Gedung Olahraga di kawasan Jakarta Selatan itu dipadati oleh siswa-siswi dengan dua warna kontras: merah dan kuning. Merah untuk SMA Tunas Bakti, kuning untuk SMA Budi Darma. Beragam spanduk dan bendera terpampang memeriahkan suasana pertandingan persahabatan kategori futsal tersebut. Kedua sekolah yang gedungnya berseberangan itu rupanya memiliki banyak siswa dengan jiwa supportif. Mereka turut serta turun mendukung pertandingan. Ini adalah pertandingan final, jadi wajar sekali gedung olahraga begitu ramai.
"Tunas Bakti, maju terus! Kami di sini selalu mendukung!" Ical berada di depan barisan, memukul drum seraya berteriak heboh. Di sebelahnya, Sena memukul-mukul thunderstick. Balon panjang seperti stik itu juga berwarna merah dengan tulisan SMA Tunas Bakti di sisi kanan, Crimson Tigers, nama tim futsal andalan sekolah tersebut.
Sena gantian berteriak. "Cetak gol! Jangan apaaa?"
Kemudian supporter menyahut dengan suara lebih keras. "Jangan ragu!!! Kemenangan pasti milikmuuu."
"Hey, hey, hey!" ucap Ical sambil memukul drum sesuai ritme.
Supporter menyahut. "Tunas Bakti!!!"
"Hey, hey, hey!"
"Kita pasti juaraaa."
Di antara ramai dan bising itu, Zara duduk di sisi sayap kanan tribun, mengenakan kaus merah dengan rambut diikat satu. Meski terlihat ikut menyerukan yel-yel dan memukul thunderstick, pikiran Zara berkelana pada obrolan di pagi hari itu. Kehebohan Abel hingga berdiri dan melompat pun tak Zara hiraukan.
"Ayo berdiri dong, Ra! Yuk, lagi seru banget, nih! Itu dedek gemes kesukaan gueee lagi pegang bola!!!" seru Abel, menarik-narik lengan Zara untuk berdiri.
Mengerjap, Zara akhirnya berdiri, tapi tidak melompat. "Bel, Bel."
"KENAPAAA?" seru Abel, berusaha melawan suara lain yang tumpang tindih.
Zara berjengit. "Aku mau tanya serius."
Abel punya tombol itu. Tombol di mana ia tahu bahwa Zara tengah memerlukannya, jadi Abel menarik tangan Zara menjauhi keramaian. Abel rupanya mengajak Zara ke luar gedung olahraga, menuju stan-stan jajanan.
"Cerita," sahut Abel segera. Abel kemudian mengecek telapak tangan Zara. Melihat ada bekas kuku menancap di telapak tangan, Abel menghela napas berat. "Gue udah bilang, Ra. Tangan lo terlalu berharga untuk lo sakiti. Tolong jangan sakiti Zara yang sangat gue sayangi, ya."
Zara meneguk ludah. Ia membiarkan Abel mengusap-usap telapak tangannya untuk beberapa saat. Biasanya, Abel yang mengobati luka tersebut. Temannya itu membawa pouch mini P3K. Di dalamnya, ada obat merah dan plester luka. Kedua benda tersebut sering Abel pakai untuk Zara. Untuk ... kondisi-kondisi seperti ini.
"Plester lukanya ada di dalem. Nanti gue obatin, ya."
Zara mengangguk. Ia membiarkan Abel yang kini meniup-niup tangannya. Mungkin Zara tidak beruntung soal keluarga, tetapi ia beruntung dalam pertemanan.
"Beasiswa sekarang nggak dibayar sepenuhnya, kan, Bel?" tanya Zara lirih. "Banyak siswa yang kesulitan bayar, kan?"
Abel menatap Zara heran. Tetapi, Abel sudah terbiasa tidak menanyakan maksud tujuan Zara menanyakan sesuatu. Temannya itu akan bercerita di saat yang tepat, dan Abel tidak ingin memaksa. Jadi, Abel mengikuti saja alur percakapan yang Zara inginkan.
Abel mengangguk. "Gue sama anak-anak OSIS lain udah berusaha biar hal ini nggak terjadi, Ra. Tapi, yayasan kita emang terduga korup, karena seharusnya beasiswa tuh ditanggung penuh. Anak-anak nggak ada yang berani. Mereka takut jadi sasaran. Dan gue ngerti."
KAMU SEDANG MEMBACA
Satu Sama
Teen FictionDari semua hal yang pernah Zara capai selama tujuh belas tahun hidup di dunia, ada satu hal yang sampai sekarang belum terlaksana-jadi peringkat pertama, bukan di kelas, tapi di sekolah. Ini bukan karena Zara berambisi jadi yang pertama atau agar m...