"Dunia bisa bilang apa saja, tapi menangis tak pernah membuat laki-laki menjadi lebih lemah, justru membuatnya lebih manusia."
***
POV KEN
Di rumah sederhana, Ken duduk di ruang tengah sambil menatap jendela. Terdengar suara motor dari luar, tapi sisanya sunyi. Seperti biasa, Om Guntur, paman Ken yang merawat ken sejak bayi. Ia baru pulang kerja, wajahnya terlihat lelah dan sedikit muram.
Suara langkah kaki yang mendekat membuat tubuhnya langsung menegang, insting yang sudah biasa sejak kecil. Guntur masuk, wajahnya seperti biasa, tegang dan penuh kemarahan yang terpendam.
"Ken!" suara Om Guntur terdengar berat dan tajam.
"Kau sudah kerjakan semua yang Om minta?"
Ken mengangguk, tanpa berkata sepatah kata pun. Dia tahu, apapun yang dia katakan sekarang hanya akan memperkeruh suasana.
"Kerjakan dengan benar, atau percuma saja saya merawat mu." kata Om Guntur dengan nada yang dingin.
Ken hanya diam, menunduk. Sudah bertahun-tahun dia mendengar kalimat seperti itu, tapi rasanya tetap menyesakkan. Hatinya berontak, tapi bibirnya tetap terkatup rapat.
"Saya tidak mau punya keponakan yang bisanya cuma jadi beban," lanjut Guntur, dengan sorot matanya yang tajam.
"Kalau bukan karena janji ke keluarga, kau tidak akan ada di sini."
Kalimat itu adalah tamparan yang selalu dilontarkan oleh lelaki berumur 40 an itu. Menyakitkan, tapi sayangnya bukan sesuatu yang baru bagi Ken. Dia hanya menunduk, membiarkan omelannya masuk lewat telinga, walau hatinya berteriak ingin pergi jauh.
Ketika akhirnya Guntur berjalan pergi, Ken menarik napas panjang, menahan sesak di dadanya. Bagaimanapun kerasnya dia berusaha untuk menjadi lebih baik, untuk membuat Guntur bangga, rasanya tidak pernah cukup. Bagi Guntur, dia hanya seseorang yang harus ditanggung. Beban yang tak pernah diinginkan.
Dengan perasaan campur aduk, Ken bergumam pelan pada dirinya sendiri.
"Apa nggak ada satu orang pun yang mau nerima saya.. selain karena paksaan?"
***
Ken menarik napas dalam-dalam, mencoba meredakan sesak yang ia rasakan. Setelah beberapa detik menimbang, dia akhirnya beranjak, meraih jaketnya, dan keluar dari rumah tanpa banyak kata. Udara malam terasa dingin di wajahnya, tapi entah kenapa justru itu membuat pikirannya sedikit lebih tenang.
Ken berjalan tanpa arah, hanya ingin melarikan diri dari tekanan yang terus membebaninya di rumah. Dia terus melangkah, menelusuri jalan setapak yang sepi. Lampu jalan menerangi langkah-langkahnya yang pelan, dan suara hembusan angin menjadi satu-satunya iringan di sekelilingnya. Sambil memandang langit yang berbintang, Ken berpikir dalam hati, Kapan ya, saya bisa hidup bebas tanpa harus terus dikejar-kejar rasa bersalah atau omelan tanpa henti?
Ken tiba di taman kecil dekat sekolahnya. Di sini, ia sering menghabiskan waktu sendirian. Duduk di bangku kayu yang sudah usang, ia menundukkan kepala, sambil menarik nafas panjang.
Setelah beberapa menit duduk diam, Ken menyadari ada seorang anak kecil yang tengah bermain sendirian di ayunan. Ken memperhatikannya sejenak, anak itu tampak asyik berbicara dengan boneka beruang yang dipegangnya, meski suasana semakin larut.
Anak kecil itu mendongak, menyadari keberadaan Ken dan langsung tersenyum lebar.
"Kakak sendirian?" tanyanya dengan polos.
Ken sedikit terkejut, tapi membalas dengan anggukan pelan. "Iya. Kamu sendiri lagi ngapain di sini? sudah mau malam loh."
Anak kecil itu tertawa pelan, seakan pertanyaan Ken lucu baginya. "Aku nungguin Ayah. Dia kerja di deket-deket sini. Tapi aku bawa Teddy kok, jadi gak sendirian."
Dia memeluk boneka beruangnya erat-erat, seolah Teddy adalah teman sejati yang tidak akan pernah meninggalkannya.
Ken merasakan sedikit kehangatan melihat anak kecil ini begitu ceria, meski malam sudah cukup larut. Tanpa sadar, ia bertanya,
"Ayahmu gak khawatir kamu sendirian di sini?"
Anak kecil itu menggeleng, masih tersenyum ceria.
"Nggak kok. Ayah bilang aku anak yang berani, Kakak juga berani ya?"
Ken terdiam, bingung menjawab. Anak kecil ini tidak tahu apa yang dia alami atau bagaimana hatinya yang penuh keraguan setiap kali menghadapi kehidupan. Akhirnya, dia hanya tersenyum kecil dan mengangguk.
"Iya, mungkin."
"Kalau berani, jangan takut sendirian ya, Kak," ujar anak itu dengan nada bijak yang mengejutkan Ken.
"Ayah bilang, orang berani gak butuh banyak teman, tapi dia gak pernah lari dari orang yang dia sayang."
Kata-kata itu menancap di hati Ken. Sambil memandang anak kecil itu yang kembali larut dengan boneka beruangnya, Ken merasakan sedikit ketenangan yang sulit ia gambarkan. Sejenak, ia merasa bahwa mungkin tidak ada salahnya berusaha lebih sabar, atau mungkin mencoba memulai percakapan dari sisi yang lebih damai ketika ia kembali ke rumah nanti.
"Oh iya, aku lupa ngenalin diri!" jawabnya riang.
"Namaku Rio kak, kalau kakak siapa?"
"Ken." jawabnya singkat, sambil tersenyum tipis.
Tak lama kemudian, seorang pria menghampiri mereka, memanggil nama Rio. Itu ayahnya, yang datang menjemputnya.
"Dadah, Kak Ken! sampai ketemu lagi." Rio melambaikan tangan sambil tersenyum lebar, sebelum pergi bersama ayahnya.
Ken memandangi mereka pergi, hatinya terasa lebih ringan. Mungkin, pikirnya, saat dia kembali ke rumah nanti, dia bisa menghadapi segalanya dengan lebih tenang.
***
Saat Ken membuka pintu, jam di ruang tamu sudah menunjukkan pukul 22.00. Om Guntur ternyata sudah pulang lebih awal dan tengah menunggunya di sana, matanya penuh sengan sorot kemarahan saat melihat Ken baru tiba di rumah.
"DARI MANA SAJA KAU?!" bentak om Guntur dengan suaranya tegas dan dingin.
Ken membuka mulut, mencoba menjelaskan, tapi tangan om Guntur langsung terayun ke wajahnya. Tamparan keras itu membuatnya limbung, nyaris jatuh.
Ken meringis, merasakan sakit dari setiap pukulan, namun menahan diri untuk tidak berteriak. Hatinya lebih terluka dari tubuhnya, mendengar semua kata ka omnya.
"Diam! Kau itu gak becus ngapa-ngapain, cuma bisa bikin repot saja! Saya harus berurusan dengan kau terus, capek Ken!"
Ken menunduk, menahan rasa sakit yang menyebar, bukan hanya dari fisik, tetapi dari semua kata yang om Guntur lontarkan. Di balik amarah yang ditumpahkan omnya, Ken merasakan sesuatu yang seolah-olah menghancurkan dirinya pelan-pelan. Di rumah itu, keberadaannya seolah tak pernah berarti.
Ken memegangi pipinya yang terasa panas, tubuhnya bergetar menahan sakit. Namun, tak ada setetes pun air mata yang jatuh. Bukan karena dia tak ingin menangis, tapi karena semua sudah terlalu menyesakkan hingga bahkan air matanya pun tak sanggup keluar.
Di dalam hening, hanya suara-suara pertanyaan yang menggema di kepalanya.
"Ayah.. Ibu.. kenapa kalian meninggalkan saya sendirian? Saya juga ingin merasakan seperti anak-anak yang lain." pikirnya, bertanya tanpa jawaban, seolah-olah berharap bisa mendengar suara mereka dari tempat yang jauh.
Malam itu, di antara rasa sakit dan kehampaan, Ken hanya bisa duduk di lantai, meratapi hidupnya yang seperti terombang-ambing tanpa pegangan, mencari makna dan alasan yang selalu terasa jauh dari jangkauannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tulisku Yang Tak Terucap
Short Story"Setiap detik bersamamu adalah anugerah. Terima kasih telah berani menembus dinding yang kutinggikan dan membuatku percaya bahwa aku layak dicintai." - Kendra Darwish ⚠️DILARANG PLAGIAT