4. Bubur Abang

140 48 1
                                    

Bubur Abang (Bubur Merah): bubur nasi yang ditambahkan gula merah. Dalam budaya Jawa, biasa disajikan dalam acara syukuran pemberian nama untuk anak.

-----

"Kamu cuma lihat? Nggak mau ikutan?" Arum mengangkat piring dan sendok, menunjukkan pada Latif yang ada di seberang ruangan.

"Nggak usah," Latif menggeleng, dia belum terlalu lapar, dia bisa menahan diri sedikit lebih lama. "Nanti aja sekalian buburnya."

Arum melanjutkan kegiatan memasaknya, memastikan api tidak terlalu besar. Sesekali mengaduk agar tidak ada beras di dasar yang gosong, saat air dan beras belum berpadu seutuhnya menjadi bubur.

Husna dan Sofa tetap berceloteh saat menikmati tajin. Latif dan Arum sesekali menanggapi. Saat bubur mulai terbentuk, letupan-leputan kecil mengisi periuk, Arum menurunkan tuas pengatur sumbu. Dengan api kecil yang mencoba untuk bertahan, calon koki itu mulai memasukkan gula kelapa yang telah diiris halus, lalu menaburi dengan garam. Sederhana, hanya itu yang Ibu tinggalkan untuk Latif dan kedua adiknya untuk mengisi perut. Dan kini, bahan-bahan itu akan menjadi sajian terakhir sebelum Latif melangkah ke kehidupannya yang baru.

Husna menghampiri dengan piring bekas tajin yang telah tandas, meminta diisi dengan bubur. Arum tersenyum kecil ketika menerima piring seng itu. Mengisinya dengan bubur kecokelatan yang masih mengepul. Piring kedua dan ketiga diisi. Latif hendak menghampiri, membantu. Namun, Arum telah bergerak lebih dulu.

Latif menelan ludah ketika melihat isi piring. Bubur itu terlihat sangat halus, tidak ada sisa butiran nasi yang tampak. Mungkin karena menir yang lebih mirip dengan tepung daripada beras, atau karena ketelatenan Arum dalam mengaduk. Latif tidak tahu yang mana.

"Mbak suapin Sofa, ya?" Arum memangku Sofa. Di hadapannya satu piring terakhir, dengan bubur paling sedikit. Bahkan, tiga porsi pun tak sempurna.

"Kamu nggak makan sekalian?" Latif memandang tak nyaman. Dia sama sekali tidak menjamu tamunya. Bahkan, setelah Arum suka rela terjun ke dapur, dia tidak bisa menikmati masakannya sendiri.

"Aku udah makan tadi sebelum jalan-jalan." Arum mengambil majalah dari tangan Husna, mengipasi ketiga piring dengan lebih teratur. "Makan! Biar pusingnya cepat hilang."

Latif tidak membalas ucapan Arum, mengambil majalah tipis dari tangan temannya. Arum telah melakukan banyak hal untuknya. Latif tak ingin menambah kerepotan. Dia hanya mampu menggigit pipi bagian dalam untuk menahan emosinya tidak muncul. Ada rasa jengah yang berkelindan dalam rasa syukur atas kehadiran Arum saat ini.

Ada benih janji yang mulai semai bersama suapan bubur merah yang menghangatkan rongga mulut, kerongkongan, hingga lambungnya. Janji untuk menjadi seseorang yang lebih baik, memberikan kehidupan yang layak. Hingga nanti, menikmati bubur adalah sebuah rekreasi, bukan keterpaksaan karena ketiadaan pilihan.

"Manis!" celoteh Sofa setelah mendapatkan suapan pertama.

"Enak!" timpal Husna. "Iya, 'kan, Mas?"

Latif hanya berguman sembari mengangguk. Tubuhnya mulai hangat.

"Makasih, Mbak Arum." Husna tersenyum lebar, dan senyum yang sama tercermin di wajah Arum.

Kali ini, hangat menjalar hingga pipi sang pemuda.

"Wah, saya keduluan ternyata." Sebuah suara memecah lamunan Latif. Di pintu berdiri Bu Ipah, Ibu RT, yang selama beberapa hari ini menjadi salah satu penyuplai makanan untuk mereka. Senyum mengembang di wajah keibuan yang selalu terlihat ramah.

Latif bergegas bangkit, menelan bubur yang memenuhi mulutnya dengan mudah. Kali ini, dia tak lagi berkunang-kunang.

"Sudah, duduk saja." Bu Ipah masuk, duduk di antara mereka berempat. Kali ini, senyum Arum kikuk.

Rindu dalam Piring SengTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang