Masih segar di ingatan perkataan Mila beberapa hari lalu. Dan masih saja membuat bulu kuduk saya tegak setiap kali mengingatnya secara tidak sengaja.
"Mas Bian, itu tadi ada mbak-mbak dateng bawain sesuatu, kayaknya sih bekal, tadi saya nggak sengaja ngintip dikit, hehe. Abisnya penasaran."
Saya baru saja kembali dari toilet. Sesuai informasi dari Mila, saya memang melihat ada sebuah paper bag menghuni meja kasir, dan sudah pasti mbak-mbak yang gadis itu maksud adalah Rumi. Sejak surat perjanjian itu kami tanda tangani, dia memang sangat taat, tidak pernah absen mengirimi saya bekal, dan menu yang dia sajikan pun sangat beragam setiap hari. Saya tidak tahu apa yang dia lakukan dan sebanyak apa waktu yang dia miliki, dan tentu saja rasa masakannya tetap tidak bisa menandingi kehebatan tangan Ibu, tapi ya, kerja kerasnya layak diapresiasi.
Saya memeriksa sekilas isi paper bag sebelum kalimat horor itu keluar dari mulut Mila.
"Mas Bian, jujur saya kaget lho," katanya—sebuah intro sebelum mencapai momen jumpscare.
Saya hanya memberi isyarat lewat tatapan mata agar dia meneruskan apa yang ingin dia katakan.
"Saya pikir Mas Bian belum nikah, soalnya masih kelihatan muda banget. Ternyata udah beristri toh, mana istrinya cantik lagi. Nikah muda ya, Mas?"
Saya nyaris tersedak.
"Ya, gapapa juga sih, Mas, nikah muda," lanjutnya tanpa menyadari betapa merindingnya saya mendengar penuturannya itu. "Kalau udah ngerasa klop, ya ngapain pacaran lama-lama kan? Ntar malah disalip orang lain lagi, kan rug—"
"Cukup, cukup," saya mengacungkan telapak tangan demi menghentikan asumsi konyol itu semakin melebar ke mana-mana. Sementara tangan satunya memijit pangkal hidung. Ada apa dengan orang-orang? Pertama Ben, lalu Mila. Tapi daripada Ben, yang satu ini jauh lebih sinting. Istri? Menikah? Bagaimana bisa kseimpulan liar itu terbit di dalam kepala gadis ini?
"Dia bukan istri saya, saya belum menikah." Argh, bahkan rasanya mulut saya menolak memberi klarifikasi atas asumsi tak masuk akal yang tak seharusnya saya terima.
"Loh, bukan istri toh? Kalau gitu, pacar, Mas?"
Saya menghela napas panjang seraya menjatuhkan pantat di kursi plastik. "Bukan juga."
"Gebetan?"
Saya melempar tatapan muak yang segera direspon dengan mengatupkan mulut oleh gadis itu.
~
Perihal pandangan orang lain terhadap seseorang yang lain, memang sulit untuk dikendalikan. Tidak akan bisa diserempakkan sebagaimana kita ingin dilihat atau sebagaimana kenyataan yang paling kita anggap nyata dari diri kita. Saya tidak bisa melarang Ben atau pun Mila berpikiran nyeleweng perihal keterkaitan saya dengan Rumi. Pacar, gebetan, bahkan ... istri? Itu terlalu liar bagi saya, tapi mungkin wajar bagi mereka. Bebas, terserah. Tapi, saya selalu punya ranah untuk meluruskan dan pada akhirnya memaksa mereka untuk berjalan di garis yang seharusnya.
"Kayaknya kita harus revisi poin-poin di perjanjian kita, Rum." Saya melempar plastik es kelapa—yang hanya menyisakan es batu—ke tong sampah.
"Nggak usah kebanyakan ide deh," balas Rumi tanpa memalingkan fokusnya dari sketchbook berukuran A5 di pangkuannya. "Stop rewel, Bi, kita udah sepakat dan poin-poin itu udah yang paling oke."
Siang ini dia tidak membuatkan saya bekal. Sebagai gantinya, dia menyeret saya ke tukang kunci untuk membuat kunci rumah duplikat—sesuai ketentuan nomor 7 di perjanjian kami—dengan dalih mentraktir makan siang di luar sebagai bentuk pertanggungjawaban atas absennya menjalankan kewajiban. Dia memang agak licik dan punya seribu satu cara untuk mewujudkan keinginannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nona dan Tuan Kesepian
RomanceKehidupan Bian berubah total setelah dering telepon sore itu membawa kabar bahwa kakak laki-lakinya, Ragi, telah melakukan aksi bunuh diri di kamar asramanya. Semakin kacau ketika bapaknya segera menyusul kepergian Ragi tepat setelah dering telepon...