Bab 5: Bucin Kecil

4 1 0
                                    

13 tahun yang lalu...

"Hei, bagi uang dong. Kamu kan kaya." Seorang anak kecil bertubuh bongsor hampir berumur 6 tahun mendekati Zian yang kala itu masih berumur 5 tahun.

Mereka belum lama menginjakkan kaki di TK Mutiara Bangsa. Zian masih sangat kecil kala itu. Dia rapi, wajahnya putih bersih dan mulus. Zian memang terlihat berbeda. Alis matanya tebal. Hidungnya mancung. Bulu mata panjang dan lentik. Rambut hitam dan tebal. Terlihat sekali bahwa Ia adalah bibit unggul bahkan dari masa kanak-kanak.

"Hei, denger nggak? Bagi duitnya." Anak bertubuh bongsor itu masih berusaha. Mencoba mengintimidasi Zian.

Padahal Zian mah dia bukannya takut. Dia cuma malas. Dia tak suka berinteraksi. Dia juga tak ingin berurusan dengan orang lain. Sehingga anak ini pun hanya diam tidak terlalu memperdulikan.

"Kalau diajak ngomong itu nyaut." Anak itu menoyor kepala Zian. Membuat Zian menjadi kesal dan menoleh marah.

"Apa sih?" tanya Zian dengan wajah tak suka.

Si anak bongsor itu segera mendorong Zian, semakin kesal. "Budek ya kamu? Mana uang kamu cepet. Semua anak sini harus kasih uang." Ia semakin mengintimidasi. Menghadang Zian yang kecil dengan tubuhnya yang besar.

"Bunda, ini ada anak nakal, Bunda. Suka minta-minta uang." Teriakan seorang gadis kecil menginterupsi kegiatan mereka. Zian menatap jengah tapi juga sekaligus lega karena ada yang membantunya. Ya meskipun harga dirinya sedikit terluka karena yang membantunya justru Freya, tetangganya yang super duper merepotkan. Tapi ya daripada tidak ada yang membantu sama sekali. Karena dia juga sadar diri, menghadapi teman barunya yang entah siapa namanya itu juga bukan perkara mudah.

"Bunda Alika, ini dia masih gangguin terus. Hua..." Freya berteriak lagi. Suasana menjadi ramai karena teriakan cempreng gadis kecil yang terdengar sangat berisik itu. Raya yang berada pada sudut lain bersama Bagas sampai mendatanginya karena khawatir. Pun Bunda Alika, guru baru mereka yang datang tergopoh karena teriakan Freya.

Si anak bongsor yang menjadi biangnya masalah, mendecak kesal. Namun segera menghindar karena tak mau mendapat hukuman.

"Ada apa Freya, siapa yang gangguin?" tanya bunda Alika khawatir.

"Tadi, Bunda. Ada yang ganggu temanku. Tapi sekarang sudah pergi," jawab Freya polos sembari tersenyum manis. Mendengar ini, beberapa temannya tampak melengos malas. Bikin rusuh banget padahal tidak penting.

Sementara Bunda Alika, tersenyum tenang. "Yaudah, main lagi ya. Sepuluh menit lagi kita belajar lagi. Ok?" responnya begitu mengayomi membuat Freya semakin senang.

"Ok!" jawab Freya senang. Gadis itu tersenyum menatap Zian, yang hanya dibalas dengan tatapan malas. Ah, sekali lagi, Zian justru mematahkan hati gadis kecil itu.

***

"Zian, semangat!" Freya berteriak keras di pinggir lapangan. Gadis ini sepertinya sudah tak punya malu lagi. Kalau sebelum-sebelumnya Ia akan mengontrol emosinya dan tak terlalu menunjukkan perasaannya. Kini Ia benar-benar los. Siapapun akan tahu jika gadis itu memang tergila-gila pada Zian.

"Ya ampun. Perasaan kemarin banget lo bilang kalau lo bete banget sama Zian." Raya mendecak. Kemarin memang dia ingat. Freya mengomel perkara Zian yang katanya jahat, tidak punya hati, omongannya kasar dll yang sebenarnya itu pun mereka sudah tahu sedari awal.

"Heh, lo jangan jadi pendendam gitu. Kemarin ya kemarin. Sekarang mah beda." Freya menjawab cuek. "Ayo, Zian!" Ia berteriak lagi. Berusaha menyemangati Zian yang kini tampak berhadapan dengan Doni untuk memperebutkan bola. Ya ampun, Doni lagi.

