Becoming Hated

545 85 13
                                    

Sasuke mengerutkan kening saat ia berenang dalam lautan kegelapan tak berujung yang mengelilinginya. Tubuhnya melayang tanpa bobot melawan arus hitam, pemandangan yang sangat mirip dengan saat ia terjaga.

Satu-satunya yang berbeda adalah satu-satunya teman yang ia miliki hanyalah suaranya sendiri, dan bahkan suara itu kini terasa membosankan. Sangat luar biasa betapa mudahnya seseorang bisa bosan dengan dirinya sendiri. Ia menghela napas, membiarkan kekuatan tak terlihat merentangkannya.

Sedikit demi sedikit, ia mencoba fokus pada indra perasanya. Itulah satu-satunya cara untuk tetap waras saat ia terjebak di dalam pikirannya sendiri.

Setiap sel dalam alam bawah sadarnya bergetar secara bersamaan, memungkinkannya merasakan dengan cara yang tidak bisa ia rasakan saat terjaga. Ketika ia terjaga, kegelapan tetap sama, tapi tubuhnya terasa seperti bukan miliknya sendiri. Tubuhnya terasa kikuk, canggung, dan tidak berguna.

Untuk apa Konoha membiarkannya tetap hidup? Ia lebih memilih mati daripada menjadi seperti ini. Bagaimanapun juga, ia tidak berguna bagi mereka tanpa menggunakan matanya. Ia mengerang saat tubuhnya mulai menarik diri kembali ke dalam dan arus di sekitarnya melambat hingga berhenti.

Perlahan-lahan, kegelapan menyusut menjadi gradasi abu-abu. Pada awalnya hanya kecil sekali, tetapi warna hitam itu terus menghilang hingga ia dikelilingi oleh cahaya kuning lembut di atasnya.

Sasuke mengerjapkan mata, tidak yakin apakah apa yang dilihatnya itu nyata atau tidak. Rasanya nyata, seolah-olah ia telah menatap cahaya yang sama selama bertahun-tahun, namun... rasanya ada yang salah.

Di bawahnya, arus tempatnya mengapung telah berubah menjadi sesuatu yang padat dan lembut. Jari-jarinya menggenggam sesuatu yang terasa seperti seprai.

Ia mencoba menggerakkan jari-jari kakinya yang biasanya mati rasa, tetapi mereka merespons dengan baik. Ia duduk, terkejut karena ia bisa bergerak begitu leluasa dan kagum pada tubuhnya sendiri.

Ia menatap tangan yang kini terlihat merah muda, halus, dan tak berdosa. Seolah-olah tangan itu tak pernah memegang kunai di leher seorang pria yang memohon ampun padanya. Terkejut, ia melihat kakinya yang terjerat dalam seprai biru tua dan mendapati kaki itu bebas dari bekas luka yang seharusnya ada di sana.

"Sasuke," sebuah suara lembut memanggil, dan matanya terangkat dari kekagumannya pada anggota tubuhnya ke sosok di ambang pintu. "Sudah saatnya kau bangun, tukang tidur."

Sosok itu berdiri dengan tenang dengan senyum cerah di wajahnya, mengeringkan tangannya di tepi apron berwarna cokelat muda. Rambut hitamnya, yang Sasuke tahu identik dengan miliknya, jatuh di punggungnya dan bergoyang dengan gerakan sekecil apapun. Napasnya terhenti saat mata wanita itu terbuka dan mata hitam khas klan Uchiha balas menatapnya.

Ibu. Pikirnya, napasnya tersangkut di tenggorokan hingga hampir membuatnya tersedak.

Ibunya menyadari ketidaknyamanannya dan berjalan melintasi ruangan hingga duduk di tepi tempat tidurnya.

Kehangatan terpancar dari tubuh ibunya saat wanita itu mendekat dengan tatapan penuh perhatian di matanya, lalu meletakkan tangan lembut di dahi Sasuke. Aroma lavender dan vanila membanjiri indra penciumannya, menyebabkan bulu kuduknya berdiri.

"Sasuke, kau baik-baik saja? Apa kau merasa tidak enak badan hari ini?" tanya ibunya, menurunkan tangannya dari dahi ke pipi Sasuke.

Sasuke membuka mulut untuk menjawab, tapi saat tidak ada suara yang keluar, ekspresi lembut ibunya berubah menjadi kekhawatiran tulus. Ibunya mendekat, dan dengan itu aroma yang menyelubunginya semakin kuat.

Becoming an UchihaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang