Hai, kembali lagi ke wattpad hehehe. Wattpad please jadi baik ya. Semoga suka teman-teman. Semoga bisa update lancar jugaaa..
*Masih pagi. Suasana kelas masih terlalu ramai kala itu. Tapi gadis itu dengan santai menggoreskan pensilnya pada selembar kertas, melukiskan seseorang yang sudah sekian lama mengisi hatinya.
Awalnya, tak ada yang menyadari. Hingga seorang teman sekelasnya yang kebetulan lewat, melirik sejenak.
"Wih, ini cowok lo?" tanya Andre, dengan iseng menarik kertas itu. Untungnya, tidak sobek sedikitpun.
Freya, si pemilik kertas, histeris seketika. "Ih, balikin nggak?" hardiknya kesal. Ini gawat, gadis itu belum siap jika semuanya terbongkar.
"Ganteng juga ya." Andre malah manggut-manggut. "Kecewa gue, harusnya sama gue aja," ujarnya santai.
Tidak perlu heran. Entah kenapa, hampir setiap pemuda disini sepertinya mengidolakan Freya. Selalu dengan terang-terangan mengutarakan bahwa mereka menyukai gadis itu.
Terkecuali pemuda lain yang kini ganti merebut kertas gambar gadis malang ini. Pemuda itu menatap kertas itu sejenak. Mengerutkan keningnya, merasa seperti tak asing dengan gambar ini. Ia kini ganti menatap Freya, menatap dingin pada gadis yang kini jadi mengkerut, tak lagi menatap kesal.
"Lo suka sama gue?" tanya Zian to the point.
Freya memang pelukis handal. Lagipula, Zian pasti mampu mengenali dirinya sendiri. Goresan sketsa yang rapi dan sempurna ini tentu sudah dapat ditebak. Ini adalah Zian sendiri.
Raya, sahabat Freya yang sedari tadi memperhatikan ini jadi menatap khawatir. "Zi, lo ngapain deh? Balikin nggak?" Ia membela. Zian adalah sepupunya. Tapi Freya sahabatnya. Mana mungkin Ia membiarkan sahabatnya ini dipermalukan begitu.
Zian tak menggubris. Masih menatap dingin pada Freya yang kini menatapnya lurus-lurus. "Jadi? Ini gue kan?" Ia mengacungkan kertas itu.
Tindakannya tentu semakin menarik perhatian seluruh penghuni kelas. Beberapa tampak merebut kertas itu, lalu mengamatinya bergantian.
"Iya bener anjir, mirip Zian," ucap salah satunya.
"Pantes, kok nggak asing." Ini Andre, pemuda yang pertama kali merebut kertas yang kini jadi sengketa itu.
Freya menatap tak suka. Sesungguhnya, dia tak takut sama sekali. Juga tak malu. Gadis ini bisa dibilang punya kepribadian baja. "Balikin nggak kertas gue!" Ia melirik malas pada siswa yang malah secara bergantian mengamati gambar yang Ia buat dengan sepenuh hati.
Zian kembali merebut kertas itu. Mengacungkannya tinggi-tinggi. "Jawab dulu. Ini gue kan? Lo suka sama gue?"
"Zian!" Raya setengah berteriak.
"Iya, gue suka sama lo. Terus kenapa?" Freya mengatakan ini dengan tegas. Tak merasa tertekan sama sekali.
Seluruh penghuni kelas langsung melongo mendengar ini.
"Wahh.."
"Yah, patah hati gue."
"Anjir, malah jadi bercahaya gitu, malah makin demen gue."
Beberapa siswa tampak berbisik. Sebagian besar yang memang berjenis kelamin lelaki, malah jadi terkagum melihat Freya yang tegas dan tak gentar sedikitpun. Kalau gadis lain mungkin sudah malu-malu kucing.
"Wah, sayang banget. Gue nggak suka sama lo," jawab Zian enteng.
Menohok sekali rasanya. Freya mengatupkan bibirnya. Pengakuannya ditolak mentah-mentah. Padahal dia sudah sangat mengumpulkan keberanian untuk mengatakan ini. Kenapa Zian yang paling dipujanya itu, justru mematahkan hatinya?
Seorang dewinya satu sekolah, ditolak cintanya secara mentah-mentah. Semua mata kini menatapnya prihatin. Meskipun beberapa di antaranya tampak mengulum senyum, merasa masih punya harapan. Namun beberapa juga diantaranya merasa harapan mereka sudah pupus, menyadari bahwa selera Freya sekelas Zian, pemuda dengan segudang prestasi.
Freya maju selangkah, mendongak menatap Zian yang memang memiliki tinggi yang menjulang. "Terus kenapa? Gue juga nggak lagi nembak lo."