"Ye, bucin." Raya melengos. Kini ganti memperhatikan Bagas yang berusaha membayangi lawan, sembari menunggu Zian mengoper padanya. "Sayang, semangat! Jangan mau kalah!" teriaknya ikutan histeris.

Freya malah jadi menoyornya gemas. "Bucin teriak bucin."

Ya begitulah mereka. Mungkin kalau orang lain lihat, mereka adalah dua saudara kembar yang suka teriak-teriak, bucin sama pujaan hati masing-masing, tapi punya visual yang tidak bisa diabaikan.

Raya memiliki gen yang sama dengan Zian. Meskipun memiliki rambut pendek sebahu yang terkesan tomboy. Tapi kulit putih mulusnya, hidung mancungnya, dan bibir merahnya benar-benar bisa membuat orang-orang berpaling.

Sedangkan Freya beda tipis namun versi feminimnya. Ditambah dengan senyumnya yang bikin orang diabetes, maka tidak aneh jika banyak orang mengidolakannya.

Tapi ya tetap. Mereka terkadang sangat berisik dan melupakan figur sang dewi yang tersemat pada keduanya.

Kembali ke pertandingan basket antar kelas. Pertandingan selesai dengan kelas Sebelas IPA 3 sebagai pemenangnya. Tanpa dikomando siapapun, kedua gadis ini segera berlari masuk ke dalam lapangan. Menghampiri idola masing-masing.

"Zian, minum dulu gih." Freya berkata manis. Gadis itu menyerahkan sebotol air mineral pada Zian. Namun pemuda tampan itu sepertinya memang tak ingin peduli. Ia seperti menganggap Freya tak ada.

"Zian..." Freya tersenyum kecut. Ia dengan sabar menunggu Zian selesai dengan urusannya.

"Gue balik ya," pamit Zian pada teman-teman satu timnya. Tak mempedulikan Freya yang menunggunya dengan begitu sabar.

"Lah, nggak ikut makan siang lo?" tanya Bagas yang menghampirinya bersama Raya.

"Nggak, males." Zian melengos, meraih tasnya. Lalu berbalik menghampiri Bagas kembali. "Lo kan tadi juga mau langsung pulang."

Aneh sekali. Diantara Freya dan Raya, Zian malah lebih cocok dengan Bagas. Mungkin karena Bagas netral dan tak pernah ikut campur kehidupannya. Berbeda dengan Raya yang berisik, yang selalu mengomelinya, menjodohkannya dengan Freya, bahkan melarangnya berpacaran dengan gadis yang disukainya. Bahkan sepupu pun posesif sama Zian.

"Pas banget kalau gitu. Freya mending bareng lo aja, kan sama-sama mau pulang."

Nah kan. Baru juga dibilang. Sekarang Mbak Raya yang cantik jelita ini sudah menyuruh-nyuruhnya.

Zian hanya menoleh malas. Masalahnya, kalau Zian menolak, Raya pasti akan bilang ke mamanya. Bisa-bisa Zian diomelin gara-gara masalah sepele. Memang susah punya saudara cepu yang nggak pernah support kita.

"Nggak bisa, gue mau ke Gramed." Freya menolak. Waduh, ada angin apa nih sampai seorang Freya menolak bareng Zian?

Oh apa tersinggung karena Zian tak pernah menghargainya?

"Yah, Freya nggak asyik ih." Raya cemberut. Gadis itu mengerucutkan bibirnya membuat Zian semakin jengah.

"Ya biarin aja sih, kenapa jadi lo yang cerewet?"

"Dih, kan biar sekalian. Lo nggak kasian kalau Freya pulang sendiri? Kan rumah kita searah."

"Yaudah kalau gitu lo aja yang bareng gue. Freya biar sama Bagas." Zian tersenyum menantang.

Freya hanya memandangnya kecut. Cowok gila memang. Segitunya dia tidak mau nebengin Freya? Kenapa juga Freya harus mencintai pemuda seperti itu?

"Duh, ribet. Udah nggak papa gue naik ojek aja. Sorry banget cintaku, aku perlu beli sketch book, udah abis soalnya." Freya menarik pipi Raya yang masih saja cemberut karena kesal. Gadis itu lalu beranjak, berjalan cepat ke arah gerbang sekolah.

Raya masih tidak terima. Gadis itu memandang Zian sewot. "Minim-minim lo barengi dia sampai Gramed. Kan ngelewatin sih."

"Ngapain sih?" Huft. Zian emosi.

***

Endless AffectionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang