Author notes :
Tinggalkan jejak temen-temen sebagai readers dengan tekan bintang dan berikan komentar baik dan santun!! terima kasih!!
(Del Luna)
***
Happy reading
.·:*¨༺ ༻¨*:·.
udah beberapa minggu berlalu sejak percakapan terakhir aku dan Mirasha di bawah pohon besar. Hari-hari yang aku lewati terasa sedikit lebih ringan, meski setiap langkah yang masih dihadang oleh kerikil-kerikil kecil yang tak kunjung habis. Mirasha tetap setia di sisiku, seperti sinar lembut di tengah malam yang gelap. Meski aku tak bisa sepenuhnya melupakan rasa sakit dan keraguan yang menghantui, aku merasa lebih kuat dengan kehadiran temannya itu.
Namun, di balik senyuman kecil yang mulai aku tunjukkan, masih ada perasaan ragu yang terus mengendap dalam diriku.
Apakah kebahagiaan kecil ini akan bertahan lama?
Atau hanya sekadar ilusi yang perlahan akan sirna?
Di sekolah, aku dan Mirasha sering duduk bersama saat istirahat, berbicara tentang hal-hal ringan-mimpi, masa depan, atau sekadar berbagi cerita lucu. Meski aku dikenal sebagai anak yang pendiam, aku selalu berusaha bersikap ramah, walaupun hati ini tetap menyimpan banyak kesedihan. Sebaliknya, Felixa, teman sekelasku, adalah sosok yang selalu membuat aku penasaran. Gadis itu terkenal pendiam dan misterius, yang jarang sekali mengungkapkan isi hatinya, namun kehadirannya di kelas begitu memikat banyak orang. Tak terhitung berapa teman yang diam-diam mengaguminya, meski tak satu pun merasa benar-benar dekat dengannya.
Aku seringkali diam-diam mengamati Felixa dari kejauhan. Gadis itu selalu tampak tenang, seperti menyimpan dunia lain dalam pikirannya yang tak tersentuh siapa pun. Sifatnya yang sulit ditebak membuatnya seakan memiliki dinding tak kasat mata, sehingga meskipun banyak yang ingin mengenalnya, tak seorang pun bisa menembusnya.
Suatu siang, saat aku dan Mirasha duduk di bangku taman sekolah, Mirasha menoleh ke arahku dan berkata, "Ji, kamu pernah kepikiran soal masa depan gk? Kamu ingin jadi apa?"
Aku terdiam sejenak, menatap jauh ke depan. Masa depan? Kata itu terdengar asing bagiku, seolah masa depan hanyalah sebuah bayangan yang kabur dan sulit diraih.
"Aku... aku gk tahu, Mirasha," jawabku dengan nada pelan. "Kadang, aku merasa seperti hanya berjalan tanpa tujuan. Seolah setiap langkahku hanya untuk menghindari rasa sakit yang ada di belakangku."
Mirasha tersenyum lembut, namun matanya menyiratkan keprihatinan. "Mungkin, kamu hanya perlu menemukan sesuatu yang bisa membuatmu merasa hidup, Ji. Kita semua punya luka, tapi itu bukan alasan untuk berhenti melangkah, kan?"
Kata-kata itu menggema di benakku. "Merasakan hidup." Mungkin Mirasha benar, mungkin ada hal-hal di dunia ini yang bisa memberiku harapan, meski hanya kecil. Tapi di mana aku harus mencari itu? Bagaimana jika kebahagiaan itu tak pernah aku temukan?
───※ ·❆· ※───
Beberapa hari kemudian, di kelas, Mr. Syafaat mengumumkan sebuah proyek kelompok yang harus diselesaikan dalam waktu tiga minggu. Proyek itu membutuhkan kerjasama seluruh kelas, membentuk kelompok-kelompok kecil yang akan bekerja bersama.
"Saya berharap kalian bisa berkolaborasi dengan baik," ujar Mr. Syafaat dengan nada optimis. "Ini bukan hanya soal nilai, tapi juga soal bagaimana kalian bisa saling mendukung dan belajar bersama."
Aku merasa gugup. Aku tahu bahwa proyek kelompok berarti harus berinteraksi lebih dekat dengan teman-teman sekelas, sesuatu yang selama ini aku hindari. Tapi kali ini, ada rasa berbeda yang muncul dalam diriku-keinginan untuk mencoba. Mungkin, ini kesempatan untuk melihat dunia dengan cara yang lain.
Setelah pembagian kelompok selesai, aku mendapati jika aku berada dalam kelompok yang sama dengan Felixa, sosok misterius yang selama ini diam-diam membuatku penasaran. Felixa jarang berbicara, bahkan pada teman-teman sekelasnya. Sering kali, aku hanya bisa menebak isi pikirannya dari tatapan dalam yang selalu sulit diterjemahkan.
"Mungkin ini saatnya aku berhenti melihatnya sebagai sosok yang jauh dari jangkauan. Dia sama seperti kita semua... hanya saja dia tak pernah membuka diri," pikirku, mencoba menenangkan diri.
Selama proyek berlangsung, aku berusaha mengumpulkan keberanian untuk berbicara dengan Felixa dan teman-temannya. Aku mulai bertanya, berdiskusi, dan mencoba mendengarkan pendapat mereka. Meski awalnya terasa canggung, lambat laun aku mulai merasa nyaman, meski rasa ragu masih menyelinap sesekali.
Suatu sore setelah rapat kelompok selesai, Felixa menghampiriku yang sedang membereskan buku-bukunya di bangku belakang kelas. Wajah Felixa seperti biasa, tenang dan sedikit tertutup, namun kali ini ada kilatan hangat yang berbeda di matanya.
"Jihan... terima kasih untuk bantuannya," ucap Felixa, dengan suara pelannya namun sedikit berjarak. "Aku tahu aku mungkin sulit diajak bicara, tapi... aku menghargai usahamu."
Aku tersenyum kecil, merasa sedikit gugup namun berusaha ramah. "Sama-sama, Felixa. Aku senang bisa membantu. Dan aku juga... senang bisa bekerja sama denganmu."
Felixa tersenyum samar, senyum yang jarang ia tunjukkan pada orang lain. Ada sesuatu yang aku rasakan dalam senyuman itu-sebuah rasa terima kasih yang tulus meski sulit diungkapkan. "Jika suatu hari nanti kau ingin bicara... aku akan mendengarkan," bisikku pelan, seolah menawarkan sesuatu yang hanya bisa dirasakan dalam keheningan.
Felixa menunduk, sedikit ragu, namun tatapannya melunak. "Mungkin... mungkin aku akan mencobanya. Terima kasih, Jihan."
Setelah Felixa pergi, aku duduk kembali, meresapi perasaan baru yang tumbuh dalam diriku. Di balik segala keraguan dan ketakutan, ada harapan yang mulai menyala. Mungkin, hidupku memang penuh dengan kerikil yang menyakitkan, namun ada jalan lain yang bisa aku tempuh, jalan yang menawarkan kedamaian kecil di setiap langkahnya.
"Mungkin, aku memang layak mendapat kesempatan untuk bahagia," bisikku pelan pada diriku sendiri.
Untuk pertama kalinya, aku merasa siap untuk menapaki kehidupan dengan harapan yang baru, meski masih penuh dengan kerikil.
.·:*¨༺ ༻¨*:·.
KAMU SEDANG MEMBACA
Memeluk Rasa Sakit
RandomBerdamai dengan rasa sakit meski harus memeluk dan tertancap ribuan rasa sakit dari masa lalu, hari ini, dan masa yang akan datang. Berdamai dengan masa lalu adalah cara terbaik untuk meraih kehidupan tenang dimasa kini dan masa yang akan datang. ta...