LIAM's POV
Kami memakamkan mama dan Joe didekat rumah Paman Brian. Proses pemakaman tersebut terjadi secara khidmad dan tenang. Kami semua tidak banyak berbicara, sibuk dengan pikiran masing-masing.
Paman Brian dan London datang ke gua setelah dua jam kematian mama dan Joe. Sesuatu terjadi pada kaki Paman Brian, dan dia harus duduk dikursi roda mulai saat itu. Aku tidak bertanya ataupun marah pada mereka kenapa mereka menghilang disaat genting seperti itu, tidak ada yang menanyakan hal itu pada mereka. Mereka juga tidak memberitahu kami sebenarnya apa yang terjadi.
Ariel sudah menelpon Bibi Arianne, menceritakan segalanya pada Bibi Arianne, bahwa mama sudah tidak ada lagi. Bibi Arianne ingin pergi kesini, paling tidak mengunjungi mama, memberikan penghormatan terakhirnya pada mama, namun Paman Brian tidak mengijinkannya. Situasinya terlalu berbahaya untuk membiarkan Bibi Arianne berpergian sendirian.
Malam sudah datang ketika kami sampai ditempat perkemahan kami. Aku sedikit khawatir melihat Ariel yang hanya bisa terdiam, sama sekali tidak menangis saat pemakaman mama dan Joe. Aku yakin, dari kita semua, pukulan ini pasti sangat berat bagi Ariel. Dia harus kehilangan mamaku, yang sudah dianggap seperti orang tuanya sendiri, serta Joe, sahabat baiknya yang baru dia temui setelah setahun tidak pernah bertemu.
Carina dilain sisi tidak bisa berhenti menangis, dan London tampak selalu disampingnya, berusaha menghiburnya. Aku bersyukur dengan kehadiran London yang berusaha untuk selalu berada disisi Carina, karena jujur saja, dengan kondisiku yang saat ini, aku tidak yakin bisa menenangkan Carina. Aku takut aku malah akan membentak Carina karena dia terus menangis.
Kami berkumpul diluar gua, menyalakan api unggun sambil menikmati malam penuh bintang dan bulan diatas langit. Meredith, Clairine, dan Bianca menyiapkan makan malam untuk kami. Aku melihat Paman Brian yang duduk dikursi roda diseberangku, aku melihat tatapan matanya yang sedih. Mata kami bertemu, dan aku berdehem, mendapatkan perhatian semua orang.
"Aku ingin lebih kuat dari sekarang. Aku ingin kita tidak kalah lagi dari mereka pada saatnya tiba. Aku tidak ingin membiarkan orang yang kusayangi meninggal lagi didepanku, dan aku tidak bisa berbuat apa-apa," kataku pada Paman Brian penuh tekad.
Mata Paman Brian entah kenapa mengeluarkan semacam harapan, dan bibirnya mengembang membentuk senyuman setelah mendengar kata-kataku.
"Kukira selama ini aku sudah kuat, namun aku masih babak belur saat melawan si manusia pasir sialan itu," gerutu Bianca sambil membakar ikan untuk makan malam kami.
"Aku pingsan saat melawan Matthew," jawab Ethan. "Aku juga ingin jadi lebih kuat dari sekarang, Paman Brian," tambah Ethan.
"Aku hanya bisa mengontrol kemampuan sekitar 20 orang. Seandainya saja aku bisa mengontrol kemampuan mereka semua, mungkin mereka sudah meninggal ditanganku. Tidak perlu ada yang terluka," kata Meredith dengan tatapan sedih.
"Aku pengecut," ujar Ariel tiba-tiba, membuat mata kami semua langsung menatapnya. "Aku tidak berani untuk melawan salah satu dari Ras Luna itu dan memfokuskan diriku pada para Nighty yang lemah." Dia mengendus pelan, membuang muka, melihat tanah. "Lihat apa yang kudapatkan? Teman baikku meninggal. Wanita yang kuanggap orang tua-ku sendiri meninggal. I'm a hot mess," katanya.
"Kau tidak boleh berkata seperti itu Ariel. Kau bukan pengecut. Kau hanya ketakutan," kataku berusaha menenangkannya.
"Apa bedanya ketakutan dan pengecut?" teriak Ariel tiba-tiba marah, berdiri dari tempat duduknya. Lalu tiba-tiba dia terjatuh dan pingsan.
Aku berdiri dari tempatku khawatir. "Aku membuatnya pingsan. Dia memberi beban terlalu ekstrim pada dirinya sendiri," jawab Meredith pelan menjawab pertanyaanku. "Dia merasa semua ini salahnya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Luna Wand: The Chrysalis
PertualanganSekuel dari 'Luna Wand: The Unknown Story'