***
Kevin duduk di depan ruangan IGD, Vania sedang diperiksa oleh dokter. Sudah satu jam dokter pun tak kunjung keluar. Hal itu membuat Kevin gelisah. Pikiran akan kehilangan pun kembali berseliweran di otak Kevin. Ia takut untuk ditinggal yang kedua kalinya. Kevin tidak mau itu semua terjadi.Seorang dokter keluar dengan dua orang suster di belakangnya.
"Apakah ada keluarga korban di sini?"
"Saya orang tua korban dok," ucap seorang wanita paruh baya yang baru saja datang. Diikuti seorang perempuan dan seorang laki-laki. Sepertinya Kevin pernah melihat laki-laki itu.
"Luka di kepalanya sangat lah parah. Apakah korban punya riwayat benturan keras?" tanya dokter itu.
Aisyah sempat terdiam, kemudian mengangguk. "Iya dia punya riwayat benturan keras Dok."
"Kami sudah mengobatinya, kini tinggal menunggu untuk siuman aja. Mungkin bisa lama ataupun cepat."
"Baik Dok terima kasih."
"Ibu ini tagihan rumah sakitnya, Ibu bisa memilih kelas ruang inapnya, ada yang reguler sampai VIP. Ibu bisa melakukan pembayaran di administrasi," ucap Sang Suster.
"Baik terima kasih. Saya akan segera membayarnya.
Aisyah terdiam melihat tagihan rumah sakit yang begitu mahal. Kelas paling bawah pun terbilang mahal.
Sadar akan semua itu, Kevin langsung bersuara. "Biar saya yang bayar."
"Eh, tapi kamu siapa?" tanya Aisyah.
"Saya temannya Vania."
"Lo Kevin putra pemilik sekolah kan?" tanya Amelia tidak percaya.
Kevin hanya mengangguk.
"Oh ya ampun Nak, terima kasih ya, kamu sangat baik," ucap Aisyah sambil menunduk.
"Iya sama-sama." Kemudian Kevin langsung menuju meja administrasi. Kevin memilih kamar VIP. Ia mau Vania nyaman dengan ruangannya.
Kemudian Sean datang bersama Abel. Abel menceritakan semuanya ke Aisyah, Amelia, dan Randy. Semuanya tidak kuasa menahan tangis, mereka prihatin dengan musibah yang ditimpa Vania.
"Vania, lo harus bangun. Lo gak boleh ninggalin gue," ucap Amelia dari balik pintu ruangan Vania. Di situ Vania masih terus memejamkan matanya.
"Aku harap preman itu segera ketangkep. Dia udah jahat," ucap Abel, wajahnya kini terlihat sangat memerah karena terlalu banyak menangis.
Di sisi lain Aurora juga masih memejamkan matanya. Di sebelah Aurora ada Sean yang setia menunggu Aurora. Aurora membuka matanya perlahan, membiarkan cahaya lampu masuk ke penglihatannya. Aurora memegang kepalanya yang masih terasa pusing. "Sean."
Mendengar suara Aurora, Sean langsung menegakkan tubuhnya. "Aurora, lo gak papa kan?"
Aurora mengangguk. "Sean. Vania gimana?"
"Dia masih belum sadar, tapi dia udah diperiksa dokter. Kita do'akan saja supaya dia cepet sadar."
"Kalau Kevin?"
"Tadi gue lihat dia pergi keluar, mungkin lagi cari udara."
Sean kemudian melihat tangan Aurora yang terluka. "Sakit?"
"Sedikit."
"Bura gue obatin." Sean mengambil kotak lek yang ada di ruangan itu. Dengan telaten Sean meneteskan antibiotik, kemudian dia meniupnya, berharap agar cepat kering.
Aurora yang melihat itu pun terpaku, ternyata Sean seperhatian itu kepada dirinya. Sean bagaikan pelindung bagi Aurora. Dari kecil hanya Sean yang selalu ada untuk Aurora. Sean selalu menghibur Aurora ketika Aurora sedih, dan sekarang Sean ada di saat Aurora sedang terluka.
KAMU SEDANG MEMBACA
WHO ARE YOU? [ONGOING]
Teen FictionBercerita tentang seorang wanita yang bernama Vania, dia mendapatkan beasiswa di Excelsior Internasional School. Sekolah itu adalah sekolah internasional yang sangat bagus. Saat pertama kali masuk sekolah itu, Vania banyak yang mengira dia adalah Vi...