2. BAD LOVE

36 4 10
                                    

Maxvin menarik gulungan kemejanya hingga kesiku. Tatapan mata tajam dengan pupil abu abu tua itu memandu langkah segerombolan orang yang memakai setelan formal. Tatapan mereka jelas menunjukkan kecemasan. Tak pernah terpikir bahwa bos muda itu akan menggantikan ayahnya sementara waktu. Mereka bisa gila apalagi dengan sikap Maxvin.

Pintu besar berbahan kayu jati yang menjadi tujuan mereka, sudah terbuka lebar menyambut Maxvin untuk masuk. Seluruh rombongan beralih dari barisan mereka untuk mengambil tempat. Sementara itu, Maxvin hanya berdiri disana beberapa saat sambil memasukkan tangannya ke dalam saku. Dia memandangi orang orang itu, beralih pada ruangan rapat yang cukup luas tersebut. Di atas dinding dimuka ruangan, terpajang figura kakek dan ayahnya lalu, dibawah figura itu ada gambar Maxvin, yang menandakan, bahwa dialah pewaris selanjutnya.

Maxvin tersenyum miring, akhirnya berjalan ke kursi paling depan yang akan menjadi kursi kepemimpinannya nanti. Dia duduk menyilangkan kakinya, sambil bersandar nyaman. Dia akan menikmati rapat dan pembahasan hari ini.

Rapat sudah dimulai, berjalan seperti biasa dan pemuka pemuka perusahaan saling memberi pendapat satu sama lain. Sekretaris Maxvin yang menandu jalannya rapat dengan cukup serius. Sedangkan Kai, pria itu hanya melipat tangannya sambil menutup mata.

"Gimana menurut anda pak Maxvin?" Salah satu direktur yang Maxvin ketahui sebagai pemegang target pemasaran meminta pendapat Kai.

Maxvin masih tampak berpikir sambil menutup matanya. Tangannya berputar putar sedang memikirkan pendapat yang kiranya cukup baik. Setelah beberapa saat, Maxvin membuka kembali netranya, kemudian bangkit berdiri. Tangannya menyilang didepan dada, sebelum menatap satu persatu pejabat perusahaan di dalam ruangan itu.

"Hancurkan semua." Titahnya tenang. Sorot mata tajamnya mengintai mereka hingga ruangan terasa dingin nan mencekam.

"We can't play everything well." Jawab Maxvin tenang.

"Tapi, ini bisa mempengaruhi citra perusahaan pak Maxvin." Salah satu pria berumur 50 an mengajukan ketidak setujuan nya.

Maxvin tersenyum mengejek, "Jadi, anda ingin berlutut pada warga biasa seperti mereka? Lagian, dari awal tanah itu memang milik perusahaan. Mereka cukup beruntung hidup seperti parasit di lahan kita. Dan memberi mereka kompensasi?" Papar Maxvin tegas.

"Ahhh,"

"Sudah berapa lama kalian bekerja disini?" Kai bergerak maju sedikit membungkuk, menumpu tubuhnya pada meja.

"Kenapa seperti amatir?" Tanya Maxvin tenang namun sarat akan sindirian.

Seluruh penghuni ruangan berdehem sambil memandang satu sama lain. Mereka tidak menyangka cara bekerja Maxvin akan sekejam ini. Padahal, dia masih mahasiswi. Jika tidak terpaksa dan takut, mereka harusnya protes dengan pengangkatan Maxvin menjadi presdir sementara perusahaan.

"Tapi tuan, bagaimana jika masyarakat menilai perusahaan kita sebagai-"

"Kambing hitam, banyak yang bisa dijadikan kambing hitam untuk menyelesaikan masalah besar. Right? Kalian juga sering menggunakannya. Tidak perlu munafik." Ucap Maxvin datar. Pria dengan pahatan bak dewa itu tersenyum kecil, lalu membalikkan badannya menatap materi yang terpancar dari proyektor.

"Kalian menyiapkan rapat hanya untuk sampah seperti ini?" Ujar Maxvin mengejek.

Pria itu mengusap bibirnya, kemudian mendesah panjang.

"Ahhh, sungguh tidak menyenangkan." Singkat Maxvin sebelum dia pergi meninggalkan ruangan tanpa sepatah kata penutup apapun. Baginya, membuang buang waktu.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: 5 days ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Bad FadeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang