KRINGG...!!
Bel memekik keras memekak telinga manusia yang ada di seluruh penjuru gedung antik ini. Mina masih setia berdiam diri di bangkunya, menyalin tulisan-tulisan yang sudah memenuhi papan tulis hijau itu. Gadis itu sama sekali tak terganggu riuhnya suasana kelas di jam pulang seperti ini. Bahkan hingga kelompok piket, yang merupakan orang-orang terakhir yang bersamanya di kelas ini, sudah membubarkan diri keluar kelas, Mina masih enggan untuk melangkahkan kaki keluar dari mejanya. Perlahan tapi pasti, Mina meremas pensilnya kuat-kuat.
Takk...!!
Cairan merah mulai merembes mencoba keluar dari kulitnya yang terobek kayu patahan kayu pensil dari tangannya sendiri. Air mata itu keluar seiring mengalirnya darah ke lengan seragam.
Ia mulai memasukan buku-bukunya ke dalam tas sebelum pergi dengan tangan terluka. Tepat setelah kakinya mencapai langkah kedua di luar kelas. Seseorang menangkap pergelangan tangan kanannya.
Tangan kokoh itu menariknya berbalik, hingga kini ia bisa melihat wajah tampan lelaki berambut pirang itu dengan jelas. Mereka nyaris tak berjarak. Mina bahkan bisa merasakan parfum maskulin pemuda itu.
"Mina-ya..." Mata tajam itu mencoba mengintimidasi Mina. Jeongyeon mengangkat tangannya, menunjukan luka sobek yang masih dibaluri darah segar.
"Apa yang terjadi?"
Mina diam, ia tidak merasa nyalinya ciut sama sekali. Siapapun boleh saja gentar jika dihadapkan dengan Jeongyeon. Tapi tidak dengannya. Baginya, pemuda itu hanya seorang lelaki biasa. Lelaki biasa yang terus berusaha melindungi orang-orang yang ia cintai.
Jeongyeon mulai memasuki tantrumnya. Mengubah posisi mereka, menyudutkan Mina ke tembok, mengurung tubuh gadis itu dengan kedua lengan berototnya.
"Kemarin Chaeyoung, dan sekarang terjadi padamu. Apa aku setidak berguna itu Mina-ya?" Suara Jeongyeon melembut lirih. Mina dengan berani menatap mata tajam pemuda itu, menangkup rahang tegasnya dengan tangan kiri, mengusapnya pelan. Dahi mereka mulai menyatu hingga hidung mancung keduanya juga ikut bertabrakan. Jeongyeon melupakan semuanya, ia mabuk hanya dengan sentuhan dari kulit Mina, matanya memejam.
"Jeongyeon oppa, gomawo" Bisik Mina lembut hingga ia bisa merasakan napas mina mengenai kulit wajahnya.
Pertahanan Jeongyeon runtuh ia menjatuhkan wajahnya ke ceruk leher Mina. Terisak layaknya bayi kecil yang hendak mengadu pada sang ibu. Ia bisa merasakan kelembutan gadis itu saat membelai tengkuknya.
"Kau oppa dan hyung terbaik untukku juga Chaeyoung"
Jeongyeon mulai tenang. Dan saat itu juga mereka menyadari tak jauh dari kelas mina, Chaeyoung tengah bersender di tembok di sinari cahaya matahari sore yang masuk melalui jendela kelas. Menikmati permen karet rasa strawberry sembari memainkan rubiknya dengan tenang.
####
"Apa noona sedang dalam masalah?" Mina menutup bukunya. Ia menolehkan kepalanya. Gadis itu menatap Chaeyoung intens. Mata bulat sang bayi macan memandangnya lembut.
Chaeyoung bisa merasakan aura dingin gadis itu. Mina tengah membangun sebuah tembok es di antara mereka. Menutupi kegundahan hatinya. Lelaki manis itu tak peduli. Ia memang sudah menyiapkan nyalinya banyak-banyak.
Mina tahu, cepat atau lambat ia tak bisa lagi mengintimidasi pemuda itu dengan mata tajamnya. Anak lelaki itu perlahan tumbuh menjadi pria dewasa, bukan lagi seorang adik yang bisa ia anggap bayi selamanya. Chaeyoung sudah mengenakan seragam yang sama dengan seragamnya dengan jeri payah sendiri.
Melengos.
Berusaha membuang muka dari lelaki jenius itu. Mina tak ingin benteng esnya leleh secepat ini.
"Aku sudah berusaha tumbuh menjadi pemuda tangguh demi seorang Myoui Mina"
Hening sejenak. Mina masih membiarkan Chaeyoung menggunakan waktunya. Yang bisa ia lakukan hanya diam mendengarkan. Menghargai setiap kata yang keluar dari bibir merah itu.
"Bukan lagi seorang bayi yang selalu Jeongyeon hyung katakan" Chaeyoung menerawang langit tak bersurya yang membentang sejuk di atasnya.
"6 tahunku tak mudah. Jadi kuharap noona tidak menyia-nyiakan bahuku yang selama ini kukokohkan untuk noona" Mata Mina mulai menyayu, pandangannya jatuh pada tangan Chaeyoung di sebelahnya. Lengan itu memang tak sekokoh milik Jeongyeon, tapi rasanya tak ada yang lebih membuatnya nyaman dari pada lengan kurus Chaeyoung. Ia mulai menyelipkan jari-jari lentiknya di antara jemari kotor milik Chaeyoung, tangan kirinya mulai meraih lengan itu sebelum kepalanya dibaringkan ke bahu si lelaki yang menurutnya cukup tampan itu.
Perlahan ia menutup mata. Menyamankan diri. Menyerahkan sisi lain dari jiwanya yang lemah kepada anak lelaki ini. Menikmati wangi permen karet bercampur bau cat khas Chaeyoung yang masuk ke indra penciumannya. Senyumnya terbit seketika ia merasakan jempol itu mengusap-usapkan diri ke kulit tangannya secara lembut.
Chaeyoung memang bukan lelaki tangguh, bukan pula pria kaya. Pemuda itu hanya anak yang lahir dengan fisik lemah di keluarga yang sederhana.
Tapi bagi Mina,
Dialah tempatnya berlindung.
Gunung batu dan matahari yang mampu menjaga dan melelehkan jiwanya yang beku.
===TBC===

KAMU SEDANG MEMBACA
Until the Last Snowflake in This Winter
FanficSekelibat cerita tentang tiga remaja yang tubuh bersama, melampaui batasan latar belakang dan kelemahan masing-masing. Ikatan yang begitu kuat membuat mereka saling mengerti, menjaga dan bergantung. Membangun benteng yang mungkin hanya mereka yang m...