2. Leri

185 51 1
                                    

Leri (Jawa): air bekas cucian beras

Rambut Arum lebih pendek dari terakhir mereka bertemu. Beberapa plester melekat di lengan kiri bawah, sedangkan di lengan kanannya ada beberapa titik hitam yang baru kali ini Latif lihat, mungkin bekas percikan minyak atau terkena panci panas. Satu tahun duduk di samping Arum, membuat Latif hafal bentuk lengan gadis itu. Karena, dia selalu memilih menunduk dan memandang tangan Arum di meja, tak berani menatap mata hitamnya.

Asap perlahan mengepul dari kompor minyak, menari bebas di bawah sorotan cahaya matahari yang menelisik lewat ventilasi kecil di tembok dapur. Menerangi Arum, menjadikan gadis itu serupa peri yang sedang menaburkan bubuk ajaib di dapur kecil yang tujuh hari ini tidak ada nyala api kecuali untuk memasak air minum.

Para tetangga berbaik hati untuk mengirimi tiga anak yatim piatu itu makanan. Bukan makanan mewah, karena Latif tahu, mereka semua juga berjuang untuk menghidangkan makanan yang layak untuk rumahnya sendiri.

Kepala Husna bergerak, Latif menepuk pundak gadis kecil itu perlahan. Hampir setengah tujuh, tapi dia tidak tega jika adik-adiknya bangun tapi makanan belum terhidang. Semalam, mereka mendapatkan satu kotak nasi, pemberian tetangga yang pulang pengajian di desa sebelah. Nasi kotak adalah makanan mewah untuk mereka, meskipun sepotong rendang harus dibagi dua. Latif sudah puas dengan kuah yang menempel di plastik mika ketika Husna dan Sofa sibuk mengunyah daging dengan gigi geripis mereka.

Hari ini, rencananya, Latif ingin mengajak mereka makan di kedai ayam goreng di kota. Masih ada sisa uang sumbangan yang dia dapat dari para pelayat, dia ingin memberikan mereka makanan enak sebelum berpisah.

Kekhawatiran untuk pergi dari mereka, menguras seluruh pikirannya dua hari terakhir, dan mulai mempengaruhi tubuh.

"Air di mana ya?" Arum berdiri di hadapannya, panci telah terisi beras.

"Ada sumur bersama di belakang. Aku aja," pemuda kurus itu berusaha berdiri, mengabaikan pening yang membuatnya berkunang-kunang.

"Tunjukkan aja, aku bisa sendiri."

"Memangnya kamu bisa pakai pompanya?" Tangan Latif berpegangan pada tembok.

"Memangnya kalau begitu, kamu bisa pompa juga?" Arum berkata tak kalah sengit. Latif hanya tertawa, tak menanggapi first speaker di tim debat SMA-nya itu. Hari ini, dia ingin lepas dari kesedihan, dia harus menjadi kakak yang kuat ketika mengantarkan Husna dan Sofa nanti siang.

***

"PDAM belum masuk ke sini ya?" tanya Arum ketika meletakkan ember di depan pompa air manual. Tonggak besi itu berdiri di atas sepetak tanah yang diplester semen. Beberapa ember ditumpuk di satu sisi. Di sisi lain, berjajar ember berisi baju rendaman. Tak jauh dari mereka tali jemuran membentang beberapa baris. Sebagian telah terisi oleh pakaian yang masih meneteskan air.

"PDAM bayar. Ini gratis, cuma modal tenaga aja." Latif mulai menarik tuas pengungkit, menggunakan berat tubuhnya untuk mendorong ke bawah. "STAN juga gratis, cuma modal kerja keras aja." Latif berusaha mengembangkan senyum ketika memandang wajah sahabatnya. Dia tidak ingin dikasihani. Dia masih memiliki sesuatu untuk dibanggakan.

"Aku nggak sempat ngasih selamat waktu itu." Arum meraih gayung, mengambil air dari ember yang mulai terisi, mencuci beras. "Selamat."

Pengumuman STAN memang selalu paling lambat dibanding dengan universitas atau sekolah lain. Arum sudah berangkat ke Surabaya, ketika pengumuman itu keluar. Untuk pertama kalinya, waktu itu, Latif berharap memiliki ponsel, sehingga bisa memberi kabar gembira.

"Udah siap jadi koki?" Latif bersandar pada pompa setelah ember penuh. Dia belum percaya dengan kakinya sendiri.

"Belum, aku merasa ketinggalan jauh dari teman-temanku yang lain. Mereka kebanyakan dari SMK jurusan boga. Untuk pertama kalinya, aku merasa bodoh."

"Tapi aku yakin, kamu cepat ngejarnya, 'kan?"

Arum melangkah menjauh, menuju pohon pepaya yang ada di samping tiang jemuran. Tangannya berusaha menahan butiran beras tetap di panci ketika membuang air beras.

"Air beras untuk siram tanaman?"

"Kata Mamah, leri bagus buat siram. Jadi kebiasaan aja, kalau cuci beras selalu nyari tanaman. Apa yang mungkin nggak kita butuhin, bisa jadi ngasih manfaat."

Arum kembali, mengambil gayung ke dua. Obrolan mereka terhenti ketika salah satu tetangga Latif datang dengan seember cucian. Arum menjauh untuk melanjutkan urusannya dengan beras, sedangkan Latif membantu mengisi ember. Tubuhnya yang lemah, perlahan memiliki tenaga, seiring senyum tetangga yang berterima kasih karena telah dibantu memompa.

***

Api telah terbentuk sempurna, lingkaran biru di antara lempengan melingkar besi. Panci berisi dua genggam pecahan beras dan air Arum letakkan di atas bara.

"Mau bikin bubur?" Pertanyaan Latif belum sempat Arum jawab, ketika lelaki itu menimpali sendiri, "Cuma bisa bikin bubur."

"Kamu pilih bubur manis atau asin?" Arum meninggalkan kompor, lalu duduk bersandar pada daun pintu yang terbuka. "Ada gula aren, bisa buat bubur abang. Kalau kamu mau yang asin, aku keluar bentar beli gorengan. Kamu tungguin kompornya."

Latif memandang kompor sebelum menatap Arum.

"Bubur abang." Air liurnya telah keluar hanya dengan membayangkan. "Aku ingin makan makanan manis. Kayaknya Husna-Sofa juga bakalan milih bubur manis." Latif membelai dahi Sofa kali ini. Balita itu mengeluh, tak tahan dengan tangan dingin kakaknya.

"Katanya, apa yang kita ingin kita makan, kadang mencerminkan apa yang kita ingin rasakan." Arum memeluk lututnya sendiri.

"Kalian belajar teori kayak gitu juga?" Jari-jari Latif menyisir rambut ikal Sofa, rambut ikal yang mengingat Latif pada ibu. "Memang kalau aku ingin manis, apa yang ingin kurasakan?" Dia tidak sempat ikut memandikan ibunya. Ketika dia datang, jasad telah siap diangkat ke masjid terdekat untuk disalatkan. Masih dirasakan beban di pundaknya dengan jelas ketika mengangkat keranda.

Arum menatap Latif lama, mata hitamnya berkaca-kaca. "Bahagia."

Rindu dalam Piring SengTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang