Happy reading
°°°°°°°°°°°°°°°°°
Minggu kedua di sekolah Arjuna berlalu dengan cepat, tetapi bagi Aurora Evren Naureen, semuanya terasa lambat.
Meski ia berusaha untuk beradaptasi, Rora tetap merasakan kesenjangan antara dirinya dan siswa-siswa lain.
Ia merasa terasing di tengah keramaian, seolah-olah ada dinding tak terlihat yang memisahkannya dari orang-orang di sekelilingnya.
Di kelas, saat pelajaran berlangsung, Rora tidak bisa menghindari perasaan curiga ketika mendapati Asa sering mencuri pandang ke arahnya.
Setiap kali mata mereka bertemu, Asa cepat-cepat mengalihkan pandangannya, membuat Rora bingung dan sedikit merasa risih.
Ia berusaha keras untuk tidak memikirkan hal itu, tetapi rasa penasaran mulai mengganggu pikirannya.
“Rora, apakah kamu tidak ingin mengikuti lomba debat bulan depan?” Harita tiba-tiba bertanya saat mereka beristirahat di kantin.
“Debat? Kenapa harus aku?” Rora menjawab dengan nada datar, berusaha untuk tidak menunjukkan ketidakminatannya.
“Karena kamu pintar! Kamu bisa menjadi orator yang hebat,” Ayesha menambahkan.
Rora menggeleng. “Aku tidak tertarik untuk tampil di depan orang banyak.”
“C’mon, Rora! Ini bisa jadi kesempatan bagus untuk berkenalan dengan lebih banyak teman,” Hailey mendesak.
Rora hanya terdiam, sementara di sisi lain, Asa dan teman-temannya sedang berbicara tentang lomba yang sama.
Ruka berusaha mendorong Asa untuk ikut berpartisipasi.
“Asa, kamu juga harus ikut! Siapa tahu kamu bisa menunjukkan kemampuanmu.”
Asa hanya mengangguk pelan, tetapi dalam hatinya, ia merasa tidak yakin.
Ia lebih suka bersembunyi di balik bayang-bayang ketenangan, jauh dari perhatian.
Namun, dia tidak bisa mengabaikan dorongan Ruka dan teman-temannya.
Mereka semua ingin melihatnya lebih aktif, terutama ketika menyangkut Rora.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Hari-hari berlalu, dan saat malam tiba, Rora sering kali duduk sendirian di kamarnya, merenungkan kehidupan barunya.
Dia memikirkan sekolah, teman-teman, dan tentu saja Asa yang selalu ada di pikirannya.
Meskipun Rora berusaha untuk tidak peduli, hatinya perlahan mulai merasakan sesuatu yang berbeda.
Dia bertanya-tanya mengapa Asa menarik perhatiannya meski dia bersikap dingin.
Di hari yang lain, saat pelajaran olahraga berlangsung, Rora ditugaskan untuk berpasangan dengan Asa dalam permainan bola basket.
Asa terlihat tenang, meski jantungnya berdebar-debar setiap kali harus berinteraksi dengan Rora.
“Rora, ayo, kita harus menunjukkan tim kita bisa menang!” Asa mengajak, meskipun suaranya terkesan biasa saja
Rora hanya menatapnya, “Terserah. Yang penting aku tidak terjatuh.”
Selama permainan, Rora berhasil mencetak beberapa poin, tetapi lebih sering mengabaikan Asa, yang terus berusaha mengajaknya berinteraksi.
Meski Asa mencoba membangun komunikasi, Rora tetap pada sikap dinginnya.
Setelah latihan, Harita mendekati Rora. “Kamu harus lebih terbuka pada Asa! Dia terlihat berusaha keras untuk mendekatimu.”
Rora menatapnya tajam. “Dia tidak menarik. Kenapa aku harus peduli?”
“Rora, jangan begitu. Kamu tidak tahu apa yang dia rasakan. Cobalah untuk melihatnya dari sudut pandang lain,” Harita mencoba meyakinkan.
Ayesha menambahkan, “Dia bisa jadi teman baik, Rora. Jangan tutup diri.”
Tapi Rora hanya mengangkat bahu. “Aku lebih suka sendirian.”
Sementara itu, di sisi lain, Asa merasa frustrasi. Dia mengamati Rora dan merasa semakin tertarik padanya.
Ruka, yang melihat perubahan ini, memberikan dorongan. “Asa, kamu harus melakukan sesuatu! Jika kamu tidak mulai mendekatinya, kamu akan kehilangan kesempatan.”
“Tapi bagaimana?” Asa bingung. “Dia tidak peduli dengan aku.”
“Cobalah lebih berani. Ajak dia bicara tentang sesuatu yang dia suka,” Ruka memberi saran.
Asa mempertimbangkan kata-kata sahabatnya. Dia berusaha mencari cara untuk mengajak Rora berbicara, tetapi setiap kali mereka bertemu, rasa gugupnya menghalanginya untuk mengucapkan sepatah kata.
-------
Suatu sore, saat pulang sekolah, Rora berjalan sendirian sambil mendengarkan musik di earphone-nya. Tanpa dia sadari, Asa berjalan di belakangnya.
Begitu Rora mengabaikan rambu lalu lintas dan hampir tertabrak kendaraan, Asa dengan cepat menarik lengannya.
“Rora!” serunya, terkejut melihat dia hampir jatuh.
Rora menatapnya dengan kaget. “Kenapa kamu ikut campur? Aku baik-baik saja,” jawabnya dengan nada dingin.
“Tapi kamu hampir saja...” Asa terputus.
Rora mengalihkan pandangannya. “Terima kasih, tapi aku tidak membutuhkan bantuanmu.”
Asa merasakan hatinya terluka, tetapi dia tetap tenang. “Aku hanya ingin memastikan kamu baik-baik saja.”
“Baik saja, kan? Berhenti ikut campur urusanku,” Rora menjawab, lalu melanjutkan langkahnya tanpa menunggu Asa menjawab.
Asa hanya berdiri terpaku, merasa hatinya berat. Dia tahu bahwa Rora adalah gadis yang sulit didekati, tetapi dia tidak bisa mengabaikan perasaannya.
Di sisi lain, Rora merasa bersalah setelah melihat ekspresi Asa yang terkejut. Meskipun ia tidak ingin mengakui, ada sesuatu dalam diri Asa yang menarik perhatiannya. Namun, dia merasa bingung dengan perasaannya sendiri.
Di rumah, Rora duduk di meja belajarnya, mengingat kembali interaksi mereka.
Kenapa Asa begitu bersikap perhatian?
Mengapa dia merasa risih ketika dia bersikap dingin?
Ada banyak pertanyaan yang mengganggu pikirannya, tetapi dia tidak bisa menemukan jawaban.
Sementara itu, Asa duduk di kamarnya, merenung.
Dia bertekad untuk menemukan cara untuk mendekati Rora, bahkan jika harus menghadapinya berulang kali.
Mungkin, perlahan-lahan, mereka bisa saling memahami satu sama lain.
Keduanya terjebak dalam kebingungan, tetapi di dalam diri mereka masing-masing, perlahan mulai muncul benih rasa ketertarikan yang tidak bisa mereka abaikan.
Rora mungkin terlihat dingin dan cuek, tetapi hatinya mulai bergetar saat menghadapi Asa, yang perlahan-lahan memasuki dunia barunya.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
Love In Silence
Novela JuvenilPenasaran??, Yuk baca!! (☞ ಠ_ಠ)☞Update kalo ada waktu