Happy reading 🥰
°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°
Keesokan harinya, Rora merasa bersemangat untuk memulai hari.
Sejak malam sebelumnya, ia bertekad untuk lebih terbuka terhadap perasaannya dan tidak lagi menghindar dari Asa.Meski hatinya bergetar, Rora memutuskan untuk menjalani harinya dengan optimisme.
Di sekolah, saat jam istirahat, Rora menemukan diri duduk bersama sahabatnya, Hailey, Ayesha, dan Pharita di kantin.
Mereka berbincang dan tertawa, tetapi pikiran Rora terus melayang ke Asa. Rasa penasaran dan kekhawatiran berkecamuk di dalam dirinya.
"Rora, kamu tampak tidak fokus. Ada apa?" tanya Hailey sambil menatapnya dengan penuh perhatian.
Rora terkejut, "Ah, tidak ada apa-apa. Hanya sedikit memikirkan tugas yang harus diselesaikan," jawabnya sambil tersenyum.
Pharita menyeringai, "Jangan bohong! Kamu pasti memikirkan seseorang!" Godanya, dan Rora merasa wajahnya memanas.
"Bukan begitu! Aku serius," Rora berusaha membela diri, tetapi sahabat-sahabatnya sudah saling berpandangan dengan ekspresi tahu.
"Tapi kalau ada seseorang yang kamu suka, kenapa tidak bilang? Kami akan membantumu!" Ayesha menambahkan dengan suara lembut.
Rora tersenyum kecil, merasa hangat dengan dukungan teman-temannya.
"Baiklah, mungkin aku akan mempertimbangkan itu. Tapi jangan terlalu berharap!" ucapnya, berusaha menahan rasa cemas.
Setelah jam istirahat, Rora berjalan ke kelas dengan lebih berani. Ia mencari-cari Asa, tetapi tidak melihatnya.
Di dalam kelas, Rora berusaha untuk tetap fokus meski perasaannya berkecamuk.
Saat pelajaran berlangsung, Asa akhirnya muncul.
Rora melihatnya duduk di kursinya dengan wajah tenang, tetapi di dalam hatinya, ia bisa merasakan ada sesuatu yang berbeda.
Asa tampak lebih serius, seolah memikirkan sesuatu yang mendalam.
Selesai pelajaran, saat semua siswa bersiap-siap untuk pulang, Rora menghampiri Asa.
"Hey, bisa kita bicara sebentar?" tanyanya, suaranya sedikit bergetar.
Asa menoleh dan mengangguk.
"Tentu. Ada yang ingin kamu sampaikan?" Ia terlihat tenang, tetapi Rora bisa merasakan ketegangan di udara.
Rora menarik napas dalam-dalam sebelum memulai.
"Aku... aku hanya ingin bilang bahwa aku menghargai waktu-waktu yang kita habiskan bersama. Aku merasa nyaman bersamamu," ucapnya dengan jujur, mencoba mengekspresikan perasaannya tanpa takut.
Asa terdiam sejenak, seolah mencerna setiap kata yang diucapkan Rora.
"Aku juga merasa sama, Rora. Setiap kali kita bersama, aku merasa lebih baik," katanya, dan Rora merasa hatinya berdebar.
Rora merasa lega, tetapi rasa ragu masih mengganggu pikirannya.
"Tapi... kita masih baru mengenal satu sama lain. Aku khawatir jika ini hanya perasaan sementara," ia melanjutkan, berusaha bersikap realistis.
Asa mengangguk, seolah memahami.
"Memang benar, tetapi kadang perasaan bisa tumbuh dengan cara yang tak terduga. Kita tidak perlu terburu-buru, Rora. Kita bisa saling mengenal lebih dalam," ucap Asa dengan lembut, membuat Rora merasa tenang.
Mereka berdua berbincang lebih lanjut tentang hobi dan impian, membuat suasana semakin akrab.
Rora merasakan hatinya terbuka sedikit demi sedikit, tetapi ketegangan di antara mereka masih ada.
Sejak saat itu, mereka mulai menghabiskan lebih banyak waktu bersama di sekolah. Rora merasa semakin nyaman dengan Asa, tetapi dia masih meragukan apakah perasaannya benar-benar cinta atau sekadar ketertarikan.
Suatu sore, Rora dan Asa sepakat untuk pergi ke kafe setelah sekolah.
Rora ingin menjelajahi lebih banyak tentang Asa dan berbagi cerita tentang dirinya.
Saat mereka duduk di kafe, Rora melihat Asa dengan serius.
"Jadi, apa hal yang paling kamu sukai tentang menggambar?" tanya Rora sambil menyeduh kopinya.
Asa tersenyum, "Aku suka menggambar karena itu membuatku bisa mengekspresikan diriku. Seperti ketika aku menggambar sesuatu, aku merasa lebih hidup," jawabnya penuh semangat.
Rora mendengarkan dengan antusias.
"Aku juga merasa sama! Ketika aku menggambar, semua masalah terasa jauh dan aku bisa menjadi diriku sendiri," tambahnya.
Obrolan mereka mengalir dengan lancar, dan Rora merasa perasaannya semakin kuat.
Namun, ketika percakapan berlanjut ke topik perasaan, Rora merasa jantungnya berdegup kencang.
"Rora," Asa memulai kalimatnya,
"apa kamu pernah berpikir tentang hubungan? Maksudku, tentang perasaan dan cinta?" tanyanya, menatap Rora dengan serius.
Rora terkejut dan merasa ragu.
"Aku... aku tidak tahu. Aku hanya merasa bingung," ia mengaku, mengalihkan pandangan.
"Tidak apa-apa jika kamu bingung. Kita semua pernah berada di sana," Asa berkata lembut, memberikan Rora dorongan.
Rora merasakan hatinya bergetar.
"Satu-satunya yang aku tahu adalah aku ingin mengenalmu lebih jauh. Aku hanya takut untuk berharap terlalu banyak," ungkap Rora.
Asa tersenyum, "Berharap tidak selalu buruk, Rora. Kita bisa saling membantu satu sama lain untuk menemukan apa yang sebenarnya kita rasakan," ujarnya, membuat Rora merasa ada harapan baru di dalam dirinya.
Mereka berdua saling menatap, dan Rora merasakan ketegangan semakin meningkat.
Apakah ini saat yang tepat untuk mengakui perasaannya? Rora masih ragu, tetapi hatinya berbisik untuk memberanikan diri.
Setelah menghabiskan waktu yang menyenangkan di kafe, mereka pulang bersama. Ketika tiba di depan rumah Rora, Asa menghentikan langkahnya.
"Rora, terima kasih atas hari ini. Aku benar-benar menikmati waktu bersamamu," ucap Asa, tatapannya hangat.
Rora tersenyum, "Aku juga. Senang bisa berbagi waktu denganmu, Asa."
Tiba-tiba, Rora merasakan dorongan untuk mengungkapkan perasaannya.
"Asa, aku..." tetapi kata-katanya terhenti saat melihat Asa yang tampak menunggu dengan penuh harapan.
Namun, saat itu juga, rasa takut muncul kembali. Rora memilih untuk menunggu, merasakan ketegangan di antara mereka.
"Kita bisa melanjutkan obrolan ini nanti, ya?" ia akhirnya berkata, mencoba mengalihkan suasana.
"Ya, tentu," jawab Asa, meski ada sedikit kekecewaan di matanya.
Rora merasa bersalah, tetapi dia juga tahu bahwa dia butuh waktu untuk merenungkan semuanya.
Mereka berpisah dengan senyum di wajah, tetapi di dalam hati masing-masing, ada rasa penasaran yang mendalam.
Rora merasa langkahnya masih setengah, sementara Asa berharap ada lebih dari sekadar persahabatan di antara mereka.
Tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
Love In Silence
Teen FictionPenasaran??, Yuk baca!! (☞ ಠ_ಠ)☞Update kalo ada waktu