"Enak-enak aja ya kamu pulang setelat ini dan mengabaikan kerja di rumah? Kemana lagi kamu?!" Teriak Lidya, sang ibu tiri membuatkan Bulan mengeluh. Tidak terlalu telat. Jam baru sahaja menunjukkan jam 5 sore. Dia dan Haidar sempat berjalan-jalan ke minimarket untuk membeli jajan.
"Ga telat kok. Baru masuk jam 5," jawab Bulan kesal.
"Ahh! Kamu sepatutnya sampai di rumah selewat-lewatnya jam 3! Kamu kemana sih?!" Bulan menarik dan menghembus napasnya pelan.
"Tante... Emang tante itu siapa mau ngatur-ngatur hidup aku? Apa tante khawatir kalo aku kenapa-napa? Bukankah itu yang tante maukan? Iyakan?" Lydia memandang Bulan tajam.
"Kamu keluar dengan cowo itu lagi ya?! Benerkan?! Jauhin diri dari cowo itu!" Bulan mendengus. Dia memandang ke lantai atas dengan tatapan tajam dan kesal. Ditujui kepada kakak tirinya, Alana.
"Kenapa sekarang malah nyuruh-nyuruh aku buat jauhin orang? Itu hak aku untuk dekat dan jauh dengan siapa. Tante engga ada hak buat ngelarang aku!" Buat pertama kalinya Bulan meninggikan suaranya seperti itu di depan Lydia.
"Apa karena cowo itu kamu jadi berani begini sama saya?!" Ucap Lydia dengan nada yang tidak kalah tingginya.
"Tante jangan nuduh yang engga engga ya. Tante bahkan ga kenal sama dia tapi udah nuduh yang bukan-bukan!" Tidak sempat menghalang, pipi Bulan ditampar kuat oleh tangan wanita itu sehingga kepalanya menoleh ke samping.
"Masak siang buat kita! Saya dan putri saya laper!" Lydia pergi meninggalkan Bulan yang masih berdiam diri disitu.
Tangannya digenggam disisi tubuhnya. Setitis air matanya jatuh dari tubir mata. Perasaan kesal, sedih dan marah bercampur aduk menjadi satu.
"Kalian tunggu saja saatnya tiba. Bahkan jika kalian memohon kepadaku, kalian hanya sekadar dua bakteri yang tidak terlihat apapun dengan mata kasar," bisik Bulan kepada dirinya sendiri. Dia benar-benar menyimpan dendam kepada dua orang asing di rumah itu. Orang asing yang hanya menumpang dan tidak tau diri bahkan berani untuk menghalau pemilik rumah itu.
"Ah! Jadi tidak sabar menunggu saat itu."
***************
"Jangan lupa malam besok ya, Haidar. Jangan malu-maluin bunda sama ayah lagi," Haidar meletakkan garpunya dan mengunyah pelan.
"Makan. Jangan banyak ngomong," Haidar mengeluh. Bundanya terlalu memaksanya menerima perjodohan itu. Padahal sejak pertama kali mereka mengatakan perjodohan itu, Haidar telah menolaknya.
Haidar melihat ke ayahnya yang tengah makan. Dimas tersenyum kecil. "Udah. Kamu ikutin aja ya?" Haidar mengangguk kecil.
"Pa.. Kamu kenapa sih? Sejak awal kamu kayak ga mau nerusin ini? Apa kamu ga mau ada hubungan keluarga dengan Radi? Dia temen kita loh?"
"Bukan gitu sayang... Bukan aku tidak mau menerima. Tapi itu juga untuk masa depan Haidar. Aku ga mau maksa dia buat ngikut kemahuan kita. Gimana kalau mereka tidak bahagia? Itu bukan masalah bagi kamu?" Haidar hanya diam. Dia meneruskan makan. Dia hanya mampu mendengar tanpa membalas. Bundanya seorang yang keras kepala dan tidak akan pernah setuju dengan kemahuannya.
"Kok kamu malah ngomong gitu sih? Kamu doain supaya mereka ga bahagia. Gitu?" Tanya Maria tidak percaya.
"Engga. Kan aku bilang aja. Mereka berdua berhak untuk memilih jalan kehidupan mereka sendiri," Dimas berusaha menyadarkan istrinya.
"Freya milih Haidar. Udah kan? Dia udah milih jalan kehidupannya."
"Tapi Haidarnya nolak. Kamu saja yang langsung menerima perjodohan itu tanpa berbincang dengan kita dulu," Haidar meminum airnya. Makanannya belum habis tapi seleranya sudah tiada. Melihat kedua orang tuanya berantem di depan matanya seperti itu. Dia bangun dari duduk membuatkan kursinya mengeluarkan bunyi geseran yang kuat.
KAMU SEDANG MEMBACA
ARSHADHIYA || LEE DONGHYUCK
Teen Fiction"Lo udah punya pacar ga? Takutnya pacar lo cemburu liatin gue ngomong sama lo terus."-Chaesa Dhiya Bulan "Pacaran itu membosankan, kita temenan aja dan bersikap seperti lagi pacaran."-Haidar Arshaka Devan Temanan tapi bersikap seperti pacaran? Adaka...