Sudah seminggu ini Aric terus saja mendatangi Gika, meski Gika berusaha sangat keras membujuk pria itu untuk tidak datang ke rumah, Aric bisa menemuinya dimana saja.
Di Elegiac tentunya juga, pria itu datang dengan setelan kerja bahkan sebelum kafe di buka, Gika membiarkannya datang sebagai ganti agar Aric tidak mendatangi orang tuanya dulu.
Karena Gika takut, ia khawatir orang tuanya, terutama Gauri yang hingga hari ini yang ia tau-, masih dingin pada Salma dan masih enggan di ajak bepergian bersama seperti dulu sewaktu mereka masih baik-baik saja.
Ia tau Aric enggan menunggu juga sebenarnya sudah sangat bersabar, tapi Gika memang masih belum berani.
"Kamu udah sarapan?" Aric mendatangi ruangan Gika, ia mendekat mengecup puncak kepala dan kening Gika. Itu yang ia lakukan akhir-akhir ini ketika mereka bertemu. Bukan "mereka bertemu" tapi Aric yang memaksa meminta bertemu.
Dan Gika semakin pusing, bagaimana mungkin mereka sedekat ini padahal tidak ada kejelasan hubungan diantara mereka?
"Gika?" Gika menatap Aric sekilas lalu hanya mengangguk
"Mikirin apa? Kamu sakit?" Aric meletakan tangannya di pipi Gika, ia bahkan tidak duduk, posisinya masih berdiri sedikit membungkuk di sebelah Gika.
"Enggak, aku baik-baik aja! Aku udah bilang berapa kali sih?! Kamu aja yang lebay!" Gika menjawab dengan ketus. Ia tau Aric sangat terlihat ingin bertanggung jawab dan memang sangat mengusahakan itu, dia selalu ada bahkan ketika ia tau Gika tidak memintanya.
"Saya tetap akan berusaha untuk bertanggung jawab, untuk apa yang udah kita lakuin. Kamu enggak akan bisa usir saya kali ini, karena Gika, bukannya saya udah kasih kamu kesempatan waktu itu?" Gika mendongak, menatap tubuh tinggi Aric di sebelahnya. Iya, benar katanya. Ia sudah diberikan kesempatan untuk pergi saja malam itu tapi ia tetap nekat. Betapa bodohnya dia dalam menjalani kehidupan ini
"Aku takut" Gika berucap pelan, menunduk meremas rambutnya sendiri.
"Takut apa? Saya disini, saya yang akan bicara sama keluarga kita, kamu tinggal tunggu hasilnya. Jadi tolong stop, jangan ancam saya terus." Aric seminggu ini hanya berusaha bersabar menuruti Gika, ia mengancam akan pergi ke luar negeri entah negara mana dan tidak mau pulang.
"Gimana kalau papa mama ku enggak terima? Gimana kalau mereka marah dan malah ngusir aku?" Gika sudah berulang kali mengaku dewasa, umurnya sudah dua puluh delapan. Tapi lihat pola pikirnya, mengapa masih seperti anak SMP?
"Enggak, saya janji enggak akan begitu." Gika tidak bereaksi, ia lebih memikirkan Gauri sekarang.
"Lihat saya Gika. Lihat kesini dulu." Gika menurut, menemukan Aric kemudian berlutut di depannya.
"Enggak papa, saya janji kita enggak akan kenapa-kenapa. Kalau pun memang iya, saya yang akan berusaha memperbaiki itu, saya janji." Nada suaranya pelan juga lembut, Aric menggengam erat kedua tangan Gika.
"Aku beneran enggak papa, kamu lihat sendiri kan? Aku enggak apa-apa, aku enggak hamil. Jadi kenapa kamu harus tanggung jawab." Gika juga lelah, kenapa dia masih saja berusaha menyangkal bahwa ia sampai detik ini masih mencintai Aric? Tapi memang benar, seminggu ini ia tidak merasakan ada yang aneh dengan dirinya.
"Hamil atau enggak, saya tetap mau kamu Gika, kamu enggak? Kamu enggak mau saya di hidup kamu?" Sekali lagi Aric meminta kepastian
"Saya minta maaf atas apa yang pernah terjadi, saya bodoh dan enggak tau diri, tapi saya bisa perbaiki itu. Saya jamin dan saya janji." Benar. Kalau lelah, sebaiknya hentikan Gika. Hentikan dirimu yang terus-menerus menolak apa yang sangat-amat ingin kamu miliki.
KAMU SEDANG MEMBACA
BORN TO BE OVERLOVE
ChickLitI can smile because we're together, i can cry because it's you. So what can't i do? - smile flower