Kaki Zara sudah pegal sejak satu jam lalu berkeliling menemani ibunya menyapa kolega di aula hotel bintang lima ini. Zara harus tersenyum, terlibat percakapan interaktif, dan harus tanggap bila seseorang menanyakan pendapatnya mengenai suatu hal umum. Zara telah dibekali orangtuanya untuk mengikuti banyak info terkini mengenai dunia bisnis dan politik, jadi ia bisa menjawab semua itu semudah menyelesaikan soal aljabar.
Zara yakin sebentar lagi semua akan berakhir hingga tiba-tiba Ibu mendekatkan diri pada teman satu arisannya, Tante Sofia. Arisan itu terdiri dari para istri pemilik perusahaan yang tersebar di Jabodetabek.
"Zara, makin cantik aja, ya!" seru Tante Sofia kelewat bersemangat ketika Zara salim padanya.
Zara tersenyum tipis. "Tante juga cantik banget hari ini pakai gaun warna peach. Ini gaun yang waktu itu Tante beli di Milan, kan?"
"Panggil Mama aja, Sayang," sahut Tante Sofia dengan senyum penuh arti. Tante Sofia kemudian menarik lengan anak lelakinya yang berada di sebelah. "Ini Esa. Anak pertama Mama. Kalian pernah ketemu waktu main ke rumah Mama."
Lelaki di samping Tante Sofia itu mengenakan tuxedo warna cokelat. Rambutnya disugar ke belakang, menampilkan garis wajahnya yang tegas. Alisnya tebal dengan sorot mata tajam. Ada senyum tipis terbingkai di wajahnya. Zara tahu senyum formal itu, karena ia pun sering memasangnya, seperti sekarang.
Zara mengangguk sopan, begitu pula Esa. Zara paham arti tatapan antara Ibu dan Tante Sofia, juga senyum yang saling mereka lemparkan.
"Ini sudah malam banget. Ibu masih ada urusan, tapi kamu harus segera pulang karena besok masih sekolah, kan?" tanya Ibu seraya menoleh pada Zara. "Gimana, ya?"
Tante Sofia segera menyahut. "Oh, Esa bisa kok, antar Zara pulang. Iya, kan, Sa?"
Esa menatap Tante Sofia beberapa detik sebelum ia mengangguk. "Bisa. Esa senang kalau bisa membuat kebingungan Tante Ayu teratasi."
"Benar gak apa-apa?" tanya Ibu.
"Dengan senang hati, Tante."
"Panggil Ibu saja," sahut Ibu dengan tawa ringan. "Iya kan, Sofia?"
"Iya. Panggil Ibu saja, Esa."
Esa tetap menahan senyumnya. "Iya, Ibu."
Ibu dan Tante Sofia tampak kelihatan jelas betapa senangnya, sementara Zara hanya bisa menahan senyum seperti Esa. Tahu-tahu saja, setelah obrolan singkat, kini clutch Zara sudah berada di genggaman Esa, sementara tangan kanan Zara berada di pegangan Esa seiring mereka melangkah menuju lobi. Tahu-tahu saja, mobil Esa sudah dibawa valet menuju lobi, Esa membukakan pintu untuknya, dan kini Zara berada di mobil yang benar-benar asing.
"Sepertinya Ibu kita ingin kita bersama," cetus Esa seraya membawa mobil membelah keramaian malam. "Aku setuju-setuju saja, mengingat banyak keuntungan yang akan kita dapatkan. Kamu masih SMA dan aku masih kuliah. Mungkin mereka ingin kita bertunangan dahulu, dan setelah kamu lulus kuliah, baru kita menikah. Bagaimana menurut kamu?"
Zara menatap figur di sampingnya. Esa seperti cerminan Zara. Patuh, dari keluarga terpandang, dan memiliki masa depan yang terarah. Mungkin tidak buruk bila ia membersamai Esa? Lagipula, cinta tidak ada dalam kamus Zara. Memiliki pasangan hidup bukan tentang cinta, bukan?
KAMU SEDANG MEMBACA
Satu Sama
Novela JuvenilDari semua hal yang pernah Zara capai selama tujuh belas tahun hidup di dunia, ada satu hal yang sampai sekarang belum terlaksana-jadi peringkat pertama, bukan di kelas, tapi di sekolah. Ini bukan karena Zara berambisi jadi yang pertama atau agar m...