Siapapun pasti akan terpukau dengan ketenangan Freya. Gadis yang bisa dibilang dipermalukan ini bisa membalikkan omongan dengan mudah. Lihat saja Zian yang sebelumnya dingin, kini menatap bingung. Meskipun hanya sebentar, pemuda itu kembali memperhatikan kertas yang berada dalam genggamannya.
"Yah, gue cuma mau mastiin aja, takut lo nanti tambah suka sama gue," ucapnya enteng. "Gambaran lo bagus juga. Buat gue kan ini?"
"Lah?" Gadis dengan rambut panjang yang terkunci tinggi itu kini melipat tangannya di dada. "Lo nolak gue tapi berani mengambil kertas gue? Enak aja, nggak!"
"Lo kan juga gambar gue tanpa ijin."
"Suka-suka gue lah. Emang ada misal orang menggambar menara Eiffel, pake ijin dulu?" tanya Freya sewot.
Melihat Freya dengan Zian yang malah jadi adu mulut, membuat beberapa siswa tak lagi memperhatikan, kembali melanjutkan aktivitas masing-masing. Sebenarnya, momen berdebat antara Freya dengan Zian ini memang sudah biasa. Hanya perasaan Freya ini saja yang cukup mengherankan semua kalangan.
"Lo samain gue sama Eiffel?" Zian menatap jengkel. Lama-lama kesal juga. Heran juga menatap gadis yang katanya si paling dewi ini. Mana yang dewi? Gadis bar-bar ini yang malah menyamakan dia sama menara.
Sementara Freya, kini ganti tersenyum. Menatap lamat-lamat pada pemuda yang begitu dipujanya.
Mereka berdebat, tapi hatinya berdebar. Mereka adu mulut, tapi diam-diam gadis itu selalu berdoa agar pemuda ini mengetahui isi hatinya. Eh malah ketahuannya di momen yang cukup memalukan ini.
Tapi tidak apa-apa, Freya tidak pernah takut. Ia akan membuat Zian jatuh cinta padanya. Lagipula, dengan begini dia tak perlu berpura-pura lagi. Bisa lebih bebas mendekati Zian terang-terangan.
"Bagi gue sama aja. Orang suka melihat Eiffel. Eiffel semenarik itu. Nah elo?" Gadis ini menaikkan alisnya, dirinya lagi-lagi tersenyum. Sesuka itu memandang Zian. Kenapa Zian marah karena dibandingkan dengan Eiffel? Bukankah itu pujian? Zian memang sebercahaya itu di mata Freya. "Elo semenarik itu, dan gue suka lihat lo."
Zian terpaku. Menatap dalam pada mata Freya yang tenang. Siapa gadis yang tengah dihadapinya ini?
"Tapi gue nggak." Ia menggertakkan giginya mengatakan ini. Terdengar begitu menyayat perasaan Freya.
Kenapa? Kenapa harus pemuda sombong ini yang dicintai Freya? Kenapa harus pada pemuda yang tak punya hati ini, Freya menaruh hatinya?
Keduanya saling menatap, mencoba menyelami pikiran masing-masing. Hingga perhatian keduanya terpecah saat seorang gadis merebut kertas yang sedari tadi menjadi sengketa.
"Lo apa sih? Jangan keterlaluan. Dia nggak ganggu lo juga." Itu Raya. Yang sedari tadi mulai jengah dengan perdebatan ini. Mulai kasihan juga menatap sahabatnya yang sudah pasti terluka. Hanya Raya yang tahu, sedalam apa perasaan Freya pada Zian. Sekuat apapun gadis ini, pasti terluka jika ditolak terang-terangan begini.
Zian ingin membalas, tapi seorang guru yang masuk menginterupsi. Raya menarik tangan Freya. Lebih tepatnya menariknya paksa karena gadis itu sepertinya masih ingin berlama-lama berhadapan dengan Zian. Mereka beranjak, kembali ke tempat duduk masing-masing.
Dalam diam, Zian melirik Freya yang berada di belakang teman seberang kirinya. Gadis itu kini jadi diam seribu bahasa. Padahal sebelumnya dia selalu ceria dan bersemangat.
Apakah Zian memang keterlaluan?
Ah, tidak kan? Bukankah dia memang berhak menolak?
Lagipula, tidak ada yang akan mampu merebut posisi gadis itu. Gadis kesayangannya satu-satunya. Tidak Freya. Tidak juga orang lain.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Endless Affection
Teen FictionFreya sangat menyukai Zian. Bahkan sebelum Freya mengenal kata cinta itu, saat mereka masih sama-sama kanak-kanak. Tapi sayangnya, Zian tidak pernah peduli padanya.