Pelupa

1 0 0
                                    

Devan sendiri terlihat sangat ceria secerah mentari pagi ini, entah apa yang membuatnya sebahagia itu. Arumi berharap hari ini dia tidak membuat ulah sehingga membuat guntur ditengah cerahnya suasana hati Devan

"Sebelah sini pak," Arumi meminta Devan berhenti didepan rumahnya sebentar. Dia hendak membawa sedikit perlengkapannya. Devan pun berhenti dan menunggu didalam mobil.

Setelah beberapa saat, Arumi keluar dari rumah kosnya. Dia terlihat lebih ringkas daripada Devan dilihat dari bawaannya. Setelah itu dia masuk kembali kedalam mobil dan duduk disebelah Devan.

"Maaf ya pak jadi repotin. Harusnya bapak punya asisten laki-laki deh, biar sekalian jadi supir pribadi," Arumi berbasa-basi.

"Harusnya sih gitu, tapi kamu tau sendiri kan rumor di perusahaan. Kalo saya pilih laki-laki rasanya harga diri saya makin diinjak," jawab Devan sambil memasang kacamata hitam dan menyalakan mobilnya.

"Tapi bapak beneran gay?"

"Terserah kamu mau percaya atau nggak, saya punya pacar cantik, namanya Karina."

"Kenapa orang-orang masih bilang bapak gay? Bapak gak publish hubungan?" Tanya Arumi lagi sepanjang perjalanan demi membunuh sepi diantara mereka.

"Mereka gak perlu tau prosesnya. Tapi mereka harus tau hasilnya. Lihat aja nanti," jawab Devan dengan senyuman menyeringai.

"Ya kalau nggak publish mereka bakal pikir bapak gay terus loh. Atau jangan-jangan betul kata mereka kalau Karina...." Arumi menggantungkan kalimatnya.

"Kenapa Karina?"

"Karina cuma halusinasi doang. Bapak sebenernya gay dan Karina cuma imajinasi bapak biar gak dikira gay, Karina itu tidak pernah ada dan tidak bisa digapai," jawaban Arumi menohok Devan.

"Kamu kebanyakan gosip, bilang sama mereka Karina itu ada, bisa dipeluk," jawaban Devan meragukan. Tapi Arumi hanya bergumam mengiyakan kalimat bossnya itu.

Perjalanan yang panjang membuat Arumi merasa lelah. Meskipun Devan sempat melipir di rest area untuk makan siang, tetapi Arumi merasa tidak nyaman. Sepanjang perjalanan Arumi hanya diam menahan rasa mual. Padahal makanan yang dimakan adalah makanan sehat, tidak pernah Arumi merasa mual seperti itu. Padahal perjalanan hampir sampai, tetapi Arumi segera meminta Devan membuka kaca mobilnya. Memalukan pikir Arumi, tetapi akan lebih malu jika dia harus muntah didalam mobil mewah.

Angin luar menerobos masuk ketika kaca mobil dibuka. Wajah Arumi tersapu peraduan cahaya dengan angin, Devan sesekali melirik. Lokasi yang masuk kedalam pedesaan dengan melewati pinggir lautan membuat Arumi menyunggingkan senyuman, dia mengingat betapa masa mudanya begitu menyukai laut, tapi sejak menikah bahkan Ancol pun tidak pernah dia kunjungi. Sungguh Arumi sangat merindukan air laut, pasir dan matahari terbenam disana.

"Pak masih jauh?" Arumi bertanya sesekali.

"Nggak, ini klien kita minta datang ke tempatnya. Bagus loh lokasinya, meskipun dari jalan raya itu hampir 3 jam," jawab Devan menjelaskan.

"Bapak capek gak? Saya bisa nyetir kok, bisa gantian," Arumi menawarkan jasanya.

"Nggak deh makasih, kamu inget pertama kali kita ketemu? Saya nggak mau mobil saya masuk bengkel lagi, repot," tungkas Devan.

Arumi hanya terkekeh malu, mengingat hal itu dia harus memikirkan hutang 30juta atas mobil Devan tersebut. Belum dibayar dan berani menawarkan resiko yang lebih besar, sungguh tidak terduga.

Setelah sekian lama, akhirnya mereka sampai disebuah vila pribadi milik klien perusahaan Wahari. Memang benar vila tersebut bagus, asri sekali. Dari eksteriornya terlihat beton bertulang dengan ukiran tangan, sungguh detail. Tangga masuknya terbuat dari kayu berserat, menyatu dengan alam namun tidak akan licin jika terkena air hujan. Tembok villa tersebut terbuat dari trasram karena memang berdiri diatas pasir pantai. Luarnya dibalut cat berwarna putih dan krem. Ada beberapa aksen patung kuda diantara kolom corinthian yang membuatnya terlihat klasik. Jika dipantau secara keseluruhan bangunan ini termasuk klasik tropis. Arumi sangat mengagumi tempat tersebut.

