Bab 3: Teman Masa Kecil

4 2 0
                                    

Kelas langsung ramai begitu tahu kalau Zian dan Freya datang bersama. Setelah kemarin ada aksi pernyataan perasaan, lalu sekarang datang secara bersamaan, wah apakah itu tanda bahwa mereka juga mulai menjalin hubungan?

Raya sudah menunggu dengan anteng. Ya meskipun sangat mustahil jika Freya dengan mudah meluluhkan hati batu seperti Zian. Tapi gadis itu tetap ingin mendengar cerita sahabatnya.

Gadis itu segera mengayunkan tangannya begitu Freya muncul di belakang Zian. Menepuk bangku Freya, meminta sahabatnya itu agar segera duduk. Tersenyum tertahan, memperhatikan sahabatnya itu yang sepertinya sebentar lagi akan pingsan. Pesona Zian sepupunya itu memang benar-benar sekuat itu ya?

"Ada apa nih?" tanya gadis dengan rambut pendek itu dengan nada yang dibuat-buat. Ia hampir saja tertawa. Zian benar-benar membuat sahabatnya itu hampir gila. Lihatlah gadis yang disebelahnya itu kini terduduk dengan wajah merah merona, plus senyuman yang sepertinya tak bisa pudar.

"Ada apa gimana? Nggak ada apa-apa," jawab Freya dengan wajah malu-malu yang tak dapat disembunyikan. Ia menutupi wajahnya. Tersenyum dibalik telapak tangannya. Kini ganti melirik pada arah jam 2 darinya yang menunjukkan wajah Zian yang ditekuk penuh dengan kemalasan.

Seketika saja, ekspresinya berubah. Gadis itu memang baperan sekali ya jika menyangkut soal Zian. Begini saja sudah membuat Freya gundah gulana.

Kenapa Zian begitu tak menyukai dirinya?

"Nggak usah diambil hati. Lo tahu kan sepupu gue itu dari bayi juteknya emang udah kelewatan." Raya membesarkan hati sahabatnya. Menyadari perubahan ekspresi sahabatnya itu hanya karena sekali menoleh saja.

"Tapi ganteng anjir." Freya membalas lirih. Ia masih menatap Zian dengan tatapan penuh pemujaan.

Ya ya ya. Raya melengos. Memang susah ngomong sama orang bucin. Mau kita menyebutkan seratus keburukan tentang orang yang mereka sukai pun, akan ada balasan seribu kebaikan lain yang mereka sebutkan.

"Gantengan juga Bagas, Frey." Raya membalas iseng.

Kali ini, giliran Freya yang mendengus malas. "Ya ampun si bucin."

Bagas adalah kekasih Raya. Ia juga bertetangga dengan ketiga anak ini, Raya, Freya dan Zian. Sama seperti Freya, Bagas juga selalu mepetin Raya kemana-mana. Selalu mengekori gadis itu. Namun bedanya, Raya menerimanya dengan senang hati. Mereka berteman dengan nyaman. Bersahabat dengan baik. Hingga masuk SMP pun, Bagas mulai mengutarakan perasaannya dan mereka pacaran hingga sekarang.

Sungguh beruntung sekali si Bagas ini. Sekali naksir perempuan dari kecil, langsung sukses sampai sekarang. Sayang, Freya tak seberuntung itu dalam hal cinta. Jangannya diterima cintanya, diterima kehadirannya sebagai teman saja sepertinya tidak.

"Ngaca dong, Bosku." Raya menatap keheranan. Lalu keduanya pun mulai terkikik geli. Begitulah mereka, persahabatan yang tumbuh sejak kecil, bahkan pertemuan mereka saat masih bayi merah tak mengerti apapun, ternyata mampu bertahan hingga sekarang.

Raya adalah support system nomor satu bagi Freya selain keluarganya. Pun Freya yang merupakan pendukung nomor satu bagi Raya, selain keluarganya juga Bagas. Kalau Zian nggak usah dipikir, dia nggak diajak.

***

15 tahun yang lalu...

"Jian!" Gadis kecil itu tersenyum begitu manis. Matanya berbinar. Ia menatap lurus-lurus pada seorang anak lelaki yang kini tengah sibuk bermain pasir yang serupa pasir pantai itu di taman bermain dekat rumah mereka.

"Jian..." Freya berseru lagi. Senyumnya masih belum menghilang. Ia sampai sedikit memiringkan kepalanya ke kiri demi menarik perhatian Zian. 

Zian menoleh malas. Keningnya berkerut sembari memperhatikan gadis kecil yang selalu saja mengganggunya. Tidak bisakah anak ini membiarkan Zian sendiri?

"Sana!" Usir Zian terang-terangan. Membuat Nella yang berada jauh dari mereka jadi menoleh kaget.

"Zian, kok gitu? Main bareng kan nggak papa." Ia menghampiri kedua anak balita ini. Mengelus rambut Freya dengan sayang. Gadis kecil ini masih berumur 2,5 tahun. Beda 6 bulan dengan putra kecilnya yang sudah genap 3 tahun.

"Nggak mau!" Zian kembali menolak.

Freya mengatupkan bibirnya sejenak. Anak itu lalu mengeluarkan satu bungkus biskuit dari kotak mainannya. Lalu menyerahkannya pada Zian seraya kembali tersenyum.

Zian menatap biskuit itu. Lalu kembali menatap Freya yang masih saja tersenyum hingga giginya kering. Bocah lelaki ini menyelami mata seorang anak kecil seusianya yang tidak pernah berhenti mengganggunya. Tidak pernah berhenti tersenyum setiap kali melihatnya.

"Tuh kan Freya baik, main bareng ya, Sayang?" Nella bertanya lagi.

Zian gamang. Ingin menerima biskuit pemberian Freya, tapi tak ingin menurunkan egonya untuk bermain bersama. Susah memang merayu bos kecil yang doyan menyendiri ini.

"Feya, Jian!" Perhatian ketiganya terpecah saat ada seorang anak perempuan berlari menghampiri mereka. Dia adalah Raya, sepupu Zian yang tinggal di sebelah rumah anak lelaki ini. "Main yuk?" ajaknya antusias.

"Ayuk!" Freya ikut antusias. Ia meletakkan sebungkus biskuit itu di atas mobil mainan Zian. "Ini Jian." Lalu merogoh kotak mainannya lagi, menyerahkan sebungkus biskuit yang lain ke tangan Raya. "Ini Laya," lanjutnya dengan aksen cadel khas anak kecil.

"Makacih." Raya menerima dengan senang hati. Gadis kecil itu duduk di mainan pasir yang berjarak satu meter dengan Zian. "Ayo Feya," ajaknya. Gadis kecil ini memang tidak terlalu memperdulikan Zian karena dia pun tahu kalau Zian memang seperti ini, suka bermain sendiri.

"Iya." Menjawab ini, namun Freya masih saja sempat menoleh pada Zian. Menatap penuh pengharapan pada anak lelaki yang kini balas menatapnya dengan dingin. Gadis kecil itu tersenyum, begitu manis sampai Nella yang memperhatikan itu lupa jika Ia tengah berhadapan dengan balita.

Kenapa anak perempuan ini begitu manis? Rasanya Nella ingin mengangkat dia anak saja.

"Zian, nggak main bareng sama Raya sama Freya?" Nella berbisik sembari menemani putranya bermain.

Zian menghentikan aktivitasnya sejenak, menoleh ke kanan, mendapati Freya yang kini tengah memandangnya sembari tersenyum. Anak itu bahkan masih saja memperhatikan Zian meskipun dia tengah bermain dengan yang lain. Nella sampai harus menahan tawa karena tingkah anak-anak ini.

"Nggak mau, Ma."

"Kenapa nggak mau, Sayang? Kan itu temen Zian?" Nella masih berusaha merayu putra kecilnya ini. Agak sulit memang ngomong dengan anak yang introvert sedari bayi. 

"Nggak, Zian males."

Nella menghembuskan napas kasar. Masih bingung bagaimana mengatasi tingkah anaknya ini yang lebih suka menyendiri. Perlahan Ia menoleh pada Raya dan Freya yang tengah bermain bersama. Meskipun sibuk gitu, gadis kecil yang suka memanggil Zian siang dan malam ini bolak-balik melirik anak semata wayang Nella. Bolak balik memberikan sesuatu untuk Zian, misal mainan kecil, jajanan, atau apapun itu membuat hati Nella menghangat. Bagaimana mungkin anaknya yang dingin selalu mendapat perlakuan sehangat itu dari seorang anak perempuan yang lucu?

Ah, tiba-tiba saja Nella sudah punya bayangan menantu di masa depan.

***

Endless AffectionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang