Langit semakin mendung, seperti meresapi ketegangan yang ada di dalam rumah keluarga Halilintar. Terdengar suara angin yang mendesir di luar, memantul di jendela besar yang terbuka sedikit. Amato berdiri di tengah ruang tamu, ekspresinya keras dan marah. Tangannya terkepal erat, tubuhnya tegap, seolah siap untuk menghantamkan amarahnya lebih lanjut.
"Kamu pikir kamu bisa lolos begitu saja, Halilintar?" suara Amato bergetar karena kemarahan, menembus keheningan yang mencekam.
Halilintar, yang masih kecil dan tidak mengerti, hanya bisa menatap ayahnya dengan mata yang dipenuhi ketakutan. Dia ingin menjelaskan, tapi kata-kata tersebut tersangkut di tenggorokan. Usianya yang baru tujuh tahun membuatnya merasa kecil di hadapan Amato yang lebih besar dan lebih kuat.
"H-hali... Hali tidak bermaksud begitu, Ayah..." suara Halilintar bergetar, tubuh kecilnya gemetar karena rasa takut yang merayap.
Tapi Amato, yang sudah kehilangan kesabarannya, tidak memberi kesempatan untuk Halilintar berbicara. "Diam! Kau hanya membuat semuanya lebih buruk. Kau tahu betapa berbahayanya apa yang kau lakukan?!" teriaknya lagi, matanya menyala marah.
Perkataan Amato itu seperti petir yang menghantam tubuh Halilintar, menghancurkan semangatnya. Dia tidak mengerti apa yang salah. Hanya karena kesalahan kecil—sebuah kecelakaan yang melibatkan alat kerja ayahnya—Amato menganggapnya sebagai sebuah kesalahan besar. Sebuah eksperimen yang gagal, dan semua kesalahan itu dijatuhkan pada bahu Halilintar. Anak kecil itu hanya ingin membantu, namun hasilnya malah berujung pada amarah sang ayah.
Aisyah, yang berdiri di dekat pintu, hanya bisa menghela napas panjang. Dia tahu betul betapa kerasnya hati suaminya. Jika Amato sudah marah, tak ada yang bisa menghentikannya. Namun, sebagai seorang ibu, Aisyah tak bisa membiarkan hal ini berlanjut.
"Amato, mungkin ini hanya kesalahpahaman. Halilintar tidak bermaksud begitu..." Aisyah mencoba berbicara dengan lembut, berharap suaminya bisa sedikit meredakan amarahnya.
Amato, yang seperti tidak mendengar kata-kata istrinya, membalas dengan nada yang lebih keras. "Aisyah, ini bukan waktunya untuk membela dia! Kau tahu betapa seriusnya ini!"
Suara Amato yang menggema memenuhi ruang tamu, menambah ketegangan. Taufan, Blaze, dan Thorn yang biasanya penuh energi dan sering membuat keributan, kali ini hanya berdiri di sudut ruangan, menatap dengan mata penuh ketakutan. Mereka tahu betul bahwa kali ini, situasinya lebih serius dari yang mereka kira. Walaupun mereka masih anak kecil lagi. Mereka tahu situasi tegang ini dan betapa kerasnya hati ayah mereka.
Gempa, yang selalu berusaha untuk tetap tenang, berdiri di belakang mereka, lebih memilih untuk diam dan tidak terlibat. Meskipun hatinya merasa sesak, dia tahu bahwa mencoba menghentikan Amato saat seperti ini hampir tidak mungkin.
Di sudut ruang tamu, Ice yang biasanya penuh dengan tawa dan candaan, malah tertidur di sofa. Seperti tidak ada yang mengganggunya, dia sama sekali tidak menyadari ketegangan yang menguasai rumah itu. Solar, yang duduk di kursi dekat jendela, hanya memandangi keadaan dengan penuh perhatian. Dia merasa ada sesuatu yang salah, namun dia tidak bisa mengungkapkan apa yang dirasakannya. Melihat begitu hatinya terasa sakit dan sedih atas nasib Halilintar.
Amato menatap Halilintar dengan tajam. "Kamu harus belajar dari kesalahanmu, Halilintar. Dan aku akan memastikan kau tidak akan mengulanginya lagi." Suara Amato penuh dengan ancaman.
Seketika, Amato melangkah maju dan tanpa peringatan, menampar pipi Halilintar dengan keras. Suara tamparan itu seperti dentingan lonceng yang memecah keheningan. Halilintar jatuh tersungkur ke lantai, wajahnya merah karena rasa sakit fisik yang ditimbulkan, namun yang lebih menyakitkan adalah rasa hancur dalam hatinya. Air mata mulai mengalir di pipinya, namun dia menahan tangisnya, berusaha untuk tetap kuat. Dia tahu, menangis tidak akan mengubah apa pun.
"Hali... Hali minta maaf, Ayah..." suaranya hampir tidak terdengar, teredam oleh tangis yang ditahan-tahan.
Tapi Amato tidak peduli. Di matanya, ini adalah cara mendisiplinkan anaknya. Tanpa melihat hal lain, ia beranggapan bahwa ia sedang melakukan yang terbaik untuk Halilintar dengan cara yang keras.
Aisyah, yang tidak tahan melihat keadaan putranya, segera berlari mendekat. Dia ingin menghentikan suaminya, tapi Amato mengangkat tangannya untuk menghentikannya.
"Jangan ikut campur, Aisyah. Ini urusanku dengan dia," kata Amato dengan suara tegas yang penuh perintah.
Aisyah mendekat ke Halilintar yang terjatuh tanpa memperdulikan Amato, tangannya terangkat perlahan mengusap kepala anaknya dengan lembut, mencoba menenangkan hati putranya yang hancur. "Maafkan Ayahmu, Hali... dia hanya sedang tertekan," kata Aisyah dengan lembut, berusaha memberi sedikit penghiburan pada anaknya.
Halilintar hanya bisa terdiam. Dia merasa kesal dan bingung, tetapi hatinya hancur karena harus menerima perlakuan seperti itu dari ayahnya sendiri. Kesalahan yang tidak dia buat malah berujung pada kekerasan.
Saat Amato akhirnya keluar dari ruangan dengan langkah cepat dan keras, meninggalkan kekosongan yang mendalam, Aisyah tetap berada di sisi Halilintar. Dia berusaha menghibur anaknya, meskipun tahu tak mudah bagi Halilintar untuk menghapus luka emosional yang baru saja dia alami.
Taufan, Blaze, dan Thorn memandang dengan rasa bersalah. Mereka tahu, mereka tidak bisa berbuat banyak. Mereka hanya berharap, suatu hari nanti, mereka bisa membantu saudaranya melewati masa-masa sulit ini.
Dengan perasaan hancur yang mendalam, Halilintar hanya bisa duduk diam di lantai, merasakan betapa beratnya beban yang harus ditanggungnya. Dia tahu, tidak ada yang bisa mengubah kenyataan ini. Namun, dia juga tahu, meskipun Amato adalah ayahnya, dia tetap berhak untuk merasa dicintai. Mungkin suatu hari, ayahnya akan melihatnya bukan hanya sebagai kesalahan, tapi sebagai anak yang berharga.
_________________________________________
![](https://img.wattpad.com/cover/379880814-288-k801797.jpg)
YOU ARE READING
SISA HUJAN LUKA [on going]
Mystery / ThrillerCtass! Ctass! Ctass! "Ayah, sakit Yah, badan Hali sakit..hiks..hiks!" Bugh! "Akhh!" Suara jeritan kesakitan terkeluar begitu sahaja dari mulut anak kecil itu. Dirinya ditendang oleh orang yang dia sayang tanpa terbesit sedikit pun rasa bersalah dala...