Bab 3 | Pelarian

5 1 0
                                    

Mobil yang membawaku  berisi 2 orang laki-laki muda yang umurnya sekitar 19 sampai 20 tahun. Mereka tampak santai-santai saja mengantar seseorang yang akan dijual, membuat emosiku semakin lama semakin naik hingga ke ubun-ubun.

"Siapa sih yang nyewa dia? Soalnya kan bisu, mana bisa 'bersuara'?"

"Sialan! Hahaha!"

"Perasaan dia busuk juga kok, kayak bangunan kita."

"Sekarang mah dandan cantik supaya jadi simpenan tetap, bukan barang sekali pakai."

Tawa mengejek terdengar dari dua orang di depanku. Mereka tampak benar-benar senang bisa mengejek orang sembarangan. Tipe manusia begini yang jika dilawan akan takut, kemudian merasa dihina, dan berakhir melakukan kekerasan karena merasa jadi korban.

Begitu mobil yang aku tumpangi terpisah dengan bangunan busuk itu, aku mengeluarkan bedak untuk sedikit memperbaiki warna kulitku yang memudar, dan mengeluarkan tisu untuk menghapus warna bibirku.

"Heh! Ngapain dihapus?! Sakit hati dibilang dandan cantik karena mau jadi simpenan tetap, hah?!"

Aku tak menggubrisnya, mengeluarkan lipstikku dan mewarnainya lagi, tapi sekarang hanya tipis-tipis saja.

"Beneran mau sok cantik dia."

Benar-benar menyebalkan sekali dua orang di depanku ini! Mereka pikir diri mereka tampan apa?! Dasar sampah!

Saat aku melihat ke atas, pengharum mobil itu ternyata aroma jeruk yang membuat pusing. Akhirnya aku memutuskan untuk mengambil botol parfum dan menyemprotkannya ke arah tubuhku, hanya sebentar.

Karena setelah itu, aku menggenggam erat botol parfum mahalku yang berat. Aku memecahkan kaca mobil dengan botol parfum yang aku pegang, membuat botol parfumku pecah juga dan membuat bagian runcing sendiri.

Mobil yang kami tumpangi oleng karena sopir yang panik. Aku tidak diam melainkan menyerang laki-laki di samping kemudi dengan menjenturkan kepalanya pada dashboard mobil hingga pingsan.

"Berhentiin mobilnya!" ucapku sambil menodongkan botol parfum yang sudah pecah.

Seketika mobil terhenti karena si pengemudi merasa takut akan berakhir seperti temannya yang sudah pingsan dengan banyak darah yang mengucur dari kepalanya.

"Buka pintu mobilnya! Cepet!" perintahku.

Anak itu menggeleng keras, "nggak! Nggak bakal!"

"Saya bakal bunuh teman kamu ini kalau pintunya nggak kamu buka!"

"Nggak ada yang peduli!"

"Bagus kalau gitu."

Aku menangkat tinggi tanganku untuk melepaskan satu pukulan, tapi bukan pada orang di samping kemudi melainkan pada jendela mobil. Dengan dress yang sudah aku lapisi celana di dalamnya, aku kabur melewati jendela mobil itu.

Tentu saja tidak mudah karena si pengemudi memegang erat pergelangan kakiku.

"LEPAS! LEPAS! LEPAS!" Aku menendang-nendang orang itu dengan heels yang aku pakai.

"JALAN DEKAT HUTAN DI PERBATASAN AREA KITA! KAMI BELUM JAUH! TOLONG SEGERA KIRIM BANTUAN!"

Dia sudah mulai menelepon penjaga di bagian bangunan kami. Tapi apa peduliku? Yang penting aku bisa kabur sebelum mereka datang.

Tendanganku semakin kuat dan cepat hingga sulit bagi pengemudi itu untuk menahanku di dalam mobil lebih lama. Begitu tubuhnya terjatuh cukup keras di atas aspal, aku mundur masih dengan posisi duduk menjauhi mobil. Namun, sebelum benar-benar jauh, aku bisa melihat si pengemudi itu keluar dari mobilnya dan menunjukku sebentar sebelum akhirnya mulai mendatangi aku yang sudah bersiap untuk lari.

RayanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang