6. Si Tudung Merah dan Serigalanya

0 0 0
                                    

Musim dingin, 1925

"Ibu, aku pergi dulu"

Gadis itu membuka pintu, membiarkan udara dingin menerobos masuk. Sebagian dari mereka mengelus wajah, seolah meminta ijin agar tak dicap sebagai penyusup. Si gadis menikmati elusan itu, rasanya menyegarkan. Ia memejamkan matanya, memusatkan fokusnya pada rasa yang diterima indra perabanya.

"Eva"

Gadis itu membuka matanya dan berbalik. Ibunya datang dengan celemek kain genggang yang melilit pinggangnya.

"Cuaca semakin dingin, gunakanlah tudungmu" sang ibu menaikkan tudung jubah anaknya, membuat benda itu menutup rambut kecoklatan si anak.

"Jika tiba-tiba matahari tertutup-"

"Segera lari ke rumah terdekat" potong si anak.

Si ibu tersenyum. Ia tak suka jika ucapannya dipotong, tapi untuk kali ini ia memakluminya. Putrinya pasti sudah lelah mendengar himbauan itu sejak kecil. Namun ia tak ingin berhenti untuk mengingatkan setiap anaknya itu membuka pintu rumah.

Ia menyentuh pelan pipi gadis kecilnya, menyalurkan rasa hangat ditengah hawa dingin yang mengelilingi mereka. Nostalgia membawanya pada potongan adegan saat ia menggendongnya seharian, saat ia mengajarinya berjalan, saat ia mengawasinya yang bermain di halaman. Kini gadisnya sudah bisa berjalan sendiri, sudah mulai menjelajah lebih jauh dari sekedar halaman rumah, sudah cukup mampu untuk menjaga dirinya sendiri.

"Hari ini, dimana kau dan teman-temanmu akan bermain?" Ia masih membelai pipi yang kini sedikit terangkat berkat senyum yang terbentuk.

"Di bukit!"

Si pembelai ikut tersenyum melihat binar antusias di mata putri kecilnya. Binar itu adalah binar terindah yang pernah ia lihat dalam hidupnya. Lebih indah dari bintang terterang di jagat raya.

Belaian itu usai karena sekarang tangannya beralih pada tali jubah yang dikenakan anaknya. Disentuhnya tali itu, memerhatikan bagaimana untai itu terjalin, memastikannya sudah cukup kuat agar si jubah tak terlepas dan anaknya tak akan kedinginan di luar sana.

"Jika salju mulai turun, maka segeralah pulang ke rumah" Ia mengecup kening putrinya setelah memastikan ikatan itu telah cukup kuat.

Gadis berjubah itu menganggukan kepalanya dan ibunya pun melepaskannya pergi menyapa alam. Sang ibu berdiri di ambang pintu, melihat putrinya yang berjalan di sepanjang jalan setapak yang dibersihkan ayahnya dari salju pagi tadi.

Si anak berjalan sembari berjingkat-jingkat dan sesekali berputar. Jubah merahnya dan keranjang berisi biskuit di tangannya membuatnya merasa seperti gadis bertudung merah yang akan mengunjungi neneknya.

Di hadapannya alam telah memutih. Salju menguasainya sejak bulan lalu dan menurutnya masa-masa penjajahan salu adalah masa yang membosankan. Ia tak suka dunia kehilangan warnanya.

Di kejauhan, puncak-puncak pinus bekilauan. Cahaya matahari yang berhasil mengintip dari balik awan memantul di atas sana. Ia berlari mendekat ke pohhon pinus terdekat dan menggoncang pohon yang belum terlalu tinggi itu. Warna hijau memamerkan dirinya dan si gadis tersenyum melihatnya.

Ia pernah dengar bahwa pohon pinus dan cemara tidak menggugurkan daun-daunnya di musim dingin untuk membantu burung-burung yang butuh tempat hangat untuk tinggal. Entah itu benar atau tidak, yang ia tahu, mereka membuat dunia tetap berwarna di musim dingin. Karena itu, ia selalu jatuh cinta pada mereka di musim dingin.

Ia berlari kecil meninggalkan anak pohon itu. Teman-temannya pasti sudah menunggu di pertigaan jalan seperti perjanjian yang mereka buat kemarin. Berulang kali ia berhenti untuk menggoncang setiap pinus yang sekiranya mampu ia goncang, menarik perhatian teman-temannya di kejauhan.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 27 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Ketika Rembulan Menutup MentariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang