Jeritan para tamu, seketika senyap. Menyisakan Im Sol yang membeku di tengah aula mewah, dengan balutan gaun indah berenda bunga yang timbul di bagian atas.
Napasnya tercekat, maniknya membulat menatap tubuh tak bernyawa yang terkapar di lantai. Buliran air asin meluncur begitu saja, saat darah segar mengalir deras ke arah kakinya.
Seluruh tubuhnya bergetar seakan tak percaya, menyaksikan kematian semua orang yang tadi tampak sangat bahagia dengan segelas anggur di tangan mereka.
Suara tawa yang sempat menggema saat dirinya hampir mati di tengah aula, sirna ditelan keheningan raga yang lebih dulu tenggelam di genangan darah mereka sendiri.
Kakinya lemas saat melihat tiga lelaki bersenjata, semakin mendekat dengan beberapa orang di belakang mereka yang tetap berdiri di posisi masing masing.
Seolah tidak peduli dengan keberadaan mereka, ia menunduk lemah dan menggelengkan kepalanya, berharap pusing yang dirasakan saat ini sedikit berkurang. Berusaha menjaga tubuhnya tetap seimbang, saat mengambil sepatunya yang sempat terlepas.
Langkah Im Sol tertatih, saat menuju lift. Melewati genangan darah tanpa menghiraukan seseorang yang sejak tadi berdiri di ujung sana, sedang menunggu dan melihat semuanya dari awal. Ia menyesal tidak memilih mati terlebih dahulu, sebelum menyaksikan kejadian tragis hari ini.
Mengulurkan tangan kanannya yang gemetar, Im Sol tertegun saat sebuah tangan lebih dulu menekan tombol dan menariknya masuk ke dalam lift.
Manik Im Sol membulat saat mengetahui, siapa lelaki bersetelan jas hitam yang masih menggenggam tangannya dengan erat. Netranya terus menatap tanpa berkedip, seakan takut wajah tampan itu akan menghilang jika ia melakukannya.
Merasa diperhatikan, lelaki yang sedang menekan tombol lift menuju rooftop itu melihat kearah tangan dan wajah Im Sol secara bergantian. Ia berdeham singkat saat melepas genggamannya secara perlahan, menyandarkan punggungnya di sisi sebelah tombol lift dan menatap Im Sol di hadapannya.
Kesunyian, menyelimuti keduanya.
.
.
.
"Lupakan apa yang terjadi hari ini. Berpura-puralah tidak melihat apapun."
.
.
Suara itu,
Keheningan yang begitu lama, akhirnya terpecahkan oleh suara berat yang sangat ia rindukan.
Maniknya seolah terpaku, tidak peduli dengan penampilannya yang sangat tidak layak untuk dilihat. Bercak darah orang lain memenuhi gaun peachnya, rambut berantakan dan makeup yang sudah luntur terhapus air mata. Berbanding terbalik dengan setelan jas mewah lelaki itu yang tidak terlihat sedikitpun noda.
"Jadi, ini masa depan yang kau maksud tidak akan menjadi pengangguran, Ryu Sunjae-ssi?"
Hilang. Senyuman yang dulu pernah menghiasi wajah tampan Sunjae, setiap kali menghadapinya. Hilang.
Hanya suara napas Sunjae yang terdengar di telinganya, setelah pintu lift terbuka.
"Jika hidupmu ingin kembali normal setelah melihat kematian mereka, sebaiknya kau jauh kan dirimu dari kehidupanku. Pilihan ada di tanganmu. Pergilah."
Kalimat terakhir yang terdengar di telinganya saat Sunjae menekan tombol lift lantai satu sebelum keluar dari sana, membuat air mata yang tertahan di matanya jatuh perlahan dan semakin deras saat melihat punggung Sunjae menjauh, mendekati helikopter yang sempat terlihat sebelum pintu lift tertutup sepenuh nya.
.
.
"Mimpi. Ini mimpi. Aku akan segera terbangun. Ini hanya mimpi." Im Sol bergumam berulang kali tanpa menghentikan tangisnya.
VÆLGE
Terimakasih, sudah membaca cerita ini yaaa 🤗
💛 Let's be happy 💙
Rj
21.11.2024
KAMU SEDANG MEMBACA
VÆLGE
FanfictionImsol x Sunjae Kim Hyeyoon Byeon Wooseok VÆLGE Lovely Runner Alternative Univers