Bab 8 | Gagal

4 3 0
                                    

"Bagaimana perasaanmu setelah menjadi pengalih perhatian berkali-kali?" tanya Geru.

Anak itu tersenyum mengejek ke arah Devan. Seolah berusaha membuat Devan merasa bersalah.

"Aku tidak tau. Awalnya, tentu saja aku gagal, lalu aku segera dibawa pulang dan diikat di tiang besi. Tempatnya di lapangan belakang. Diikat disana selama dua hari dua malam. Punggungku terbakar saat siang dan saat malam aku disiram oleh air yang di dalamnya sudah diberi es batu. Selain itu, aku juga dipukul menggunakan bambu yang sudah dibagi menjadi empat. Satu untuk dipukulkan di pagi hari, yang kedua saat siang, ketiga saat sore, dan terakhir saat malam, masing-masing dua puluh pukulan-sesuai jumlah anak-anak yang bekerja paksa di sini dulunya."

"Tidak mungkin .... Tidak mungkin!"

"Sungguh, aku tidak berbohong. Aku juga hanya minum air saja waktu itu, tidak diberi makan karena mereka benci melihat kegagalan. Jangan sampai gagal saja ya."

Postur Devan tampak santai. Dia seperti sudah biasa disiksa seperti itu. Atau memang begitu sifatnya? Tidak mungkin kan dia terbiasa?

"Penjambretan itu paling mudah, tapi resikonya juga paling besar. Karena kalian akan mudah tertangkap oleh orang-orang."

"Apa .... apa yang terjadi jika tertangkap?"

"Dibunuh juga mungkin? Yah .... aku tidak tau."

Wajah mereka semua pucat pasi. Sepertinya mereka masih punya keinginan untuk hidup dan bebas darisini. Aku pun juga sama ....

••••

"Enak ya jadi kamu, Rayana. Punya penyelamat yang tau segalanya."

Penyelamat katanya? Devan? Yah .... itu memang membuat hidupku jauh lebih mudah, tapi sekaligus juga bingung. Hanya orang bodoh seperti Devan yang mau membantuku. Iya, dia memang hanya bodoh saja.

"Lakukan seperti yang direncakan. Jangan terlalu banyak protes agar tidak gagal. Aku tidak ingin kulitku menempel pada tiang besi, atau dipukul sebanyak orang yang ada di gedung kita."

Sekarang aku tengah bimbang untuk ikut membantu atau tidak. Karena jika sampai aku ketahuan tidak melakukan apapun, maka aku akan dihukum seperti yang dibilang Devan tadi. Belum tentu Devan mau menggantikan aku, dan jika pun dia mau, aku akan merasa bersalah lagi. Apa .... sebaiknya aku menjalankan rencananya juga seperti yang lain? Aku kan sudah terbiasa ....

"Turun, lakukan seperti yang kalian rencanakan tadi. Aku tak peduli bagaimana, asal berhasil maka kalian tidak akan dihukum. Begitu menjambret, kalian larilah dulu menyenggol siapapun, buat korban berteriak. Setelah berlari sekitar tujuh menit, kembali ke sini. Serahkan padaku sisanya."

Semua sudah disiapkan. Dengan tekad yakin, kami mengangguk. Langkah pelan dan tanpa suara itu kami giring ke gang yang mengelilingi gedung besar itu.

"Rayana, kau bersama kami."

Aku mengikuti Geru yang memanggilku tadi. Langkahku yang berada di belakang mereka terus memelan karena memikirkan apa yang harus aku lakukan.

"Kami yang akan lakukan, kau ikuti saja apa kata Devan." Geru menghela napas pasrah, "Aku tau kita sangat salah karena melakukan hal ini, tapi kita tidak punya pilihan. Bisa saja kita yang mati jika gagal ataupun menolak," ucapnya pada salah satu temannya.

Untuk tugas seperti ini, kami biasanya dipakaikan baju yang tertutup dari atas hingga ujung jari kaki agar tidak tertangkap kamera dan sulit dilacak.

"Ikuti aku!"

Mereka berdua mulai berlari ke kerumunan, mengambil hal berharga yang sudah ditargetkan saat berbicara tadi.

Aku hanya terus mengamati saja, tidak melakukan apapun karena Geru bilang, aku diam saja dan Pak penjaga yang mengantar kami bilang, asal berhasil dia tidak peduli.

"TASKU!! TOLONG TASKUUUU!"

"PENCOPET!!!"

"Ah! HEII! JANGAN LARI!"

Kericuhan mulai terjadi dimana-mana, dan pandanganku tak bisa menemukan di mana Geru dan anak-anak yang lain. Sebenarnya, di kerumunan sebanyak ini, memang agak sulit menemukan mereka semua. Tapi setidaknya, ada satu anak yang bisa aku lihat namun, saat ini tidak ada satu pun yang-

"TERTANGKAP! SATU TERTANGKAP!"

Kakiku dengan cepat bergerak ke arah suara dan mendapati Sevi yang lengannya dipegang erat oleh seorang laki-laki dewasa. Tanpa pikir panjang, aku langsung menerjang laki-laki dewasa itu hingga tubuhnya tersungkur bersamaan dengan tubuhku juga.

"Lari!" Sevi menarik lenganku dan melemparkan tas itu ke sembarang arah.

Di kericuhan begini kami disuruh untuk berlari mengelilingi keramaian selama 7 menit?! Bahkan sebelum tujuh menit saja mereka sudah berteriak sana-sini.

"Untung korbannya akan ditikam di jalanan ramai ini, jadi se-enggaknya, kita berhasil. Makasih, Rayana."

Tidak ada jawaban dariku, karena jujur saja aku bingung pada kebenaran tindakanku.

"Rayana, Sevi!"

Kami berdua melihat ke arah Geru-yang memanggil, dan dengan cepat berlari ke arah laki-laki yang terus melambai itu.

"Ger-"

Saat sampai, bukannya di sambut oleh teman yang lain, kami justru di hadapkan dengan 2 orang ber-jas hitam yang berdiri di belakang Geru.

"Apa? Kenapa?" tanya Geru masih tak mengerti.

"Siapa mereka, Ger?"

"Siapa apanya?" tanya Geru.

Dia melihat ke arah belakang, mendapati 2 laki-laki ber-jas hitam yang sepertinya memang sengaja membiarkan Geru memanggil kami lebih dulu.

"Ger .... gimana ini?"

"Tenang, mungkin mereka salah satu bawahan Tuan Besar-"

"Siapa Tuan Besar? Kenapa membuat kekacauan? Siapa yang mengirim kalian?"

"Ka-kami .... kami di-" Sevi hendak menjawab, tapi ucapannya dipotong oleh Geru.

"Kami butuh makan! Anak-anak gelandangan seperti kami tidak bisa mendapat apapun selain dengan mencopet atau mencuri!"

"Apa kalian pikir mencopet itu hal baik?"

"Tentu saja tidak! Tapi ditengah .... ditengah keputus asaan kami, apa kalian pikir kami bisa berpikir mana yang buruk dan yang benar?"

Salah satu pria ber-jas itu membuka kacamata hitamnya. Helaan napas lelah terdengar dari mulutnya.

"Nama kalian siapa?" ucap salah satu penjaga. Dia sudah mengeluarkan buku catatan kecil dan bolpoin.

"Alvin, Nada, dan Indah," jawab Geru asal.

"Asal kalian?"

"Sebelah pabrik pembuatan beras tidak terpakai."

"Di bawah jembatan?"

Kami semua bisa melihat bagaimana pandangan laki-laki itu mengoreksi, seolah jawaban kami setelah ini adalah sesuatu yang menentukan nasib kami kedepannya.

"Tidak ada jembatan di sana, tapi banyak tumpukan sampah. Aku-maksudku kami, kami tinggal di sana."

Pria berjas yang daritadi menanyai kami merobek kertas yang tadi dia tulisi sesuatu.

"Terima ini. Dariku."

Keduanya pergi setelah itu, membuat kegaduhan berhenti seketika.

"Apa itu?" tanya Sevi.

"Teman kalian memberikan catatan kertas pada kami soal rencana kalian, hingga Nona kami tak berhasil ditikam. Aku tidak tau darimana asal kalian, tapi terimakasih karena sudah menggagalkan upaya itu. Kebaikan kalian akan kami rahasiakan selamanya untuk keselamatan kalian."

"Catatan apa?" tanya Geru.

Kami berdua menggeleng tak tahu.

"Tapi .... itu artinya kita gagal bukan?" tanya Sevi.

Tubuh kami bertiga menegang, takut mendengar kenyataan yang baru saja Sevi paparkan.

RayanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang