Perjalanan kembali ini terasa sangat hening. Hujan deras yang mengawal kami tidak berhenti sejak berada di Kota Bogor sana. Sudah satu setengah jam, tepatnya. Karena macet yang melanda membuat perjalanan kami tidak begitu lancar. Pukul tiga. Namun langit tampak gelap dan dingin. Seperti keadaan didalam Outlander putih saat ini.
Pembicaraan aku dan Bu Karin berhenti. Kami sama-sama berhenti membahas cincin pertunanganku yang hilang. Sejak itu, Bu Karin tidak lagi berbicara. Entah apa yang sedang dipikirkannya. Namun aku yakin bahwa ia sudah kecewa karena aku tidak bisa menjaganya. Bu, bagaimana jika nanti suatu saat hubungan ku dengan Rafif terbongkar? Apa yang akan Ibu lakukan kepadaku dan keluargaku?
"Aku minta maaf sekali lagi, Bu. Bukan aku bermaksud menghilan—"
"Sudah. Itu cuma cincin. Bisa dibeli lagi. Yang penting kan kepercayaan Ibu. Kalo itu gak bisa dibeli, bahkan dengan uang sekali pun."
"Tapi aku gak enak."
"Gak enak apa. Sudah hilang mau bagaimana? Toh kamu juga gak sengaja. Nanti Ibu belikan yang baru."
Apakah bisa seperti ini, Bu? Apakah bisa ibu tidak marah kepadaku? Sikap Ibu yang seperti ini justru membuat aku semakin merasa bersalah.
Aku melihat barang belanjaan Bu Karin. Oleh-oleh yang dibelinya di kota Bogor sana. Entah itu makanan atau barang seperti baju dan tas ada didalam kantung paper bag kertas cokelat tersebut. Tadi sih, bilangnya cuma untuk Anaya. Tapi kalau melihat sebanyak ini ... Sepertinya seluruh orang rumah akan terbagi rata.
"Ya ampun ... macet banget, ya." Keluh Pak Harun dibalik kemudi. Aku dan Bu Karin hanya diam, masing-masing memandang kearah luar jendela yang lagi-lagi dikawal hujan.
Pukul lima kurang lima belas menit sore kami akhirnya sampai. Guyuran hujan masih setia menemani kami hingga ke rumah. Aku membantu Pak Harun yang mengeluarkan belanjaan tadi. Sedang Bu Karin sudah masuk lebih dulu karena ia tidak tahan ingin buang air kecil.
Sejujurnya aku juga sama. Sudah menahan ingin buang air kecil sejak berada diperjalanan. Tetapi tidak enak dengan Pak Harun yang harus membawa semua sendiri.
"Taruh disini dulu aja pak." Ucapku menginstruksi. Pak Harun mengangguk dan kembali keluar.
Sehabis menaruh belanjaan tadi di dapur, aku langsung berlari menuju kamar mandi. Benar-benar sudah tidak tahan.
•><><><•
"Asyikk ... Naya dapat tas."
Sorak bahagia Anaya mengisi ruang dapur ini. Selepas makan malam Bu Karin memanggil orang rumah untuk membagikan bawaannya.
"Kakak, bagus gak tas Naya?"
Anak berumur empat tahun itu menunjukkan tas barunya kepadaku, tas rajut selempang dengan motif bunga ditengahnya. Tentu saja bagus. Kakak yang memilih, Naya.
"Bagus banget. Bilang apa sama Bu Karin?"
"Terima kasih Ibu Karin Cantik."
Seluruh orang yang ada disana tertawa. Termasuk mba Tati dan Pak Bobi yang juga baru sampai.
"Mba Tati ada baju, nih." Seru Bu Karin. Melambai pada mba Tati untuk mendekat.
Baju putih dengan lengan silver ditujukan kepada mba Tati. Gambar sepeda yang terlukis dibagian depan baju sangat cocok untuknya yang gemar bersepeda.
Sedang Pak Bobi kebagian rompi dengan empat kantung dibagian depan. Sangat cocok untuk menaruh peralatan berkebunnya yang banyak.
"Bagus banget ini mah. Ibuk tau aja yang saya suka." Ucap Pak Bobi dengan logat jawanya yang kental. "Jadi repot-repot, Buk beliin buat kita. Ibuk pulang dengan selamat aja saya udah seneng."

KAMU SEDANG MEMBACA
Payung Teduh
Ficção AdolescenteTemuilah orang lain. Jadikan diri kamu rumah, bukan hanya sebuah payung untuk berteduh. Karena sejatinya cinta akan selalu membutuhkan rumah untuk pulang.