Kehidupan baru

7 1 0
                                    

Pagi ini Lana sudah disibukan dengan setumpuk pesanan yang akan diantarnya siang nanti sehabis istirahat, rencananya sore nanti ia ingin menghadiri sebuah acara bedah buku milik salah satu penulis kegemarannya. Kebetulan sekali beliau sedang melakukan tour di beberapa kota, dan hari ini jadwalnya di Yogyakarta.

Sebelumnya Lana sudah meminta izin kepada bosnya itu untuk pulang lebih awal, agar dirinya bisa menyiapkan diri sebelum menghadiri acara tersebut. Dan tentu saja Nadia memberikannya izin dengan catatan sepulang dari acara itu, ia harus menemaninya kesalah satu mall ternama di Yogyakarta.

Sesungguhnya, menghabiskan waktu dengan mengelilingi tempat itu adalah hal yang sangat Lana hindari. Selain karena ia tidak terlalu nyaman berada di tempat ramai terlalu lama, menurutnya hal itu hanya akan membuang energinya sia-sia, tapi demi bisa berjumpa dengan idolanya,ia rela menuruti permintaan bos kecilnya itu.

Iya, umur Nadia terpaut 3 tahun dibawah Lana. Oleh sebab itu Nadia selalu merasa nyaman jika berada di dekat Lana, Baginya Lana sudah seperti kakaknya sendiri, dan Lana pun sudah menganggap Nadia sebagai adiknya.
Meskipun Lana adalah seorang anak tunggal di keluarganya, tapi ia bisa memposisikan dirinya sebagai seorang kakak, karena memang dia memiliki sikap keibuan dan tentunya mandiri.

"Gila ya, lo ngaa cape apa muterin ni tempat?" Debat Lana dengan nada kesalnya.

Bagaimana tidak kesal, total sudah hampir 5 jam dirinya membuntuti kemanapun Nadia melangkah, dan itu sangat melelahkan baginya. Ditambah dengan tangannya yang mulai terasa kebas akibat banyaknya tentengan yang ia bawa dan sudah dapat dipastikan bahwa itu semua bukan miliknya.

"Bentar lagi kenapa sih, abis ini kita nonton yuk!" Beo Nadia tanpa rasa bersalah yang mendapat tatapan tajam dari sang lawan bicara.

"Enggaa, ngga ada acara nonton nonton!"

"Mending kita pulang aja yuk, gue udah cape banget demi allah ini mah Nad." nada bicaranya mulai melembut, berharap Nadia mengiyakan ajakannya.

Namun Nadia si keras kepala itu tidak dapat dibantah, akhirnya Lana pun mengalah mengikuti keinginan adiknya itu dengan ogah-ogahan.

Tepat pukul 23:45, Lana baru sampai di pekarangan kamar kostnya, untung saja dirinya membawa kunci gerbang yang sengaja diberikan ibu kost untuk berjaga-jaga jikalau penghuni kost pulang larut malam.
Sesampainya di depan pintu kamar yang ia sewa, segera dibukanya pintu itu dan masuk ke dalam ruangan 3 petak yang sebulan ini menjadi tempatnya pulang dan mengistirahatkan segala lelahnya.

Sebelum membersihkan tubuhnya, Lana memilih duduk di sebuah bean bag yang ia beli beberapa hari lalu demi menghilangkan barang sedikit  penat yang ia rasakan. Namun pikirannya malah berkelana jauh ke kejadian 5 tahun lalu, dimana dirinya sama-sama duduk di sebuah ruangan sebesar ruangan yang kini ia tempati, bedanya dulu dirinya duduk tanpa alas dan menangis meratapi nasib buruknya.

#flashback

Dibawah atap kumuh sebuah ruangan berukuran 2x3 meter itu terdengar isak tangis seorang bocah berusia 17 tahun yang sedang merenungi nasibnya, hidup sendiri di sebuah kota besar tanpa pengawasan orangtuanya.
Tidak ada sepatah katapun yang keluar dari mulutnya, namun otaknya berisik memikirkan bagaimana caranya bertahan hidup.

Jika kalian berfikir bahwa bocah itu adalah seorang yatim piatu, kalian benar.
Ayahnya sudah lama berpulang, sedangkan ibunya menyusul menghadap sang Pencipta sekitar 2 minggu yang lalu, dan penyebabnya adalah ayah sambungnya sendiri.
Dia berasal dari Bandung, memilih merantau ke jakarta seorang diri karena ayah sambungnya lebih memilih menikah dengan mantan pacarnya semasa SMA dan menelantarkannya.

