(XIII) Hilangnya Air Mata

3 2 0
                                    

Waktu seakan berhenti ketika Denta mengetahuinya. Dia telah membeku di sana tanpa sepengetahuannya. Denta terlambat, tangannya menyentuh jasad adiknya yang telah kaku itu.

Dia memeluknya samar, menangis begitu kuat. Tak peduli jika suaranya akan habis keesokan hari, ia hanya ingin merasakan itu. Adiknya, meninggalkannya. Padahal mereka baru bertemu? Katanya.

Ia sangat sedih, marah, dan kesal. Bahkan tangisnya itu pun seolah memberikan tanda pada dunia bahwa mereka harus berhenti. "Den-denta?" Darel terbangun, ia menatap perempuan yang sebelumnya telah berkorban itu sedang memeluk sesuatu.

Pundaknya bergetar, lalu ia terisak. Mendekat dan mendapati bahwa yang dipeluk oleh Denta adalah Delan. Anak laki-laki itu membeku, Darel mundur karena terkejut. Namun, ia tertabrak oleh sesuatu lain yang menahannya di sana.

"Si-siapa di sana?" tanya perempuan itu dengan suara gemetar, matanya terluka begitu parah. Dipenuhi darah yang melimpah hingga ia tak dapat melihat apa-apa. "A-aku Darel. Oxy kau tak apa?" tanya Darel tak enak hati. Kenapa ini semua terjadi? batinnya bertanya getir.

Apa yang ia lakukan? Semuanya telah menjadi kacau. Walau Hecate sang penyihir yang ia lawan tadi sudah hilang, bahkan sisa sihir kehidupannya melenyap di sekitar sini ....

"Delan mengorbankan dirinya?" Denta terdiam, ia langsung menoleh pada Darel yang kebingungan di sana dan menatapnya begitu dingin. Seolah mengisyaratkan sang lelaki untuk diam dan merasakan.

Mereka benar-benar kacau.

***

Di sisi lain. Seseorang berperawakan tinggi yang tengah duduk dengan tenang itu tiba-tiba batuk. Begitu keras hingga rasanya jiwa sanh tuan akan keluar dari tubuhnya. Tak pula mengundang kasihan dari dua orang lain yang berada di ruangan sama dengannya.

"Perawan sialan!" umpat Naevah. Wajahnya mengeras, urat-uratnya timbul begitu terlihat di lehernya. Wajahnya pun memerah lalu menghitam, diikuti dengan suasana ruangan yang makin mencekam ketika ia berteriak dan membanting meja bundar di sana.

"Tenanglah Nevah. Kau begitu sentimental dalam kehilangan budak pengendali akarmu," kata Daeva tak acuh bahwa hal ini memicu kemarahan lain dari sang pemimpin dosa. Ia hanya sibuk memoles kukunya sambil tersenyum miring ketika mendapati Nevah sudah mencekiknya di atas udara.

Mereka saling adu tatap. Memgeluarkan aura gelap yang menyebar luas dan keluar dari ruangannya. Menghancurkan kembali tanah Loctanus yang memang sudah hancur untuk menjadi lebih buruk lagi.

"Simpan kalimatmu atau aku akan menyobek mulut sialanmu itu. Daevah!" Tiap benda dalam kegelapan di sana pun bergetar dan bahkan beberapa di antaranya retak lalu pecah menjadi beberapa bagian.
Alastor menghela napas di sudut bagian yang berbeda. Lalu ia merubah wujudnya mejadi burung gagak, "Jangan sampai kalian mati dulu. Aku akan mengumpulkan pecahannya." Ia pergi, melewati celah bercahaya kecil di sana.

Terbang melewati reruntuhan kegelapan yang menyeramkan di alam bawah sana. Inscaptirum bagian bawah itu begitu mengerikan. Banyak jiwa yang terikat oleh rantai berduri milik Hecate, akan tetapi karena pemiliknya telah mati maka itu telah lepas.

Menyebabkan kekacauan yang mengundang senyum dari Alastor. Ia pun melesat semakin cepat, mengebaskan sayapnya begitu kuat hingga angin tak betah berada di dekatnya.

Menembus tanah padat itu dan keluar dari sana. Di atas permukaan penuh Loctanus, ia melihat keadaan kota yang begitu kacau. Hampir hancur.

Tak ada kehidupan di sana. Sampai di istana yang menaranya telah runtuh itu pun ia tak melihat sesuatu yang bagus tentang kehidupan di sana.

Ia mengubah dirinya menjadi bentuk awalnya. Sang manusia berpakaian seperti manusia dengan sepasang tanduk dan sayap mengembang di sana.

Menjadi pusat perhatian dari orang-orang yang bergelimangan air mata di sana. "Hello," sapanya tak takut. Denta melihatnya langsung bersiap pada kuda-kudanya. Menatap si lelaki yang memiliki senyum menyebalkan baginya itu dengan tatapan membunuh, lebih daripada yang ia berikan pada Hecate–yang sudah mati.

"Tenanglah anak-anak. Aku hanya akan mengambil apa yang menjadi kemilikannya." Denta tak melihatnya lagi, sepersekian detik kemudian Alastor sudah ada di depannya. Belum sempat bereaksi, ia sudah terpental hingga terperosok jauh ke belakang sana.

Lalu Oxy dan Darel yang tak bisa berkutat akibat hantaman sihir beku dari Alastor itu hanya bisa pasrah. "Ma-maafkan aku Oxy," ucap Darel dengan hati yang berat. Oxy diam, ia tak bisa bergerak lebih lama lagi.

Gadis itu mengeratkan pegangannya pada sang ketua tim. Alastor tertawa, pemandangan ini sungguh menghiburnya. "Kalian sangat lucu sekali. Haruskah kita bermain sebentar?"

Darel menatapnya tajam. Alastor tersenyum dan mengalihkan pandangannya pada cahaya yang mengganggunya dari atas sana, lalu ia melayang dan menuju ke arahnya. Mengambil pecahan cahaya berawarna hijau keunguan yang gelap itu dengan sebuah kantung dan disimpannya dalam saku baju.

"Ah. Kau merepotkan. Tapi, cahaya jiwa di sana ... lebih menggiurkan, dan aku akan bermain sebentar. Nevah tak akan memikirkannya, 'kan?" monolognya yang sebetulnya tak peduli akan apapun. Lalu ia kembali ke depan Darel dan Oxy.

Menatap mereka berdua lalu membatalkan sihirnya. Membuat mereka langsung menyerangnya lebih cepat dari apa yang diduganya. Oxy menghalangi pandangannya dengan batuan besar tajam yang keluar dari tanah dan hampir menusuknya.

Menghindar begitu cepat, Alastor tersenyum kembali ketika dari balik celah batu itu sihir api milik Darel berkobar menghalangi pandangannya. Ketika ia membuka matanya lagi, kedua anak itu sudah berlari darinya.

Mendekat pada Denta yang seakan tersetrum pada bagian tubuhnya. Alastor memiringkan kepalanya, berpikir bahwa ia 'kan belum melakukan apa-apa pada mereka.

"Ah, aku harus mengambil jiwanya juga."

***

"Denta, kau tak apa?" tanya Darel dengan mengguncang sedikit tubuh yang suhunya sedang turun itu. "Apa yang terjadi padanya? Tubuhnya sangat dingin ... seperti membeku," tanya Oxy khawatir.

Darel yang hendak menjawab langsung terkejut. Bahkan Oxy pun sedikit menegang karena tubuh yang dipegangnya beranjak dari sana dan melesat begitu cepat. Lelaki pengendali api itu mengikuti arah perginya sang gadis dan mendapati bahwa Alastor seperti sedang menarik sesuatu dari patung Delan.

"Hentikan itu, bajingan!" Denta berteriak marah, sedangkan Alastor terlihat tak terganggu. Ia malah menunjukkan senyum lebarnya sembari menarik sesuatu bercahaya dari tubuh membeku itu dengan sebuah benang kehitaman miliknya.

Denta kesal. Ia melaju dengan begitu gila, takut bahwa sesuatu yang lebih ditakutkannya itu akan diberikan padanya dari sang makhluk bersayap bayangan di hadapannya.

"Perhatikan langkahmu, Nona Perawan." Denta lengah, kakinya tertarik oleh bayangan dan membuatnya jatuh. Kepalanya menghantam batu begitu keras, menghentikannya dari upaya untuk menyelamatkan sisa jiwa adiknya itu.

"Kem-kembalikan!" Bentak Denta tak tahan, lalu suara nyaring terdengar ketika sebuah cahaya dengan bentuk bersudut yang begitu indah keluar dari tubuh batu adiknya.

Dibelenggu oleh benang sihir yang dikendalikan oleh Alastor. Sang iblis tertawa. Dalam batinnya ia tertawa bahwa anak-anak di depannya ini benarlah anak-anak yang sangat menyenangkan jika di bisa ajak bermain lebih lama lagi.

"Pulanglah Alastor, sebelum kucabut satu-satu sayapmu itu!" Alastor terdiam dan mengangguk. Lalu ia merapal mantra yang membuat ketiga orang di sana akan pingsan setelah menghirup asap yang menyebar.

"Selamat tinggal anak-anak. Terima kasih atas jiwa yang menyenangkan ini," godanya lalu ia kembali berubah menjadi burung gagak dan pergi dari sana dengan perasaan senang tanpa beban.

Tak menyadari sebuah tombak bercahaya itu berputar begitu cepat melesat ke arahnya dan melukai salah sayapnya karena ia lengah. Berbalik dan menatapnya, Denta yang berlumuran darah itu tersenyum lalu pingsan, mengikuti Farel dan Oxy yang sudah kehilangan kesadarannya lebih dulu.

"Heh, merepotkan."

***

1150

Hole of Universe || AwakeningTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang