Denta berdiri terpaku, nama itu terukir dalam tinta hitam tegas di akhir surat, seolah mencengkram jiwanya dengan kenangan yang menyakitkan. Tubuhnya bergetar hebat, tangannya mencengkeram surat itu hingga nyaris robek. Matanya menyala dengan kemarahan yang hampir melampaui batas.
“Delan … tidak mungkin,” suaranya lirih, hampir tak terdengar. Namun, di balik kelembutan itu, mengalir badai amarah yang semakin membara.
Oxy, yang berdiri tak jauh, melangkah mendekat dengan hati-hati. Ia tidak bisa melihat ekspresi Denta, tetapi nada suaranya sudah cukup membuatnya khawatir. “Apa yang tertulis di sana?” tanyanya, suaranya lembut namun tegang.
Denta menggigit bibirnya, mencoba menahan gejolak emosinya. Namun, ia tidak mampu. Dengan suara yang bergetar, ia membaca surat itu keras-keras:
"Denta, pengorbananmu tidak sia-sia. Semua yang terjadi adalah jalan menuju keadilan yang telah lama hilang. Jika kau ingin tahu kebenaran, temukan aku di tempat yang pernah menjadi saksi awal kehancuran keluargamu. Jangan bawa siapa pun. Aku menunggumu di sana. – Delan."
Setiap kata yang keluar dari mulutnya terdengar seperti palu yang menghantam dinding pertahanannya. Oxy terdiam, wajahnya pucat. "Delan? Itu tidak mungkin ... dia sudah mati!" serunya panik. "Dia sudah mati, Denta. Kau tahu itu!"
“Dia tidak mati!” bentak Denta, nadanya keras, penuh keyakinan dan kemarahan. “Dia masih hidup. Dan aku akan menemukannya—entah untuk mendapatkan jawaban atau untuk mengakhirinya.”
Patung besar Dewa Xyergi yang menjulang di belakang mereka tampak bergetar pelan. Denta mendongak, tatapannya membara seperti api. Ia merasakan sesuatu yang lebih dari sekadar kemarahan manusia. Retakan mulai menjalar di patung itu, mengeluarkan suara gemuruh yang menyeramkan.
Dalam sekejap, patung itu meledak menjadi pecahan kecil, serpihannya melayang sebelum berubah menjadi debu keemasan yang memenuhi udara. Ruangan itu terasa berubah. Dinding-dinding gereja yang tadinya sunyi kini seperti berdenyut dengan kekuatan yang tidak terlihat. Udara semakin dingin, menciptakan kabut tipis di lantai. Bau busuk yang menyengat membuat Oxy menutup hidung dengan lengan.
“Ada apa ini?” tanya Oxy, mencoba menahan ketakutannya.
Denta tidak menjawab. Ia berdiri tegak di tengah ruangan, mencengkeram tongkat berbentuk tombak yang selalu bersamanya—sebuah pemberian dari Dewi Foslux dan Dewi Skobris, simbol keseimbangan antara cahaya dan kegelapan. Mata pisau berbentuk bulan sabit di ujung tombak itu mulai memancarkan cahaya yang berganti-ganti antara emas dan hitam, seolah kedua kekuatan itu saling bertarung di dalamnya.
Dari cahaya itu, dua siluet muncul, saling berdampingan. Sosok pertama memancarkan cahaya keemasan yang hangat, sementara sosok kedua gelap seperti bayangan, namun tetap memancarkan aura kewibawaan. Denta langsung mengenali mereka. Ia segera berlutut, menundukkan kepala dalam penghormatan.
“De-Dewi Foslux-Skobris,” bisiknya penuh rasa hormat dan ketundukan.
Dewi Foslux, yang bersinar lembut seperti matahari pagi, melangkah maju. “Bangkitlah, Denta. Takdir memanggilmu lagi,” ujarnya dengan suara yang menenangkan namun penuh wibawa.
Dewi Skobris, yang auranya seperti malam tanpa bintang, menyusul. “Luka Loctanus semakin menganga,” katanya dengan nada dingin namun tegas. “Dan kau, Denta, adalah satu-satunya yang dapat menjahitnya kembali.”
Denta mendongak, tatapannya penuh tekad meski matanya masih berkilau dengan kemarahan. “Apa hubungan ini dengan Delan? Apa dia bagian dari takdir ini?”
Foslux tersenyum lembut, tetapi ada kesedihan di matanya. “Setiap perjalanan membutuhkan pengorbanan, Denta. Delan adalah kunci, sama seperti dirimu.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Hole of Universe || Awakening
Fantasía#DwilogiFoldUniverse Awal mula dari kejadian yang tak terduga. Denta adalah perawan yang ditakdirkan untuk mengorbankan dirinya sendiri sebagai pemenuhan ramalan dari para Dewa. Namun, siapa yang menduganya jika hal itu malah menjadi pemicu dari ter...