Bab 2 | Ruang Bersih

6 3 0
                                    

"Apa dia memang selalu sependiam itu?"

Itu pertanyaan pertama Tuan Besar tentangku yang duduk di meja depan—dekat sekali dengan tempatnya. Ujung mataku dapat melihat bagaimana mata tegas itu terus meneliti gerak-gerikku, seolah ingin menjelajahi bagaimana sifatku, pikiranku, dan perasaanku. Tapi memangnya dia bisa? Memangnya ada manusia yang bisa membaca pikiran?

Bahkan melubangi dinding batu dengan tangan saja dulunya aku tak percaya ada yang bisa, tapi sekarang, aku pun bisa melakukannya. Membuat api terasa dingin pun aku juga berhasil. Aneh .... tapi aku bisa melakukannya.

"Berusahalah lebih baik, aku akan datang lagi jika orang yang mau kalian promosikan jauh lebih baik dari sekarang."

"Tunggu—Tuan Besar," ucap salah satu Tuan.

Setelahnya, Tuan Besar berjalan meninggalkan ruangan itu dengan cepat disusul oleh para Tuan.

"Benar bukan? Aku tidak berbohong lho, kepada Rayana yang sebenarnya tidak bisu."

Laki-laki yang di perintahkan untuk mengurusku itu berucap pelan sambil tersenyum manis, kemudian pergi mengikuti langkah Tuannya.

"Rayana .... tadi yang dibilang orang itu bener?"

Aku meletakkan jari telunjukku di depan mulut, menyuruh Seila untuk diam. Jika sampai terdengar yang lain, aku yakin sekali masalah akan datang padaku.

"O-oke, tapi nanti kamu harus bilang ke aku ya. Jelasin ke aku, Rayana."

Seila bukan gadis pemanggil yang artinya dia bukanlah putri dari para Tuan ataupun Tuan Besar sendiri. Sepertinya akan aman jika menceritakan pada Seila dan lagi, gadis itu adalah satu-satunya orang yang rela dihukum bersamaku walau dia tidak salah.

"Oke," bisikku pelan sekali.

Keterkejutan Seila membuat kursinya jatuh kebelakang bersama tubuh Seila yang masih kaku. Dia lekas berdiri sambil menutup mulutnya.

"Makanannya enak! Sayang sekali Tuan Besar tidak mencobanya lebih dulu sebelum pergi," ucapnya dengan nada yang sangat-sangat senang.

Sepertinya tipuan itu berhasil karena tidak ada yang protes atau bertanya lebih lanjut.

"Maaf, Na ...." cicitnya takut.

Jawabanku hanya gelengan singkat saja. Kembali ke setelan awal, aku tidak membuka mulut lagi. Membiarkan kesunyian mengelilingi diriku tanpa ada suara yang keluar sama sekali.

"Terimakasih," ucap Seila lagi. Kali ini sambil tersenyum.

Sarapan pagi itu seharusnya jadi makanan tidak enak karena datangnya Tuan Besar, tapi apa yang dikatakan Seila benar tentang 'makanannya enak'.

••••

"Segera ke tempat pengambilan tugas!"

Seila yang berada di sebelahku terus merapalkan doa agar mendapat tugas untuk bersih-bersih di gedung saja.

Tatapanku yang seperti menanyakan "kenapa?" langsung dijawab oleh Seila yang paham tatapan bertanyaku.

"Katanya hari ini bakal banyak yang minta hubungan badan sama anak-anak dibawah umur disini. Parahnya lagi, ada yang dijual untuk melakukan hubungan sejenis. Kata Tara dan Devan kayak gitu," jelas Seila.

Bukannya itu sudah biasa? Tanyaku padanya, hanya dengan tatapan saja.

"Memang, tapi kan kita nggak pernah terbiasa sama hal itu, Rayana."

Benar. Siapa juga yang terbiasa dengan hal biadab seperti itu.

Hal itu juga sebenarnya yang membuatku tak mau mengurus diri dengan benar. Diminta melakukan hubungan badan dengan pria tua yang tidak memiliki kemanusiaan itu sungguh membuat mual. Untung saja hanya sehari penampilanku tidak seperti sampah! Hari lainnya? Penampilanku selalu busuk!

RayanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang