5. Saksi Tak Bisu yang Membisu

1 0 0
                                    

Musim Panas, 2021

duk duk duk

Setelah menyapa lantai tiga kali, bola oranye itu terbang melintasi ruangan. Ia masuk ke dalam ring, jatuh ke lantai dan dipungut lagi oleh pelemparnya. Setelah itu ia kembali bertemu lantai tiga kali dan terbang lagi, jatuh lagi, dipungut lagi, terpantul lagi, dan begitu seterusnya. Siklus itu sudah berlangsung hampir satu jam, pengendalinya sudah mengajaknya berkeliling lapangan puluhan kali dan masih belum ingin berhenti.

Peluh mengalir membasahi wajah, rambutnya basah kuyup seperti habis keramas. Ia seperti habis diguyur hujan air gula yang membuat sekujur tubuhnya lengket. Namun ia masih tak mau diam dan tetap berlari bersama bolanya bagai orang kesetanan hingga akhirnya tubuhnya mencapai batas kemampuan, ia ambruk di tengah lapangan. Bola yang tadi digenggamnya kini menggelinding ke pinggir, menyentuh pembatas antara lapangan dengan kursi penonton yang kosong nan hampa.

Bayangan yang dihindarinya kini menyergapnya bersama gerakannya yang terhenti. Deburan air, percikan yang menyentuh rerumputan. Pemuda berambut gelap yang menghilang di balik genangan air. Semua memenuhi kepalanya, mencoba untuk mencekik kemampuan berpikirnya. Yang barusan ia lihat itu apa sebenarnya? Percobaan bunuh diri? Tubuhnya gemetar, ia harus apa?

Ia terdiam cukup lama, mencoba meraih kembali pemikiran logisnya. Polisi, ia harus menghubungi mereka. Harusnya ia langsung menelepon mereka tadi, bukannya malah kabur. Tangan bergetarnya merogoh saku celana, mengeluarkan ponsel kesayangannya. Hanya tiga nomor, ia hanya perlu mengetikkan tiga nomor lalu menekan tombol panggil. Namun jemari bergetarnya terus saja menekan tombol yang salah.

Pada akhirnya ponsel itu terjatuh ke samping tubuh, tangannya tak lagi sanggup menggenggamnya. Ia terlalu takut untuk berbicara pada siapapun yang sekiranya akan mengangkat teleponnya. Ia takut, entah untuk apa, tapi ia takut.

Tiba-tiba lampu di atasnya menyala. Netranya menyipit, belum terbiasa dengan cahaya terang setelah cukup lama tinggal dalam keremangan.

"Matteo!"

Seseorang berlari tergoppoh-gopoh dari pintu. "Hei, kau baik-baik saja?" Ia mengulurkan tangannya pada orang yang tergeletak di bawah.

"Apa yang terjadi? Fatigue? EIH¹?" Cercanya pada yang kini terduduk di lantai. Yang ditanya hanya menganggukan kepalanya lemas.

"Astaga" ia merogoh bagian samping ranselnya yang seharusnya menjadi rumah botol minum. Dikeluarkannya sebatang permen loli dan membuka bungkusnya.

"Ini, ini ambil ini" ia mengulurkan permen itu pada orang di depannya.

"Ku pikir kau pingsan tadi" ia memilih untuk ikut duduk di lantai setelah barang pemberiannya diterima.

"Aku baik-baik saja" ucap manusia yang dari mulutnya mencuat batang permen loli.

"Jika ingin mengatakannya, paling tidak tunggu tanganmu berhenti bergetar" yang baru duduk menerawang lampu di atasnya. Cahaya yang berpendar tak benar-benar putih, ada sedikit warna kuning yang memancarkan kesan hangat.

"Kau tahu kita ada pertandingan akhir bulan depan kan?"

Si pengemut permen mengangukkan kepalanya. Bagaimana mungkin ia tidak tahu berita besar itu? Berita tentang adanya sebuah pertandingan yang bisa diikuti adalah berita yang selalu mereka nanti-nanti. Jika sudah muncul, pemberitahuannya pasti meledak-ledak. Setiap pertemuan adalah waktu untuk membicarakannya.

"Kalau begitu jaga kesehatanmu, kau pemain terbaik di sekolah, jika kau tak ikut, tim kehilangan setengah kekuatannya" Matanya kembali memperhatikan sumber cahaya yang menganggantung.

"Masih ada kau"

Si pengamat lampu tertawa kecil mendengarnya. "Kau tahu kenapa pelatih menjadikanku kapten tim?" Ia bangkit berdiri lalu berjalan mendekati bola yang termenung di pinggir lapangan.

Ketika Rembulan Menutup MentariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang