa.

***

Jangan lupa vote dan komennya♨️

When She Writes || sensitive contentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang