Perasaan dan Penyangkalan

33 8 0
                                    

Mingyu menatap lurus ke depan, mencoba berkonsentrasi pada naskah di tangannya. Di luar, sinar matahari sore menyusup melalui celah tirai ruang ganti, menambahkan sentuhan hangat pada suasana yang seharusnya penuh dengan antisipasi. Itu adalah hari terakhir syuting untuk salah satu adegan besar mereka. Dia duduk di kursi, tangan gemetar, tetapi bukan karena naskah yang sulit. Jantungnya berdetak tak teratur, dan pikirannya terpecah antara karakter yang ia perankan dan perasaan yang mulai tumbuh jauh di dalam dirinya.

Wonwoo masuk ke dalam ruangan, auranya seperti biasa–tenang, fokus dan karismatik. "Siap?" tanyanya dengan suara rendah, menyentuh bahu Mingyu dengan lembut. Sentuhan itu, meskipun singkat, membuat tubuh Mingyu menegang.

"Iya.. iya hyung aku siap," jawab Mingyu terbata, berusaha menjaga suaranya tetap stabil. Tapi perasaannya kacau. Setiap kali Wonwoo mendekat, dadanya terasa berat seolah-olah ada sesuatu yang berdesir tak terkendali di dalam dirinya.

Mereka berjalan bersama menuju set. Kamera-kamera sudah siap, dan seluruh kru berada di posisi masing-masing. Sutradara memberikan instruksi terakhir, tetapi bagi Mingyu, suara di sekitar seakan mulai menghilang. Di sana, di tengah set, hanya ada dirinya dan Wonwoo. Dunia seolah menyempit di sekitar mereka.

Adegan yang akan mereka lakukan adalah puncak emosional dari film tersebut. Karakter mereka, setelah melalui berbagai konflik, akhirnya mengakui perasaan yang mereka pendam. Mata mereka harus berbicara tanpa kata-kata, tubuh mereka harus memancarkan hasrat tanpa bersentuhan. Bagi penonton, ini adalah momen penuh ketegangan romantis. Tapi tidak bagi Mingyu, ini terasa lebih dari sekadar akting.

"Action!" seru sutradara, dan adegan dimulai.

Wonwoo mendekat, tatapan mata yang dalam dan intens itu menghancurkan setiap pertahanan yang Mingyu coba bangun di antara mereka. Mereka hanya perlu saling memandang, tanpa dialog. Karakter Wonwoo melangkah maju, dan karakter Mingyu seharusnya tetap tenang, namun jauh di dalam dirinya, Mingyu tahu bahwa bukan hanya karakter yang merasakan sesuatu.

Saat adegan berjalan, Mingyu merasakan napasnya semakin cepat. Tatapan Wonwoo tak pernah lepas darinya, begitu intim dan nyata. Sesuatu di dalam dirinya retak. Semua latihan selama ini, semua latihan tentang menjaga batasan antara akting dan kenyataan, seakan runtuh dalam satu tarikan napas. Dan saat itu, dia menyadari: ini bukan lagi akting. Perasaan yang tumbuh di antara mereka bukan hanya bagian dari karakter. Itu adalah kenyataan.

Namun, saat sutradara memuji mereka, Mingyu tidak bisa sepenuhnya menikmati pujian itu. Di belakang layat, tatapan Wonwoo masih menembus dirinya. Tidak ada yang berubah dalam cara Wonwoo  menatapnya– sama seperti dalam adegan intens dan penuh makna. Mingyu mengalihkan pandangan, takut apa yang mungkin dia lihat di sana. Sesuatu yang akan memaksa dia untuk menghadapi kebenaran yang telah dia hindari selama berminggu-minggu.

Setelah syuting hari itu, Mingyu berjalan menuju ruang gantinya berusaha mengendalikan napasnya. Namun, sebelum dia sempat mencapai pintu, Wonwoo menyusulnya.

"Apa kau baik-baik saja?" tanya Wonwoo lembut, sedikit khawatir melihat kegelisahan Mingyu.

Mingyu tersentak, tidak tahu harus menjawab apa. "Aku... aku baik-baik saja. Hanya sedikit lelah," jawabnya sambil tersenyum kaku. Tapi dia tahu. Wonwoo bisa melihat melewati topeng itu. Wonwoo selalu bisa melihat yang tak terkatakan.

"Aku tahu sesuatu menganggumu," kata Wonwoo, suaranya pelan namun penuh perhatian, "Jika ada yang perlu kau bicarakan, kau bisa bercerita denganku. Aku di sini."

Hati Mingyu berdetak lebih cepat. Setiap kata dari mulut Wonwoo menambah beban pada dadanya. Sebagian dari dirinya ingin berbicara, ingin mengakui semuanya, tapi sebagian lain merasa takut­—takut akan apa yang mungkin terjadi jika dia mengungkapkan perasaannya.

Beyond Time | Minwon AUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang