1. Menir

746 98 8
                                    

Menir (Jawa): pecahan beras halus yang terjadi ketika ditumbuk

Ketukan pintu mengganggu sunyi yang melingkupi deretan petakan kontrakan. Kabut tipis belum pergi, mengembun pada jendela yang belum terbuka.

"Latif!" Nama itu akhirnya terucap setelah rentetan salam tak terjawab. Arum melangkah mundur, menoleh pada di kiri-kanan. Berharap ada tetangga yang sudah keluar sehingga dia bisa bertanya, memastikan dia belum terlambat.

"Ya!" suara parau yang masih familiar meski lebih dari dua tahun tak terdengar membanjiri gadis sembilan belas tahun itu dengan kelegaan.

Keletuk slot kunci yang dibuka disusul knop pintu yang berputar, menyemai senyum di wajah Arum. Namun, tak lama. Pemuda itu berdiri dengan wajah kuyu. Sinar mata yang selalu serius dan pantang menyerah, kini redup. Gelap membayang di bawah mata. Bibir tipis yang jarang tersenyum itu pecah-pecah dan pucat. Tubuhnya bersandar pada pintu.

"Masih tidur ya?" Arum bertanya ragu. Tidak enak mengganggu istirahat pria yang pernah menjadi teman sebangkunya selama kelas tiga SMA.

"Iya."

"Aku ganggu?" Kaki beralas sandal jepit merah muda itu tanpa sadar mundur selangkah.

"Nggak apa-apa, udah waktunya aku bangun juga." Latif memijat kepalanya, mata terpejam dan rahangnya rapat. Terlihat kesakitan.

"Kamu sakit?"

"Pusing dikit, nggak apa-apa." Mata sayu itu menatap Arum. Senyum yang dipaksakan tak mampu mengelabui. Arum telah terbiasa dengan cara pemuda itu tersenyum, melihatnya dari dekat. Sehingga dia tahu, kapan senyum itu tulus, kapan senyum itu hanya untuk menutupi. Dua tahun lebih mereka tak bertemu, tapi tak ada rasa yang berubah. "Ngobrol di luar aja ya, Husna-Sofa masih tidur."

Arum mengangguk, melangkah mundur, memberi ruang untuk Latif lewat. Namun, satu langkah, lelaki itu nyaris ambruk.

"Kamu demam?" Tangan Arum merasakan panas tubuh Latif saat berusaha membantunya berdiri.

"Aku nggak apa-apa."

"Dari kapan demamnya?" Arum tak mendengarkan sanggahan sahabatnya. Memilih menarik Latif ke dalam rumah.Tak memedulikan protes Latif yang bahkan kesulitan berdiri. Mendudukkan pemuda itu, bersandar pada tembok di bawah jendela, samping bingkai pintu. Di dekat paha Latif, kedua adik perempuannya tidur dengan nyenyak beralas kasur yang telah menipis, di atas lantai semen dengan karpet plastik yang koyak di beberapa tempat.

"Nggak apa-apa, Ar."

Lagi-lagi Arum abaikan. Gadis itu mengamati sekitar. Kontrakan berukuran 3x4 meter persegi itu dingin. Tak ada yang berubah dari tiga tahun lalu ketika dia datang kemari, kecuali barang-barang yang makin usang. Kasur yang digunakan seluruh penghuninya, keranjang plastik yang telah disulam dengan tali rafia agar isinya, beberapa lembar baju, tetap tertata. Arum hanya butuh enam langkah untuk mengambil ketel kecil di atas kompor dan sebuah gelas, lalu kembali di hadapan Latif.

"Minum dulu aja. Udah punya obat?"

Latif menerima gelas, dan menggeleng untuk pertanyaan kedua.

"Aku nggak apa-apa, Ar. Cuma ...," ucapan Latif tak selesai, matanya berkaca-kaca, memandang Husna, yang berumur sekitar enam tahun, dan Sofa, tiga tahun, tidur dengan berpelukan, menambahkan hangat karena selimut yang menutupi hingga leher tak mampu melawan gigitan dingin udara pagi.

"Turut berduka ya, Tif." Arum duduk bersila di hadapan tuan rumah, menyampaikan apa yang dia ingin sampaikan. "Ibu orang baik, semoga dilapangkan kuburnya, diampuni segala dosanya. Dan kalian...," Arum tak mampu meneruskan kata-katanya, pundak lelaki itu terguncang lalu memeluk lutut dan menyembunyikan wajah di lingkar lengan. "Semoga diberikan kekuatan."

Arum baru sampai Semarang semalam, memanfaatkan libur akhir pekan dari kuliahnya di Surabaya. Pagi ini, ketika berjalan-jalan di lapangan dekat rumah, dia bertemu dengan teman SMA, berbagi kabar dengan tawa sampai temannya menyebut tentang kematian ibu Latif seminggu lalu. Arum pamit buru-buru, pulang ke rumah untuk mengambil motor, lalu meluncur kemari.

Arum hanya duduk diam, memberikan waktu untuk Latif menenangkan diri. Tak tahu apa yang harus dilakukan.

"Maaf," Latif mengangkat kepala, menyeka wajah dengan lengan kaos olahraga dengan logo SMA mereka di lengan.

"Kamu udah makan?" Arum berusaha terdengar bersemangat. Dia tidak yakin apakah sikapnya tepat. Dia tidak pernah berhadapan satu-satu dengan orang yang sedang berduka. Biasanya, dia akan datang beramai-ramai. Arum hanya bisa duduk di dekat mereka, berharap mereka bisa merasakan kehadirannya, jarang menjadi orang yang memberikan penghiburan secara langsung.

"Belum. Kalau mereka bangun, pasti akan cari makanan." Latif membelai kepala Husna.

"Aku dengar ada bubur ayam dekat sini yang enak. Aku beliin ya." Jika dia tidak bisa memberikan penghiburan, Arum hanya ingin meringankan beban. Arum bergegas berdiri, mengambil kunci motor yang disimpan di saku celana panjangnya. Baru dia sadari sesuatu. "Aku lupa bawa dompet." Di sakunya hanya ada beberapa keping koin limaratusan yang tadi dia ingin gunakan untuk membeli gorengan di lapangan.

Latif berdecak, senyum tulus pertama di wajah sayunya.

"Nggak usah, nggak apa-apa," ujarnya bertepatan ketika perut Latif berbunyi. Kali ini mereka berdua tertawa.

"Aku masakin 'gimana?" Arum berbalik, melangkah ke dapur.

"Nggak ada bahan, Ar." Latif menyandarkan kepala di tembok.

Arum mengamati area dapur di ruangan itu. Dapur yang ringkas, sangat ringkas. Hanya ada satu kompor minyak, satu panci kecil yang bisa membuat sup untuk tiga sampai empat porsi, penggorengan yang mulai menghitam. Pisau, talenan, dan ulekan terletak di pojokan. Tidak ada bumbu atau apa pun, hanya balok garam yang tinggal separuh, toples gula pasir yang hanya tersisa di dasar dan sebongkah kecil gula aren di dalamnya. Tangan Arum gemetar ketika dia mengambil beras dari kresek hitam di rak piring berkarat. Hanya ada empat piring seng, dua gelas yang sudah berkabut, dan beberapa alat makan yang pegangannya bengkok. Beras itu hanyalah kumpulan beras yang pecah, menir, yang tidak akan lolos untuk disebut beras kualitas sedang.

Perut Arum melilit, matanya memanas. Dia terbiasa dengan peralatan memasak lengkap, lemari berisi berbagai bahan makanan, kulkas untuk menyimpan bahan segar, baik di laboratorium prakteknya di sekolah kuliner, maupun di rumah. Namun kini, dalam petak sempit di mana kasur dan kompor berada di tempat yang sama, dengan dua anak kecil yang mungkin tertidur nyenyak karena kelaparan, dan seorang pemuda yang harus menanggung beban kehilangan, Arum ingin mempersembahkan sebuah hidangan terbaik. Bukan hanya untuk mengisi perut kosong mereka. Namun, ada harap, apa pun yang bisa dia hasilkan nanti, mampu memberi sedikit tenaga untuk jiwa mereka.

Rindu dalam Piring SengTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang