4. Air dan Matahari

0 0 0
                                    

Musim Panas, 2021

Gemerincik air terdengar dari atap dan dedaunan hijau. Awan sedang berduka pagi ini. Pemuda itu memerhatikan airmata yang berjatuhan di depan matanya. Ia tak suka hujan, lebih tepatnya tak suka tanah berlumpur yang menampakkan diri saat hujan.

"Menyebalkan" gumamnya sebelum mengangkat payungnya dan pergi keluar pagar.

Namun baru selangkah ia berada di luar, ia langsung terburu-buru masuk ke dalam lagi. Ia berlari ke teras rumah, menutup payungnya dan pergi ke ruang makan.

"Ayah, apa ayah buru-buru pagi ini?"

Si kepala keluarga yang tengah menegak kopi mengernyit heran melihat putranya tiba-tiba muncul dari ruang tengah. Bukankah tadi dia sudah pamit pergi ke sekolah?

"Tidak, ada apa?"

"Bisa tolong antar aku ke sekolah?" Jawab yang ditanya ragu-ragu.

Yang dimintai tolong menaruh cangkirnya di meja. "Apa ada yang mengganggumu di bus? Ini masih terlalu pagi untuk tertinggal bus kan?" Ia kembali mengernyit ketika melihat putranya yang tampak gugup.

"i-itu-"

"AW!"

Belum sempat penjelasan itu meluncur, ucapan terbatanya berubah menjadi jeritan. Ia mengelus ubun-ubunnya yang baru saja didarati buku novel hardcover. Nyeri sekali, si pilot sengaja mendaratkan pesawatnya dengan bagian ujung lancip yang keras.

"Berhenti merepotkan ayah dan segera pergi ke halte"

Yang kepalanya sempat menjadi bandara berdecih melihat kakak perempuannya yang melenggang pergi. Rasa kesal memenuhi hatinya apalagi ketika ia sadar apa yang tadi sempat mendarat di kepalanya.

"Hei! Itu milikku!" Ia berlari kecil mengejar kakaknya. Oh bukan, kini ia lebih menganggapnya sebagai seorang pencuri daripada seorang saudara.

"Aku pinjam dulu, guruku menyuruh membawa novel entah untuk apa"

"Paling tidak taruh itu di tas mu, kau membuatnya terkena air hujan!" Batinnya menangis ketika melihat kakaknya mengayun-ayunkan novel itu seenaknya.

"Astaga! Jika ingin memimjamnya, paling tidak jaga dengan benar, aku harus menabung satu semester untuk membelinya!" Ia tergopoh-gopoh mengejar orang di depannya yang masih saja mengayun-ayunkan benda keayangannya.

"Kau ini berisik sekali seperti nyamuk"

"Mana ada nyamuk yang tampan seperti ku?"

"Ew" yang lebih tua memasang wajah jijik, tapi yang di belakangnya mana mungkin melihatnya. Ia malah sibuk memuji wajahnya yang terpantul di genangan air.

"Hai Kaylee!"

Yang sibuk bercermin terbelalak, ia lupa mengapa ia meminta ayahnya untuk mengantarnya. Ingin pura-pura tak sadar, tapi wajah muram itu sudah terlanjur ditatapnya. "Sial" ia membatin sembari berharap bus datang detik itu juga.

Tempat duduk di halte itu masih luas, tapi tempat yang tersisa adalah di samping orang yang baru disapa kakaknya. Jika ia duduk di situ, pasti akan canggung. Paling tidak untuknya. Ia menutup payungnya dan memilih untuk bersandar di tiang. Atap di atasnya tak melindunginya sepenuhnya, air hujan perlahan mengungsi ke bahunya. Ia melirik ke tempat yang tersisa, tapi tetap mengurungkan niat untuk pergi ke sana.

Saat bus akhirnya datang ia segera melesat, membuat kakaknya menggerutu karna hampir tertabrak. Namun ia peduli apa, jika kakaknya benar-benar tertabrak pun ia tak akan menoleh, apalagi hanya hampir. Sekarang yang penting baginya adalah mencari tempat duduk dan ia berhasil menemukannya dengan mudah.

Ketika Rembulan Menutup MentariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang