3. Kisah yang Menjadi Legenda

0 0 0
                                    

Musim Gugur, abad ke-19

"Joseph!"

"Joseph Wilson!"

Di antara batang-batang tegak pinus. Belasan titik oranye menyala, bergerak beriringan. Dari jauh mereka bagai kunang-kunang. Namun jika kau mendekat, kau akan langsung tau bahwa mereka adalah segerombol kecemasan.

Salah satu titik oranye itu mendakati sebuah papan yang tergantung. Nyala jingga yang berkibar tertiup angin itu memerlihatkan sebuah peringatan keras. Peringatan yang telah ada bertahun-tahun lamanya.

Semua orang hanya terdiam, tak ingin salah memilih diksi dan menyinggung orang paling muram di sana. Angin berhembus pelan, membuat daun-daun pinus yang lebat bergesekan. Hanya itu lah suara yang terdengar. Karna para serangga pun memilih untuk berpura-pura tidur. Diam dan tenang.

"Benjamin, kau yakin kau melihatnya pergi ke arah sini?"

Keheningan itu terpecah. Yang namanya tersebut merasakan aura yang mencekam. Walau si penanya tak melihat ke arahnya, rasanya seperti sepasang matanya menatap tajam dirinya.

"Ya Mr. Wilson, aku bertemunya di pertigaan saat akan pergi ke ladang, dia bilang sedang mencari kambingnya dan bertanya apa aku melihat kambing itu, karna aku menjawab 'tidak', jadi ia berputar balik karna berpikir kambingnya pasti ke arah yang satunya sehingga aku tak melihatnya"

"Sekali lagi aku bertanya padamu, apakah kau yakin melihat Joseph pergi ke arah sini?"

"Sangat yakin Pak!"

Wajah kelabu itu kembali menyorongi papan yang tergantung di depannya.

"AREA TERLARANG!

DILARANG MASUK!"

"Ia pasti pergi ke arah satunya setelah tak menemukan Rosie di jalur ini, kita harus mencarinya di jalur yang satunya" si paling muram berbalik dan berjalan menembus orang-orang yang datang bersamanya.

"Goerge, ini sudah hampir tengah malam"

Teguran itu di dengarnya, tapi langkahnya tetap berlanjut. Si pemilik kaki tak ingin peduli. Baginya waktu yang berlalu adalah tanda ia harus bergerak semakin cepat dan menemukan apa yang ia cari. Di antara batang-batang pinus yang menghimpitnya, mungkin yang dicarinya tengah menggigil kedinginan.

"Goerge!"

Pada akhirnya langkah itu terhenti berkat lengan yang tertarik.

"Kita harus kembali dan mencarinya esok pagi"

"Jika kalian ingin kembali maka kembali lah, aku akan mencarinya sendirian" Yang ditegur menarik lengannya.

"Aku mengerti kau khawa-"

"Tidak, kau tak mengerti Robert, anak ku hilang! Dia hilang!" Sorot mata itu menusuk semua orang, terutama pada orang yang berani melarangnya tuk melangkah.

"Anakmu kini ada di rumahmu yang hangat, ia mungkin tak lagi bisa melihatmu dengan jelas, tapi kau bisa melihatnya dan dia bisa melihatmu, tapi anak ku? Bagaimana dengan anak ku? Dia bisa ada di bagain mana di hutan ini, hutan yang sepenuhnya gelap dan dingin, aku tak bisa hanya berdiam diri dipeluk cahaya dan kehangatan saat anak ku pasti tengah menderita!"

Seseorang melangkah maju, mendekati sorot tajam yang kini mulai melunak. "Terlalu berbahaya untuk lanjut mencari sekarang George, bagaimana jika saat Joseph kembali justru kau yang menghilang? Sudah terlalu gelap walau kita membawa obor."

"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Ketika Rembulan Menutup MentariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang