Semenjak kejadian itu pintu kamar Jinan selalu terkunci, ia tak pernah menampakkan wajahnya lagi di depan Rendi bahkan ketika makan malam Jinan lebih memilih untuk makan paling akhir, ia adalah orang pendiam yang semakin menjadi pendiam bahkan saat di ajak berbincang oleh Bunda atau Ayah, Jinan hanya menjawab seadanya. Rayyan dan Dewa mencoba mendekati Jinan namun ia selalu mengurung diri dan mengabaikan semua yang ada bahkan jika berpapasan dengan Rendi ia hanya memalingkan wajah seolah tak melihat ataupun mengakui keberadaan lelaki itu.
Jinan tetaplah seorang anak yang penuh prestasi namun tingkah laku dan sikap nya berubah, tak ada lagi senyuman dan tawa dari bibirnya, tak pernah lagi orang rumah dengan suara nya saat berbincang atau bertukar lelucon dengan Ayah. Ia selalu menghindar di setiap keadaan bahkan ia sengaja mengambil banyak jam pelajaran tambahan serta mendaftar berbagai lomba untuk menyibukkan dirinya sehingga ia selalu pulang telat menjelang maghrib.
Meskipun saat berkumpul di ruang tengah Jinan memilih tetap di dalam kamar dan mengurung diri, seperti nya kejadian waktu itu sangat membekas pada dirinya. Ia tidak salah tetapi Rendi seolah menyalahkan dirinya, tak bisakah Rendi lihat serta menyadari bahwa ia pun khawatir dengan Dewa. Mengapa hanya Rayyan dan Dewa yang selalu Rendi istimewa kan, tidakkah Jinan adalah sebagian darah dagingnya jua. Atau Jinan ini bukan anak kandung Bunda dan Ayah. Mengapa rasanya Jinan tak pernah merasakan apa yang Rendi berikan pada Rayyan juga Dewa.
"Bro gw duluan ya"
Jinan mengangguk kepada para teman-temannya yang satu persatu mulai meninggalkan gerbang sekolah. Jinan mendongkak lalu ia dapati bahwa langit berubah menjadi gelap serta angin yang berhembus begitu kencang. Jinan merapatkan tubuhnya dengan hoodie yang ia kenakan. Ia melihat jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya. Masih pukul empat sore. Bukannya pulang Jinan malah memilih duduk di halte bus yang berada di samping sekolah nya. Ia termenung seorang diri dengan tatapan kosong. Sesekali ia terpenjat saat mendengarkan kilatan halilintar yang di iringi suara nyaring petir.
"Ngapain duduk disana, nggak liat apa udah mau hujan" Gumam Rendi di balik mobilnya yang terparkir sedikit jauh dari posisi Jinan. Mata elang itu tak lepas dari sang adik yang tengah duduk sendirian sambil mengusap tubuhnya. Berkali-kali Rendi memeriksa ponselnya berharap ada panggilan masuk dari Jinan, namun satu jam sudah Jinan tetap duduk di halte tanpa melakukan apapun. "Angin nya kenceng banget Jinan, ngapain lo duduk di sana, jaket lo nggak mempan kalau hujan nanti" Gumam Rendi memukul kasar setirannya sendiri.
Tak di sangka perlahan air turun dari langit dan membasahi aspal kering. Yang semula hanya rintik menjadi gumpalan air hujan yang turun menggebu-gebu. Jinan yang semula duduk kini berdiri, ia mengulurkan tangan membuat butiran air hujan berjatuhan di tangannya. Samar air mata Jinan turun begitu saja dan membasahi kedua pipinya. Tubuhnya mulai merasakan gemetar dan tangannya mati rasa. "Abang—dingin" lirih nya dengan suara yang bergetar juga mata yang terus mengeluarkan air mata. Beruntunglah Hujan turun, sehingga ia bisa menyembunyikan air matanya. Jinan kesepian.
Bagaikan tersambar petir Rendi langsung menyambar payung yang berada di kursi kemudi dan membuka pintu mobil cepat. Ia berdiri di bawah guyuran hujan dengan bernaungkan payung, tatapan matanya tak lepas dari Jinan yang masih sibuk bermain dengan air hujan yang menetes di telapak tangannya.
"JINAN"
Jinan melihat ke arah di mana Rendi berdiri. Namun bukan senyuman yang hadir di mulutnya. Jinan memundurkan langkahnya lalu dengan celat ia membuang muka seolah tak melihat dengan atensi Rendi terhadap dirinya. Jinan mengambil Airpods dan menutup telinganya. Sementara itu Rendi semakin mendekat ke arah nya.
"Jinan, lo dengar nggak gw panggil? Gitu sikap lo kalau di panggil!" Rendi datang dan tepat berdiri di hadapan Jinan. Remaja lelaki itu masih acuh saja sampai Rendi melepaskan Airpods yang menutup telinganya barulah Jinan membalas tatapan nyalang yang Rendi berikan. "Pulang Jinan, lo nggak liat! Ini Hujan, lo mau Hipotermia lo kambuh lagi? Lo mau bikin Bunda sama Ayah—"
"Kerepotan!" Jinan memotong ucapan Rendi yang belum selesai. "Kalau gw ngerepotin ya nggak usah di urus, lagian apa untungnya ngurus orang yang ngerepotin kaya gw, gw bisa sendiri, gw pulang kalau gw mau! Lagian ngapain lo kesini! Gw juga nggak minta di jemput, liat deh baju lo yang oke banget ini malah basah "jawab Jinan menatap Rendi dengan suara mereka yang begitu mirip.
Rendi tak menanggapi perkataan sang adik namun ia langsung menutupi tubuh Jinan dengan jaketnya lalu ia tarik tangan itu kuat, bahkan tenaga Jinan kalah olehnya. Rendi mencengkram lengan Jinan begitu erat bahkan sampai memerah namun ia tetap diam dan membiarkan Rendi menyeret nya ke mobil.
Brak
Rendi menutup pintu mobil dengan keras bahkan tanpa sepatah kata ia melajukan mobil begitu cepat membelah jalanan yang kini di basahi dengan air hujan. Air mata Jinan menetes dengan wajah yang berpaling dari Rendi.
Bahkan saat tiba di rumah pun Jinan langsung turun dan membuka pintu cepat.
"Anak bunda udah pulang—"
Perkataan Wina terhenti saat Jinan melewatinya begitu saja. Langkah cepat nya langsung menuju kamar. Jinan membanting pintu keras membuat orang yang berada di ruang tengah terkejut. Jinan kembali mengurung dirinya bahkan Ayah tak bisa membuat anak itu membuka pintu.
"Bundaaa" Dewa memangil Bundanya dengan raut wajah sedih. Dewa rindu kaka nya, ia ingin meminta maaf kepada Jinan tetapi tak ada waktu, Jinan masih tak mau bicara kepadanya.
Rendi masuk lalu mendongak melihat ke arah kamar Jinan. "Abang istirahat aja gih, pasti kuliahnya cape hari ini" Wina mencoba menenangkan hati putra sulungnya lalu ia usap dada yang turun naik itu pelan.
"Rendi ini masalah kamu dan Jinan jadi selesaikan berdua. Sudah ayah bilang untuk belajar menahan emosi. Jinan tak sepenuhnya salah begitu juga dirimu. Kalian hanya perlu komunikasi yang baik untuk meluruskan semuanya. Jinan juga seorang adik camkan itu Rendi" ucap Cahyadi sebelum Rendi melangkah menuju kamarnya sendiri.
Sebelum melanjutkan langkahnya Rendi berhenti di depan pintu Jinan yang tertutup sangat rapat memberikan jarak antara mereka. "Ji—" suaranya serak itu terhenti. Rendi mengurungkan niat nya dan kembali melanjutkan perjalanannya menuju kamar untuk beristirahat sejenak sebelum makan malam.
Di dalam kamar Jinan mengantung jaket snag abang lalu ia duduk di lantai dengan wajah yang menatap jaket hitam itu. Air matanya kembali menetes. "Aku ini adek nya abang apa bukan sih, bang? Aku di sayang tidak sama abang? Kenapa ya bang, rasanya beda, beda sekali—abang selalu ada untuk Rayyan dan Dewa sedangkan aku di salahkan untuk Rayyan juga Dewa—apa abang sudah tak ingin aku jadi adek abang, apa aku minta ke Tuhan biar ambil aku, biar abang puas beri kasih sayang ke adek abang yang lain" lirih Jinan lalu menekuk lututnya.
Hati Jinan pedih, ia juga terluka namun ia pendam sendiri, tak bisakah Rendi pahami bahwa mau bagaimanapun ia tetap menyayangi dan mengagumi Rendi. "Meskipun abang nggak sayang Jinan tapi Jinan minta tolong jangan larang Jinan buat sayang sama abang, sedikit aja bang, kasih sebagian perhatian abang untuk Jinan. Aku juga mau di sayang seperti Rayyan dan Dewa. Aku masih adiknya abang bukan orang lain" Ucap Jinan lagi sambil menyeka air matanya yang selalu menetes sampai membuat bajunya basah.
Jinan merebahkan dirinya di lantai, tubuh itu meringkuk. "Aku sayang abang, sayang sekali" lirihnya, lalu mata cantik Jinan mulai menutup dengan rasa dingin yang menjalar.
...
....
.....🌈 It's Rayyyiee, semoga kalian suka yaa, terimakasih yang sudah mampir dan membaca cerita ini 🌸 tolong kasih vote juga koment nya
KAMU SEDANG MEMBACA
Five wishes! [SM Family]
FanfictionBercerita tentang hubungan persaudaraan yang terjalin begitu erat dan saling menyayangi meskipun masih sering terjadi pertengkaran dan perdebatan untuk hal kecil sekalipun. Kelima orang ini tentu memiliki perangai dan budi pekerti yang berbeda, terb...