04

130 22 8
                                    

Maaf kalo chapternya agak panjang yaa hehehehe

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Khaotung Thanawat yang dulu dikenal sebagai Thanawat dibelakang namanya sebenarnya tidak pernah memikirkan tentang pernikahan. Sedikitpun tidak. Seperti remaja pada umumnya yang menyukai kebebasan, Khaotung tumbuh dalam sebuah keluarga kecil yang mengharuskannya untuk bersikap dewasa bahkan sebelum usianya menginjak 17 tahun.

Karena keadaan ekonomi dan juga kesehatannya yang butuh perhatian lebih, ayah dan ibunya sebenarnya tak pernah setuju perihal dirinya yang bekerja disebuah kedai keluarga salah satu mantan kakak kelasnya saat di sekolah.

Khaotung adalah pemuda pekerja keras yang cukup kerasa kelapa, ia selalu beralasan jika dirinya hanya berdiam diri di rumah saja, tubuhnya akan semakin melemah dan tidak berguna. Sementara kebutuhan mereka tak bisa menunggu barang semenit pun, dan juga kondisi kedua orangtuanya yang tak lagi muda. Meski mereka masih kuat untuk bekerja, tapi Khaotung tidak ingin membebankan semua itu pada mereka.

Hingga akhirnya sang Ibu mempertanyakan hal aneh padanya soal pernikahan. Saat itu ia berpikir, 'Siapa yang akan menikah?' tepat saat dirinya terbaring lemah di tempat tidur akibat penyakit yang terkadang kambuh. Ibunya berkata dengan mata berkaca-kaca, wajahnya begitu sedih, hingga Khaotung tidak bisa memikirkan apapun selain keinginan untuk sedikit meringankan beban mereka.

Tapi tak lantas membuat Khaotung itu menerima begitu saja keinginan baik sang Ibu dan juga Ayahnya. Ia berpikir, apakah tidak akan membebani orang yang akan menjadi pasangannya nanti?

Ibunya bilang jika orang itu bisa menghidupinya dengan layak, dapat menjaganya dengan baik, serta tidak akan membawanya dalam kesulitan.

'Apakah tidak apa-apa? Jika aku menikah, siapa yang akan menemani papa dan mama?' pertanyaan yang ia lontarkan saat itu.

Dan kedua orangtuanya menjawab dengan lembut, bahwa mereka akan baik-baik saja, karena yang terpenting bagi mereka adalah kebahagiaan sang putra semata wayang. Baik Tuan dan Nyonya Thanawat tak bisa membayangkan jika Khaotung harus selamanya hidup di rumah mereka yang kecil dan tidak baik untuk kesehatannya, tak mungkin membiarkan putra mereka yang penurut itu terus bekerja dan akan memperburuk kondisi kesehatannya, Khaotung harus melihat dunia luar dan merasakan kebahagiaan.

Maka Khaotung setuju, melihat keyakinan dan harapan di mata kedua orangtuanya. Meyakinkan dirinya sendiri jika semuanya akan baik-baik saja, bahwa ia tidak akan mengecewakan orangtua nya, bahwa jika menikah adalah hal yabg terbaik untuknya.

Tak peduli siapa yang akan menjadi pasangannya, Khaotung sudah bertekat jika akan mengubah nasib kedua orangtuanya dan juga nasib hidupnya.

Dan saat dihari ia melihat sosok pria asing berwajah tampan duduk di ruang tamu rumah kecilnya, Khaotung benar-benar terkejut menyadari jika dirinya akan menikah dengan seorang yang lebih tua darinya. Tapi yang terpenting adalah, dirinya akan menikah dengan seorang pria?

Apa orangtuanya masih waras? Kenapa harus pria? Apa karena tubuhnya yang lemah hingga dirinya pantas disamakan dengan wanita?

Tapi sungguh, kedua orangtuanya tak memiliki pemikiran seperti itu. Khaotung tahu jika mereka tidak akan nembuat dirinya, seperti semacam menjualnya demi beberapa jumlah uang. Tidak, papa dan mama nya bukanlah orang seperti itu.

Home Sweet HomeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang