Becoming an Idiot

174 46 5
                                    

Ruangan itu menjadi hening saat Kakashi berjalan menuju ranjang rumah sakit mantan muridnya.

Meskipun Sasuke dalam kondisi yang sangat buruk dan tangannya dirantai, ia tetap menatap ke arah Kakashi dengan menantang, seolah-olah ia masih bisa menang dalam pertarungan. Jika dalam kondisi yang lebih baik, Kakashi tidak ragu bahwa Sasuke bisa menang.

Sasuke sudah melampaui kemampuannya sejak lama. Dalam beberapa hal, fakta itu membuatnya bangga, tetapi ia juga tahu bahwa keahlian Sasuke akan menjadi kehancurannya sendiri.

Dewan desa melihat Sasuke sebagai ancaman, dan meskipun Kakashi peduli pada Sasuke, para dewan tidak sepenuhnya salah. Ada lebih banyak darah di tangan pemuda itu dibandingkan dengan beberapa shinobi paling terampil milik mereka.

Menjadi Hokage berarti melindungi semua rakyatnya, bahkan dari orang-orang yang ia pedulikan. Terkadang itu berarti melindungi mereka dari diri mereka sendiri. Klan Hyuuga memiliki alasan egois mereka sendiri untuk menginginkan Sasuke tetap hidup, begitu pula Kakashi.

"Katakan saja, Kakashi," gerutu Sasuke, dan Kakashi tersenyum di balik maskernya. Tampaknya Sasuke masih belum belajar tentang kesabaran.

"Tenanglah, Sasuke," katanya sambil mendekati ujung tempat tidur. "Aku paham, pasti menyenangkan ada wanita cantik yang menyuapimu, tapi kita punya urusan yang harus diselesaikan."

Senyum Kakashi melebar saat ia melihat wajah Hinata berubah menjadi merah sementara Sasuke mengernyit jijik. Siapa sangka kata 'cantik' bisa menyebabkan reaksi yang begitu beragam?

"Jadi, kita mulai dari mana?" pria perak itu berkata dengan penuh pertimbangan, dan Sasuke mendengus.

"Bagaimana kalau dengan tanggal eksekusiku."

"Tidak akan ada eksekusi," jawab Kakashi dengan datar, memperhatikan bagaimana bibir Sasuke berubah menjadi cemberut.

"Kau jadi lembek, Kakashi."

"Iyakah?"

"Apa yang kau inginkan dariku sebagai ganti penundaan kematianku, yang pasti sudah diinginkan oleh dewan?"

"Aku ingin kau mencoba lagi."

Raut cemberut Sasuke semakin dalam, dan mata hitamnya dengan sengaja menatap ke sebuah titik di atas bahu Kakashi.

"Mencoba... lagi."

"Ya. Di sini, di desa. Cobalah lagi."

"Pasti ada syaratnya."

"Bukan syarat. Tapi kondisi."

Dari sudut matanya, Kakashi memperhatikan Hinata yang sedikit gelisah di kursinya. Jari-jari pucatnya menggenggam tepi kotak makan siangnya yang terbuka, dan rambut panjangnya menutupi wajahnya.

Kakashi tidak perlu melihat wajahnya untuk tahu bahwa Hinata sangat tidak nyaman dengan situasi ini. Namun, jika Hinata ingin keluar, wanita itu bisa saja keluar.

Hiashi dan para tetua Hyuuga sudah membuatnya jelas bahwa Hanabi adalah pilihan yang layak untuk menggantikan Hinata. Pilihan yang bermasalah, tapi tetap saja sebuah pilihan.

"Apa kondisinya? Apa aku harus bersedia diperintah Konoha untuk melakukan pekerjaan kotor kalian?" ejek Sasuke, mengalihkan perhatian Kakashi dari Hinata.

"Ya. Sebagian dari perjanjiannya adalah kau tetap bekerja untuk Konoha sebagai shinobi yang setia."

"Dan bagaimana kau berniat memastikan kesetiaan itu? Cuci otak?"

"Tidak," Kakashi berkata, melipat tangan di dadanya. "Ada cara yang lebih sederhana untuk mengikatmu ke desa. Cara untuk memberimu sesuatu yang lebih untuk dijalani. Pernikahan."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: 2 days ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Becoming an UchihaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang