Bab 1 | Barang

8 4 0
                                    

1 bulan ....

2 bulan ....

Bahkan setelah waktu berjalan 3 bulan ....

Kantung mataku terlihat begitu jelas, rambutku juga berantakan, tubuh kurus, dan terdapat banyak bercak merah karena gigitan nyamuk. Entah kenapa gigitan nyamuk di tempat ini begitu gatal hingga membuatku terus menggaruk bekasnya hingga kulitku mengelupas dan berair.

"Rayana udah waktunya sarapan, ayo makan!"

Gadis itu pergi setelahnya, tapi suara lonceng yang terpasang di lehernya membuat siapapun tau ini waktunya makan.

Nama gadis itu Gladys. Sosoknya ceria dan suka berjalan kesana-kemari. Rambutnya hitam panjang dan sangat bagus, tapi jelas saja itu semua tidak penting, karena yang penting adalah tugasnya di tempat ini.

Biar aku beritahukan singkat saja. Anak-anak seperti Gladys dipanggil 'si pemanggil', dan mereka adalah anak-anak yang bertugas sebagai pengingat waktu bagi yang lain. Gedung kumuh namun besar itu harus mereka kelilingi setiap ada jadwal, seperti saat sarapan, makan siang, makan malam, dan acara lainnya jika ada. Lonceng-lonceng yang terpasang di lehernya adalah tanda bahwa ada yang harus kami lakukan.

Kalau kalian berpikir mereka kasihan, maka kalian salah besar! Mereka yang di tugaskan sebagai si pemanggil masih termasuk beruntung karena hanya itu saja pekerjaan mereka. Biasanya pun si pemanggil adalah anak-anak dari seseorang yang meminta kami memanggilnya 'Tuan'.

"Rayana, kamu denger kan aku bilang apa? Ayo, cepet kamu siap-siap. Ikat rambut kamu dan berpenampilan rapi. Jangan merusak jadwal sarapan," ulang Gladys sambil melangkah pergi darisana.

Tak ada yang menungguku menjawab apapun di tempat ini, karena mereka pikir aku tidak bisa bicara. Sejak sampai di tempat ini, aku sungguh syok, bingung, dan tidak tau apa yang terjadi hingga tidak mau bicara apapun.

"Rayana tunggu aku! Hari ini soalnya lebih pagi dari biasanya jadi aku telat."

Aku menoleh ke arah si pemanggil. Ah .... itu Seila, anak perempuan yang datang bersamaan denganku. Bedanya, dia tau jika dirinya dijual dan aku tidak tau jika diriku dijual.

"Hari ini kenapa sarapannya lebih pagi ya, Na?"

Gelengan pelan aku berikan sebagai jawaban atas pertanyannya.

"Aku juga nggak tau, tapi denger-denger bakal ada yang dateng hari ini."

Apa peduliku? Aku hanya ingin keluar dari tempat ini dan hidup selayaknya perempuan berumur 16 tahun lainnya. Aku hanya ingin pergi jauh dari tempat ini dan berhenti dari segala pekerjaannya. Bagaimana jika aku terkurung di tempat ini hingga dewasa? Bagaimana jika aku tidak bisa keluar? Bagaimana jika bajuku selalu kain yang sudah kuning karena terlalu banyak dipakai? Bagaimana masa depanku? Dan .... kenapa Bunda tega pada putri semata wayangnya?

Sial! Bahkan untuk menangis saja aku sudah tidak bisa. Hatiku sering dipaksa untuk tidak merasakan emosi apapun. Tidak boleh marah, tidak boleh sedih, tidak boleh membantah, bahkan memberi pendapat pun dilarang.

"Barang seperti kalian hanya boleh patuh! Tidak boleh melakukan apapun selain patuh! Jangan menunjukkan emosi! Barang mana yang memiliki emosi?!"

Itulah kalimat yang para 'Tuan' layangkan pada kami.

Aku hanya gadis yang tau bagaimana kehidupan normal berjalan. Bertengkar dengan manusia lain, kemudian saling memaafkan, kemudian bertengkar lagi, itu hal biasa.

Tapi di tempat ini, mereka yang memiliki hubungan buruk dengan sesama manusia harus dituntaskan segera. Sayangnya, hanya para musuh Tuan saja yang harus dimusnahkan. Karena hanya Tuan yang merupakan seorang manusia.

"Rayana, kenapa melamun?! Cepet duduk!"

Punggungku didorong begitu keras berkali-kali hingga langkahku sampai di sebuah kursi kosong dekat dengan kursi Tuan Besar akan duduk.

"Jangan protes! Kamu akan di perkenalkan pada Tuan Besar, jadi bersikap baiklah hari ini."

Aku? Kenapa? Jika sampai aku di perkenalkan kepada Tuan Besar, bukankah tidak ada kemungkinan untuk aku bisa keluar dari tempat ini?

Orang yang berdiri di belakangku sebagai penjaga dapat melihat bagaimana bahuku bergetar.

"Jangan merusak suasana lagi, Rayana," desisnya penuh ancaman.

Baju kuningku dan celana abu-abuku sudah menjadi saksi berapa kali aku membuat masalah di tempat ini. Satu, saat awal masuk, yang kedua, saat Ayah Gladys memanggilku ke rumahnya untuk meminum segelas anggur, dan ketiga, saat sarapan kemarin lusa saat gedung bawah terbakar. Dan semua masalah yang aku sebabkan adalah karena aku berusaha kabur.

"Rayan—"

Sebelum penjaga itu selesai mengucapkan namaku, garpu di tanganku sudah menyentuh kulit lehernya secepat yang aku bisa.

"RAYANA—"

"Tuan, biar saya yang urus. Membentak perempuan itu hanya akan membuat suasana rusak dan semakin ricuh. Anda mau Tuan Besar melihat acara yang sudah rusak karena Rayana?"

"Hah .... saya serahkan kepada kamu."

Aku melirik ke arah dua orang yang percakapannya sampai di telingaku itu.

Dari kalimat yang mereka muntahkan itu, sepertinya kesimpulan baik bagi diriku hanya satu, yaitu merusak jadwal sarapan pagi untuk mengecewakan Tuan Besar.

Yang terpikirkan di otakku sekarang hanya 1 hal saja, yaitu—

"AAARRRGGHH!!"

Berhasil, aku berhasil melakukannya walau dengan tangan gemetar.

Si penjaga di belakangku terjatuh masih dengan garpu yang menancap di leher depannya. Tenang saja, dia tak akan mati, aku hanya menusuk pelan dan tidak menggunakan dendam sama sekali.

"Hei kalian, bawa penjaga itu ke ruang kesehatan!"

Laki-laki yang tadi di percaya oleh Tuan untuk mengurus diriku menyuruh beberapa penjaga lain membawa temannya ke ruang kesehatan.

"Hebat Rayana, memang harus seperti itu, jadi kamu akan semakin kuat dan semakin disukai oleh Tuan Besar."

Dasar pembohong! Dia pasti mengatakan itu karena ingin aku diam dan berhenti merusak suasana bukan? Aku juga tau jika Tuan Besar tidak suka acara penyambutannya dirusak—karena ucapanmu dan Tuan tadi aku jadi tau.

"Rayana udah ya, nanti kamu bisa kenapa-napa." Seila menarik-narik pelan pergelangan tanganku yang ia pegang begitu erat dengan kedua tangannya.

"Seila bukan? Cantik sekali ya kamu, dan tenang saja, Rayana akan baik-baik saja selama dia terus membuat masalah," lanjut laki-laki penjaga tadi.

"Maksud kamu?" tanya Seila tidak mengerti.

"Tuan Besar suka anak-anak pembuat masalah karena mereka bisa tumbuh menjadi orang yang sangat pemberani. Berhentilah membuat masalah jika kamu masih ingin berada di gedung ini, Rayana," ucapnya pelan.

Orang itu tersenyum begitu lembut padaku.

RayanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang