MEREDITH's POV
Aku membuka mataku dengan cepat setelah sadar dari pingsanku. Aku berdiri dari tempat dudukku, dan melihat Rufus sudah sadar terlebih dahulu, tersenyum menakutkan padaku. Aku hendak menyakiti pikirannya, tetapi dia berhasil menyakiti pikiranku terlebih dahulu, membuatku mengerang kesakitan.
Aku meregangkan tanganku kearahnya, dan epee-ku yang tadinya tersimpan didalam kantongnya langsung keluar, menyabet dada Rufus. Dia mundur kesakitan, dan aku menggunakan kesempatan itu dengan baik. Aku menyalurkan emosi ketakutan padanya, tetapi sepertinya itu tidak berdampak apapun padanya. Dia malah tertawa lepas. Bulu romaku menegang, baru sadar kalau laki-laki ini tidak mengenal rasa takut.
Aku beralih, menyakiti pikirannya membuatnya mengerang kesakitan, memegang kepalanya. Aku mengambil epee-ku yang berada diatas lantai, dan membawanya kearahnya. Aku tidak berhenti menyakiti pikirannya, dan hendak menghunuskan pedangku kearahnya ketika mataku bertemu dengan matanya.
Rufus menyakiti pikiranku sekali lagi hanya dengan melakukan kontak mata denganku. Aku melepaskan epee-ku, dan memegang kepalaku kesakitan. Aku hendak menggerakkan epee-ku agar membunuhnya dalam sekejap, tetapi ketika aku hendak melakukan itu, Rufus makin menyakiti pikiranku. Aku berteriak kesakitan, memegang kepalaku. Rasanya aku ingin melepaskan kepalaku dari tubuhku, begitulah rasa sakit yang kurasakan saat ini.
Entah sudah berapa lama aku berkutat dengan rasa sakit dikepalaku ini. Air mata sudah memenuhi wajahku, meminta ampun Rufus untuk menghentikan semua rasa sakit ini. Aku seperti anak kecil yang tidak bisa apa-apa. Aku merasa semua yang sudah kulatih selama ini tidak berarti apa-apa. Lawanku tidak seimbang denganku. Dan aku akan mati ditangannya.
Rasa sakit itu tiba-tiba berhenti secara instan, membuatku tidak bisa membedakan rasa sakit dan rasa tidak sakit selama beberapa saat. Aku membuka mataku, dan melihat Rufus melayang dihadapanku. Tampangnya kesakitan, memegang lehernya seolah-olah dia sedang dicekik oleh seseorang tidak kasat mata. Apa Carina berada disini?
Aku mengedarkan mataku kesekitar, dan mataku bertemu dengan Ariel yang berdiri dibelakangku, yang tampaknya juga sedang menatapku secara diam-diam. Aku berusaha tersenyum berterima kasih padanya, namun dia tampaknya sedang tidak ingin basa-basi. Aku berdiri dari tempat dudukku, berdiri disampingnya.
"Kau tidak apa-apa?" bisik Ariel dengan suara dingin.
Aku mengangguk pelan. "Terima kasih karena menyelamatku. Aku nyaris meninggal," jawabku.
"Dimana Liam?" tanyanya.
Aku menggelengkan kepalaku. "Kukira dia sedang bertarung dengan Neal dan Edward diluar sana."
Ariel menggeleng. "Aku tidak melihat siapapun diluar," jawabnya. "Mari kita akhiri ini semua sekarang juga," kata Ariel sambil mengangkat kedua tangannya. Energi hitam muncul dari balik lantai disekeliling Rufus, dan energi hitam itu menutupi tubuh Rufus, yang berteriak kesakitan.
Beberapa saat kemudian, aku tidak mendengar apapun lagi dan energi hitam itu menghilang. Rufus tumbang diatas lantai. Matanya terbuka lebar dan mulutnya menganga. Wajahnya kesakitan. Aku menelan ludahku tidak percaya, menatap Ariel.
"Kau tidak apa-apa?" tanyaku padanya.
Dia tersenyum tipis padaku, senyuman yang tulus kali ini. "Ya. Aku tidak apa-apa," jawabnya. Dia melihat pintu lain dihadapan kami. "Jadi, aku penasaran pintu itu menuju kemana?" tanyanya sambil menunjuk pintu tersebut.
"Aku tidak tahu. Mungkin pintu menuju ketempat Liza?" tanyaku.
"Kenapa kita tidak cari tahu saja kebenarnnya sekarang?" tanya Ariel.