Bab 2
Hari-hari di Pare membawa banyak suka dan duka bagi Inka. Setiap pagi, ia bangun dengan semangat baru, menyambut hari dengan harapan yang besar. Kampung ini, dengan segala keunikannya, telah menjadi rumah kedua yang penuh warna. "How are you,Inka." Pertanyaan yang langsung tertuju untuk Inka dari miss Naila, salah satu tutor grammar di kelasnya.
Miss Naila, seorang yang pernah menyambut kedatangan Inka waktu pertama kali sampai di sini. Miss Naila wanita yang lembut dan aktif. Dia selalu membantu murid-muridnya ketika kesusahan dalam belajar bahasa Inggris. Mata yang sayu dan bibir tipis sekaligus badan yang mungil membuat orang tak percaya bahwa umur miss Naila sekitar 25 tahun. Istilah sekarang biasa disebut baby face karena secara visual miss Naila seperti anak SMA.
Suasana kelas Inka selalu penuh semangat dan dinamis. Setiap pagi, ruang kelas yang sedrehana namun nyaman dipenuhi oleh murid dari berbagai daerah dengan latar belakang yang berbeda. Ada yang sudah lulus kuliah sarjana, guru, atau bahkan yang baru lulus SMA sama seperti dirinya.
Inka duduk di barisan tengah bersama teman-temannya. Berdiskusi hingga bermain games bersama. Kelas ini selalu hidup dengan tawa dan percakapan, menciptakan suasana yang menyenangakan tidak membosankan.
Ketika pelajaran berlangsung, suara tutor menjelaskan materi-materi yang disampaikan yang selanjutnya akan dipraktekkan oleh para muridnya. Setiap murid didorong aktif berpartisipasi, memberikan pendapat, dan bertanya jika ada yang tidak mengerti. Di sini, tidak ada rasa takut untuk membuat kesalahan, karena setiap kesalahan adalah kesempatan untuk belajar.
"move a bit," artinya? Suara miss Naila yang semangat mengajar. " geser sedikit," jawaban satu kelas dengan lantang. Di kampung Inggris ini Inka mengambil program TOEFL. Program intensif yang dirancang untuk membantu menguasai semua aspek tes TOEFL dengan baik. Durasi waktu yang diambil Inka 3 bulan. Ada banyak program bahasa Inggris yang ditawarkan setiap lembaga. Ada yang khusus IELTS, Speaking, Grammar, dan lainnya.
***
Hari itu, hujan turun dengan deras di Pare. Inka berlari kecil melintasi jalanan becek, berusaha menacri tempat berteduh. Ia baru saja keluar dari kelas grammar dan tidak membawa payung. Matanya mencari-cari kafe kecil yang biasa ia kunjungi bersama Nurul.
Begitu memasuki kafe, Inka menggigil kedinginan. Ia mendapati bahwa kafe itu hampir penuh, hanya menyisakan satu meja kosong di pojokan. Dengan cepat, ia melangkah menuju meja tersebut, menarik kursi,dan duduk. Sambil menunggu hujan reda, Inka memesan secangkir teh hangat, berharap bisa menghangatkan tubuhnya yang basah kuyup.
Ketika teh pesanannya tiba, pintu kafe terbuka dan seorang pemuda dengan wajah kebasahan masuk. Inka memperhatikan sekilas. Pemuda itu tampak bingung mencari tempat duduk, karena kafe penuh. Inka yang melihat keadaan itu, tanpa berpikir panjang, menawarkan tempat duduk di mejanya.
"maaf, kamu bisa duduk di sini kalau tidak keberatan," kata Inka sambil tersenyum.
Pemuda itu tersenyum lega. "Terima kasih banyak, saya Denandra Ali dari Palembang."
"Aku Inka Natasya, dari Jawa Timur. Senang bertemu denganmu, Denandra Ali," balas Inka
Sosok pemuda yang sekarang ada di sampingnya Inka membuat getar hatinya. Entah kenapa bisa merasakan perasaan ini. Mata Ali yang berwarna cokelat gelap, dengan mata sipit. Ada kilauan semangat dalam matanya. Kulit putih bersih, khas orang Palembang dengan tekstur yang halus dan sehat. Gaya berpakaian Ali yang sederhana namun penuh selera. Mengenakan kaos polos berwarna hitam dan kemeja kasual berwarna biru dipadukan dengan celan jeans, menambah ketampanan pemud ini.

KAMU SEDANG MEMBACA
The Last Flower of Istanbul
Ficción históricaInka, seorang perempuan yang penuh mimpi. Berjuang melawan penyakit autoimun yang menggerogoti tubuhnya. Di tengah keterbatasannya, ia tetap teguh pada impian sederhananya. Melihat langsung bunga tulip di Istanbul dan menjadi seorang penulis terkena...