Keputusannya untuk berpindah ke kota besar ini mungkin bukan keputusan yang bijak, nyatanya sekarang dirinya luntang-lantung tidak jelas, mencari sesuap nasi hanya untuk bertahan hidup.

Jakarta memang kota yang hebat, banyak perantau yang menggantungkan impiannya di kota ini, namun tidak sedikit juga menyimpan sejuta cerita miris yang tak layak diceritakan.
Persis seperti kisah Salsa kecil yang terlalu pilu untuk dikenang.

Untung saja saat itu ada keluarga yang dengan baik hatinya memungutnya dan merawatnya dengan tulus.

***

Tak terasa sebulir air lolos dari pelupuk mata Lana, dadanya sesak, bukan karena mengingat kejadian itu.
Melainkan karena menyesali alur hidupnya, mengapa hal serupa harus kembali ia rasakan? Setidak pantas itukah dirinya bahagia?
Meskipun sekarang dirinya sudah lebih dewasa, tapi tetap saja menjalani hal semacam itu lagi bukanlah sesuatu yang mudah.

"Ibu... Ayah... Salsa rindu." Lirihnya ditengah isakan yang kembali luruh.

Lana tetap menyebut dirinya Salsa, meski kini orang-orang  mengenalnya dengan nama Lana.

Karena Salsa adalah nama yang orangtuanya berikan sebagai bentuk rasa sayang mereka, meskipun nyatanya banyak sekali luka dan kesedihan dibalik nama Salsa.

Salsabila sendiri memiliki arti "mata air yang indah, atau sumber mata air yang segar".
Makna yang indah, aku baru menyadari  mengapa Salsa gampang sekali menangis, karena ternyata dirinya adalah sebuah sumber mata air yang tidak pernah kering walaupun airnya terus terbuang sia-sia.

Puas dengan tangisannya, Lana pun beranjak ke kamar mandi guna membersihkan badanya.
Tidak memerlukan waktu lama untuk menyelesaikan ritual mandinya, dia keluar dengan balutan busana tidur yang sederhana menuju kamar tidurnya untuk mengistirahatkan tubuh dan otaknya yang cukup lelah malam ini.

Sebelum matanya tertutup, Lana memutuskan untuk mengecek ponsel yang seharian tidak disentuhnya, selain untuk merekam beberapa footage idolanya tadi siang. Jarinya lihai menggeser layar benda persegi panjang itu, mencari aplikasi chatting yang sering ia gunakan.
Senyumnya seketika mengembang mendapati sebuah pesan yang lama ia nantikan.

Frasa🐣:

Sal, lo aman kan? Kalo udah ngga sibuk hubungin gue pliiiis. Jangan buat gue khawatir🥺

"Dih, emotnya apaan banget dah." Kekehnya seraya mengklik icon telpon yang ada di atas kanan layar handphonenya

Seketika munculah gambar seorang pria yang pesannya baru saja ia baca, sekarang keduanya sudah terhubung dalam panggilan video.

Hai jelek
(Sapa hangat seseorang disebrang sana)

Hai juga tengil

Mata lo sembab, makin jelek

Keliatan ya?
Padahal udah cuci muka tauu

Jangan sedih mulu,
Kalo sampe gue tau kerjaan lo cuma mewek disana, gue susulin lo biar balik lagi ke Jakarta.

Jangan gila luu!
Kuliah yang bener sono!

Iye bawel ah,
Nyesel gue chat lo.

Begitulah kira-kira interaksi dua sejoli yang saling memendam rasa satu sama lain itu ketika bertukar kabar.
Selalu berusaha saling memahami tanpa menghakimi.
Terlalu asyik dengan obrolan recehnya, tanpa sadar mata Lana mulai memberat dan untuk pertama kalinya selama di Jogja ia bisa terlelap tanpa meminum pil tidurnya.

***

Author be like : senyaman itu ya Lan, jadian aja sih kata gua mahh☺

Hai, heheh
Semoga suka ya, maaf kalo masih berantakan, masih belajar soalnya.

Ikuti terus perjalanan Lana ya, karena akan banyak plot twist yang lebih seru kedepannya.

Terima kasih 💕

BerkeLANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang