Ketika bel sekolah berbunyi, siswa-siswi bergegas keluar dari kelas mereka, memenuhi gerbang sekolah. Di antara kerumunan, terlihat enam bersaudara Halilintar; Taufan, Solar, Blaze, Thorn, Gempa, dan Ice, yang sedang berdiri menunggu di dekat gerbang, berharap bisa pulang bersama. Mereka berdiri agak terpencar, masing-masing tampak cemas dan sedikit bingung.
"Ayah bakal jemput lagi hari ini. Tapi... kenapa Halilintar nggak boleh ikut?" Soal Taufan yang sedang melihat ke arah jalan.
"Entahlah. Aku nggak ngerti kenapa Ayah kayak begitu sama Kak Hali. Padahal, kalau ada yang paling berhak ikut mobil, itu pasti Kak Halilintar." Solar menghela nafas.
Blaze memandang ke arah Taufan "Iya, apalagi kan dia yang paling tua di antara kita. Ayah nggak pernah mau jelasin apa salah Kak Hali."
"Aku kasihan sama Kak Halilintar. Dia selalu jalan kaki sendirian. Kalau kita bisa ngomong sama Ayah tentang ini... tapi aku takut." Kata Gempa dengan nada lirih.
Sejenak, semua terdiam, masing-masing memikirkan tentang perlakuan ayah mereka kepada Halilintar. Mereka semua mencintai kakak sulung mereka, namun kehadiran Amato yang dominan selalu membuat mereka ragu untuk angkat suara.
Tak lama kemudian, suara klakson mobil terdengar, dan Amato melambai dari dalam mobil, memanggil mereka.
"Cepat masuk! Kalian mau sampai malam di sini?"
Anak-anak itu saling pandang, ragu sejenak, namun akhirnya mereka masuk satu per satu ke dalam mobil tanpa berkata apa-apa. Di dalam mobil, suasana menjadi hening. Tidak ada yang berani memulai percakapan, tapi pikiran mereka semua tertuju pada Halilintar yang mereka tinggalkan di sekolah. Taufan, yang duduk paling dekat dengan kursi depan, akhirnya memberanikan diri untuk bicara.
"Ayah, kenapa Kak Halilintar nggak boleh pulang saja sama kita?"
Amato melirik sekilas ke arah kaca spion, pandangannya tajam dan dingin.
"Taufan, ini bukan urusanmu. Halilintar bisa pulang sendiri. Dia sudah cukup besar untuk itu." Ucap Amato dengan tegas.
Solar mula mengangkat suara dengan sedikit ragu karena takut akan menimbulkan kemarahan Ayahnya "Tapi Ayah, bukannya Halilintar juga bagian dari keluarga ini? Kenapa dia selalu diperlakukan beda?" Soalnya.
Amato menghela napas dengan frustrasi, mencoba menahan amarah yang mulai muncul.
"Kalian tidak mengerti. Halilintar... dia berbeda dengan kalian. Dia harus belajar menghadapi dunia dengan caranya sendiri."
Blaze yang tidak tahan lagi membuka suara "Tapi Ayah, apa salahnya kalau dia pulang bersama kita? Dia kan kakak kami."
Amato mengepalkan tangan di setir, tanda bahwa dia semakin kesal. Anak-anak di belakang mulai merasa gentar, tapi rasa sayang mereka pada Halilintar lebih besar dari rasa takut yang mereka rasakan.
"Dengarkan aku baik-baik. Kalian masih terlalu kecil untuk memahami ini. Halilintar punya tanggung jawab berbeda. Aku melakukan ini untuk kebaikan kalian semua."
"Tapi Ayah, aku nggak ngerti... kenapa Ayah harus begitu keras sama Kak Hali?" Soal Thorn.
Amato memejamkan mata sejenak, mencoba meredam emosi yang berkecamuk di dalam dirinya. Setiap kali dia mendengar nama Halilintar, ada bayangan masa lalu yang menghantuinya, bayangan yang membuatnya tak bisa bersikap adil kepada anak sulungnya.
Dengan nada pelan tapi tegas "Sudah cukup. Aku tidak ingin ada yang membicarakan ini lagi. Halilintar bisa mengurus dirinya sendiri."
Anak-anak hanya bisa saling pandang, tak berani membantah lagi. Namun, di dalam hati mereka masing-masing, ada kekecewaan dan kebingungan yang mendalam. Mereka tidak paham mengapa ayah mereka memperlakukan Halilintar dengan begitu dingin, dan bahkan kata-kata ayah mereka pun tidak memberikan penjelasan yang cukup.
"Kasihan Kak Hali, dia pasti merasa kesepian." Bisik Ice pada Gempa.
Gempa mengangguk tanda setuju dengan adik keduanya itu "Iya... aku pengen banget bantuin dia, tapi aku nggak tahu harus gimana."
Mendengar bisikan itu, Taufan merasa terdorong untuk mengambil tindakan. Setelah beberapa menit dalam hening, ia memberanikan diri untuk bicara lagi.
"Ayah, kami cuma ingin tahu... apa kami bisa membantu Kak Halilintar? Dia nggak pernah mengeluh, tapi aku yakin dia sedih."
Amato akhirnya menepikan mobil di pinggir jalan, memutar tubuhnya untuk menghadapi anak-anaknya. Wajahnya penuh dengan kelelahan dan kegetiran.
"Kalian tidak mengerti... Halilintar bukan seperti kalian. Ada sesuatu dalam dirinya yang... berbeda. Dan jika kalian mencampuri urusan ini, kalian hanya akan membawa masalah untuk diri kalian sendiri."
"Tapi Ayah, bukannya sebagai keluarga, kita harus saling mendukung?" Soal Solar.
Amato terdiam, tatapannya tajam namun juga tampak ada beban yang sulit ia jelaskan. Akhirnya, ia menghela napas panjang, seolah sedang mempertimbangkan sesuatu yang sangat berat.
"Dengarkan baik-baik. Aku hanya ingin melindungi kalian dari sesuatu yang mungkin tidak kalian pahami. Halilintar... dia... dia bukanlah seperti yang kalian pikirkan."
Blaze yang mendengar perkataan Ayahnya itu mengernyit bingung "Apa maksud Ayah? Apa yang salah dengan Kak Hali?"
"Dia terlalu mirip dengan seseorang... seseorang dari masa lalu yang... yang seharusnya tidak perlu kalian ketahui."
Anak-anaknya terdiam, mereka tahu bahwa percakapan ini telah menyentuh bagian yang sangat sensitif dalam diri ayah mereka. Namun, kata-kata itu justru menambah rasa penasaran dan kekhawatiran dalam diri mereka.
"Masa lalu Ayah? Siapa maksud Ayah?" Soal Taufan menginginkan jawapan dari Ayahnya itu.
Amato menatap Taufan dengan ekspresi yang sulit diartikan, lalu akhirnya ia kembali menatap ke depan, menyalakan mesin mobil tanpa menjawab pertanyaan Taufan.
"Kalian akan tahu saat waktunya tiba. Tapi untuk sekarang, jangan tanyakan lagi. Dan jangan pernah membicarakan ini pada Halilintar."
Suasana di dalam mobil kembali sunyi. Anak-anak hanya bisa memandangi satu sama lain, berusaha memahami maksud ayah mereka yang terasa penuh dengan misteri. Meskipun demikian, satu hal yang pasti: perasaan mereka terhadap Halilintar tetap sama, dan mereka bertekad untuk mendukung kakak sulung mereka, apa pun yang terjadi.
Ketika mereka sampai di rumah, Amato turun lebih dulu tanpa berkata apa-apa, meninggalkan anak-anak di dalam mobil. Begitu ia masuk ke dalam rumah, mereka saling pandang dan segera berkumpul di ruang tamu.
Solar berbisik "Ayah jelas menyembunyikan sesuatu... sesuatu yang besar tentang Kak Hali."
"Aku juga pikir begitu. Kalau cuma soal perlakuan biasa, Ayah pasti nggak akan bertindak seaneh ini." Kata Taufan.
"Tapi gimana caranya kita bisa tahu apa yang terjadi? Ayah nggak akan pernah bilang, kan?"
Thorn berbisik sambil menatap saudara-saudaranya "Mungkin... mungkin kita bisa tanya sama Ibu. Siapa tahu Ibu tahu lebih banyak."
"Iya! Ibu selalu lebih lembut dan pengertian. Kalau kita minta dengan baik, mungkin dia mau cerita." Tambah Ice yang setuju dengan Thorn.
Mereka akhirnya sepakat untuk mendiskusikan hal ini dengan ibu mereka pada kesempatan yang tepat. Meskipun mereka tahu bahwa apa yang mereka lakukan bisa saja menimbulkan masalah dengan ayah mereka, rasa sayang dan perhatian mereka kepada Halilintar lebih kuat daripada ketakutan yang mereka rasakan.
Gempa menepuk pundak Taufan "Aku setuju, kita harus cari tahu, demi Kak Hali. Dia pasti membutuhkan kita, walaupun dia tidak pernah bilang."
Dengan keputusan itu, mereka bersumpah di dalam hati untuk terus mendukung kakak mereka dan mencari tahu kebenaran yang selama ini disembunyikan oleh ayah mereka. Apa pun yang akan mereka temukan, mereka siap menghadapi semuanya demi keluarga dan demi Halilintar.
![](https://img.wattpad.com/cover/379880814-288-k801797.jpg)
YOU ARE READING
SISA HUJAN LUKA [on going]
Mister / ThrillerCtass! Ctass! Ctass! "Ayah, sakit Yah, badan Hali sakit..hiks..hiks!" Bugh! "Akhh!" Suara jeritan kesakitan terkeluar begitu sahaja dari mulut anak kecil itu. Dirinya ditendang oleh orang yang dia sayang tanpa terbesit sedikit pun rasa bersalah dala...