Devan dengan klien tersebut berbasa-basi sambil berkeliling. Sementara Arumi mengekor diantara mereka. Meskipun katanya meeting tapi ini lebih mirip liburan. Pantas saja Devan merasa begitu bersemangat sejak pagi.

Diantara semua rasa bahagia tersebut, Arumi baru ingat dia tidak membawa pompa ASI-nya. Seingat dia pompa itu sedang dicharger kemarin sebelum Arumi pindah. Berarti barang tersebut ada di rumah Maya. Sungguh keteledoran Arumi yang akan membuat guntur ditengah teriknya panas. Bossnya akan murka jika dia tahu hal tersebut dan mengganggu pekerjaannya. Arumi sangat khawatir sehingga perasaan bahagianya berubah seketika.

"Pak Devan istirahatlah dulu, ini kamar kalian," Teddy klien Devan mempersilahkan mereka untuk beristirahat disalah satu kamar yang sudah disiapkan.

"Terimakasih pak Teddy. Tapi boleh saya pisah kamar dengan Arumi?" Tanya Devan pada Teddy. Pasalnya Teddy tidak tahu jika Arumi bukan wanita seperti yang ada dipikirannya.

"Oh maaf pak Devan, saya siapkan kamar satunya lagi ya," ucap Teddy sambil menitah karyawannya untuk menyiapkan kamar.

"Oiya kenalin ini istri dan anak saya pak, ikut meeting juga katanya sekalian liburan," Teddy memperkenalkan istrinya yang anggun dengan seorang bayi mungil dalam gendongannya.

"Amira, istri Teddy, ini anak kami Dira," ucap Amira lemah lembut.

"Dira itu Teddy dan Amira, hahahah," tambah Teddy menjelaskan bahwa nama putrinya adalah gabungan dari namanya dengan istri tercinta.

Devan dan Arumi pun tersenyum riang saat berkenalan. Terlebih melihat Dira membuat Arumi gemas ingin menggendongnya. Arumi memang sangat menyukai anak kecil dan itu mengingatkannya pada Renata. Sehingga Arumi meminta izin untuk menggendong Dira.

"Udah pantes loh mbak," ucap Amira.

Arumi pun hanya tersenyum tanpa perlu menceritakan keadaan sebenarnya. Bahwa dia merindukan Renata dengan sangat dalam.

Setelah kamar sudah siap, Arumi dan Devan berpamitan untuk istirahat setelah perjalanan panjang tadi. Tentu saja di kamar yang terpisah. Tidak lama setelah meletakkan tubuhnya diatas kasur, Arumi merasakan nyeri payudara. Dia yakin ASI-nya akan keluar lagi dan itu membuatnya panik. Mungkin hormon ketika kulitnya bersentuhan dengan bayi, Dira juga masih menyusui, sungguh keadaan yang ironi. Dengan terburu-buru Arumi membuka bajunya, kemudian mencari botol kosong untuk memerah ASI-nya. Dia pikir daripada dibuang begitu saja, lebih baik asinya untuk mandi susu. Mandi susu tersebut akan membuat kulit halus dan lembab, sungguh Arumi bersyukur atas hal tersebut. Kulit mulus didapat dari air susunya sendiri.

Karena tidak membawa pompa asi, memerah dengan tangan membutuhkan waktu lama, tapi jika dibiarkan Arumi khawatir akan merembes keluar baju dan itu memalukan. Terlebih jika Devan tahu akan hal tersebut. Dia pasti marah sekali, pikirnya.

"Mi....Arumi...." Devan masuk tanpa mengetuk pintu. Melihat Arumi bertelanjang dada dengan tangannya yang memerah payudara. Arumi pun terperanjat kaget sekali, buru-buru dia menutupi tubuhnya dengan selimut.

"Ketuk dulu pak kalau masuk," Arumi meninggikan suaranya.

"Maaf banget," Devan juga terkejut, dia mendapati jantungnya berdebar kencang setelah melihat sesuatu secara jelas dan nyata didepan matanya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Maaf banget," Devan juga terkejut, dia mendapati jantungnya berdebar kencang setelah melihat sesuatu secara jelas dan nyata didepan matanya.

200 juta secara singkatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang